Orang-Orang yang Membuat Postingan Pasif-Agresif di Media Sosial Biasanya Menunjukkan 9 Perilaku Ini, Menurut Psikologi
Ilustrasi perilaku pasif-agresif di media sosial. (Freepik)
13:22
4 Desember 2024

Orang-Orang yang Membuat Postingan Pasif-Agresif di Media Sosial Biasanya Menunjukkan 9 Perilaku Ini, Menurut Psikologi

 

JawaPos.Com - Dewasa ini, media sosial telah menjadi panggung utama untuk menampilkan berbagai ekspresi diri hampir setiap orang.

Dari berbagi momen bahagia hingga melampiaskan rasa frustrasi, media sosial tak ayal menjadi bentuk komunikasi yang mencerminkan perasaan terdalam seseorang. 

Namun, ada satu gaya komunikasi yang cenderung membuat banyak orang merasa bingung atau tidak nyaman yakni terkait postingan pasif-agresif. 

Postingan semacam ini, sering kali berisi sindiran, sarkasme, atau pernyataan ambigu yang seolah ditujukan kepada seseorang, tetapi tanpa menyebutkan nama secara langsung.

Mengapa orang memilih untuk bersikap pasif-agresif di media sosial? 

Berdasarkan pengamatan psikologi, kebiasaan ini seringkali berakar pada kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi atau keengganan untuk menghadapi konflik secara langsung. 

Orang-orang yang mempraktikkan perilaku ini biasanya memiliki ciri-ciri tertentu yang terlihat baik dalam pola pikir maupun interaksi sosial mereka. 

Dilansir dari Geediting.com, inilah sembilan tanda perilaku yang kerap ditemukan pada individu yang gemar membuat postingan pasif-agresif, menurut psikologi.

1. Menyembunyikan Agresi di Balik Sindiran

Orang-orang dengan kecenderungan pasif-agresif sering kali memilih cara-cara tidak langsung untuk mengekspresikan rasa marah atau frustrasi mereka. 

Salah satu bentuk ekspresi tersebut adalah melalui sindiran atau komentar yang ambigu. 

Dengan menyampaikan pesan secara tersirat, mereka menghindari konfrontasi langsung sekaligus tetap melampiaskan emosi mereka. 

Sebagai contoh, seseorang mungkin memposting status seperti, “Lucu ya, ada yang suka menilai orang lain padahal dirinya sendiri belum tentu benar.” 

Sindiran ini ditujukan pada seseorang, tetapi tanpa menyebut nama, sehingga pembaca harus menebak siapa yang dimaksud. 

Strategi ini memberikan rasa aman bagi si pengirim karena tidak langsung memicu konflik, meskipun dampaknya bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Pada intinya, sindiran seperti ini adalah upaya untuk menjaga emosi tetap terkendali sambil tetap melampiaskan perasaan negatif. 

Namun, pola komunikasi semacam ini dapat memperkeruh hubungan, terutama jika pihak yang dituju merasa tersinggung tetapi tidak memiliki kesempatan untuk membahas masalah secara terbuka.

2. Menghindari Komunikasi Langsung

Menghadapi konflik secara langsung membutuhkan keberanian, kedewasaan emosional, dan keterampilan komunikasi yang baik. 

Sayangnya, ini sering kali tidak dimiliki oleh mereka yang memiliki kecenderungan pasif-agresif. 

Mereka lebih memilih menggunakan media sosial sebagai saluran untuk menyampaikan perasaan mereka daripada berbicara langsung kepada orang yang bersangkutan. 

Misalnya, jika merasa kecewa dengan seorang teman, mereka akan menulis status seperti, “Kadang, ada orang yang lupa jasa teman lama.”

Pendekatan ini sering kali menciptakan kebingungan dan memicu spekulasi di antara pembaca. 

Bukannya menyelesaikan masalah, postingan semacam ini malah memperburuk situasi karena pihak yang merasa tersindir mungkin akan bereaksi defensif. 

Selain itu, perilaku ini juga mencerminkan pelarian dari tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik secara sehat.

3. Sering Mengkritik Tanpa Menyebut Nama

Kritik tidak langsung adalah salah satu ciri khas postingan pasif-agresif. Alih-alih memberikan umpan balik yang jelas, mereka memilih pernyataan umum yang menyindir seseorang. 

Misalnya, “Kayaknya ada orang yang butuh belajar lebih banyak tentang rasa hormat.” 

Dengan cara ini, mereka merasa telah menyampaikan pendapat tanpa harus bertanggung jawab atas dampaknya.

Perilaku ini bisa jadi sangat merusak, terutama dalam hubungan personal atau profesional. 

Orang yang merasa tersindir mungkin merasa tidak nyaman atau bahkan marah, tetapi mereka tidak bisa secara langsung mengonfrontasi pengirim karena tidak ada nama yang disebutkan. 

Akibatnya, hubungan menjadi semakin tegang, dan masalah yang sebenarnya tidak pernah terselesaikan.

4. Kata-Kata yang Ambigu dan Sulit Dimengerti

Pasif-agresif sering kali menggunakan bahasa yang ambigu atau penuh metafora untuk mengekspresikan perasaan mereka. 

Mereka mungkin memposting sesuatu seperti, “Kadang, kita hanya perlu melihat siapa yang benar-benar ada untuk kita.” 

Kalimat semacam ini tampaknya seperti curhatan biasa, tetapi sebenarnya memiliki target tertentu yang hanya diketahui oleh pengirimnya. 

Dengan cara ini, mereka merasa aman karena dapat menghindari konfrontasi langsung jika seseorang menanyakan maksud dari pernyataan tersebut.

Bahasa yang ambigu juga sering digunakan untuk menjaga citra mereka di depan umum. 

Dengan tidak menunjukkan kemarahan secara eksplisit, mereka tetap terlihat “baik-baik saja” di mata orang lain. 

Namun, pola ini sebenarnya dapat memperburuk konflik, karena pihak yang merasa disindir tidak memiliki kesempatan untuk memahami dan memperbaiki situasi.

5. Menggunakan Sarkasme dan Ejekan Sebagai Senjata

Sarkasme adalah senjata utama bagi mereka yang berperilaku pasif-agresif. Melalui humor atau ejekan yang tampaknya tidak serius, mereka dapat menyampaikan kritik atau ketidakpuasan tanpa harus bertanggung jawab atas dampaknya. 

Contohnya, “Ya ampun, hebat banget ya, ada yang baru kerja seminggu sudah ngerasa bos besar!” 

Sekilas, kalimat ini mungkin terdengar lucu, tetapi sebenarnya mengandung nada sindiran yang tajam.

Sayangnya, penggunaan sarkasme sebagai alat komunikasi sering kali menciptakan jarak dalam hubungan. 

Pihak yang menjadi sasaran mungkin merasa terluka atau tidak dihargai, tetapi tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka karena komentar tersebut disamarkan sebagai lelucon. 

Dalam jangka panjang, perilaku semacam ini dapat merusak kepercayaan dan kedekatan antara individu.

6. Selalu Mencari Perhatian dan Validasi

Salah satu alasan utama di balik postingan pasif-agresif adalah kebutuhan untuk mendapatkan perhatian dan validasi. 

Mereka berharap bahwa orang-orang akan berkomentar atau bertanya, “Ada apa? Cerita dong,” atau “Siapa sih yang kamu maksud?” 

Respon semacam ini memberi mereka rasa bahwa mereka didengar dan diperhatikan.

Namun, strategi ini sering kali tidak berhasil dalam jangka panjang. Alih-alih mendapatkan dukungan yang tulus, mereka malah dianggap sebagai pribadi yang manipulatif atau drama. 

Dalam banyak kasus, orang lain mungkin merasa lelah dengan perilaku ini dan memilih untuk menjauh, sehingga si pengirim akhirnya kehilangan dukungan yang sebenarnya mereka butuhkan.

7. Pandangan Hidup yang Cenderung Negatif

Orang-orang yang sering membuat postingan pasif-agresif di media sosial biasanya memiliki pandangan hidup yang lebih pesimis atau negatif. 

Mereka merasa bahwa dunia tidak adil terhadap mereka atau bahwa hidup tidak memberikan apa yang mereka inginkan. 

Alih-alih fokus pada hal-hal positif, mereka lebih banyak mengeluh atau mengkritik, meskipun tidak secara langsung.

Pandangan hidup yang negatif ini sering kali mencerminkan ketidakpuasan internal yang mendalam. 

Dengan menggunakan media sosial sebagai tempat untuk melampiaskan emosi, mereka sebenarnya hanya memperburuk suasana hati mereka sendiri. 

Siklus ini terus berulang, menciptakan pola pikir yang semakin sulit diubah.

8. Lebih Suka Menghadapi Konflik Secara Online

Media sosial memberikan rasa aman bagi mereka yang cenderung pasif-agresif. 

Berbeda dengan interaksi tatap muka, berkomunikasi secara online memungkinkan mereka untuk menghindari konfrontasi langsung. 

Mereka merasa lebih nyaman menyampaikan ketidakpuasan melalui postingan, komentar, atau pesan pribadi dibandingkan berbicara langsung.

Sayangnya, pendekatan ini sering kali memperburuk situasi. Tanpa kehadiran emosi dan bahasa tubuh, pesan yang disampaikan melalui media sosial mudah disalahartikan. 

Selain itu, konflik yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat malah menjadi lebih rumit karena kurangnya komunikasi yang jelas dan terbuka.

9. Memposisikan Diri Sebagai Korban

Mentalitas korban adalah ciri lain yang sering terlihat pada mereka yang membuat postingan pasif-agresif. 

Mereka sering merasa bahwa dunia tidak adil terhadap mereka dan menggunakan media sosial sebagai alat untuk mencari simpati. 

Contohnya, mereka mungkin menulis, “Kadang, yang baik hati justru sering disalahpahami.” 

Postingan semacam ini mencerminkan rasa frustrasi sekaligus kebutuhan untuk divalidasi oleh orang lain. 

Namun, mentalitas korban ini sering kali menjadi penghalang untuk pertumbuhan pribadi. 

Dengan terus-menerus menyalahkan keadaan atau orang lain, mereka kehilangan kesempatan untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

 

***

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #orang #orang #yang #membuat #postingan #pasif #agresif #media #sosial #biasanya #menunjukkan #perilaku #menurut #psikologi

KOMENTAR