Orang yang Mudah Percaya Berita Palsu di Internet, Biasanya Punya 8 Ciri Ini Menurut Psikolog
Orang yang mudah percaya berita palsu di internet biasanya punya 8 ciri ini, kata psikolog./freepik.
14:02
19 Oktober 2024

Orang yang Mudah Percaya Berita Palsu di Internet, Biasanya Punya 8 Ciri Ini Menurut Psikolog

Saat ini, internet dibanjiri dengan banyak informasi, tetapi tidak semuanya benar. Setiap hari, banyak sekali berita dan opini dibagikan di berbagai platform media sosial.

Beberapa di antaranya berdasarkan fakta, sementara yang lain sengaja dibuat untuk menyesatkan.

Mudah untuk berpikir bahwa hanya sedikit orang yang mudah tertipu yang tertipu oleh cerita-cerita palsu ini, tetapi kenyataannya, siapa saja dapat tertipu.

Ada ciri-ciri tertentu yang membuat sebagian orang lebih rentan mempercayai berita palsu.

Memahami sifat-sifat ini bukan berarti menghakimi orang lain. Ini tentang mengungkap mengapa misinformasi menyebar dan bagaimana kita dapat lebih baik mencegahnya.

Dilansir dari geediting.com, Sabtu (19/10), berikut 7 ciri orang yang mudah percaya berita palsu di internet.

1. Terlalu percaya diri terhadap kemampuan mereka untuk membedakan kebenaran

“Percayalah, aku bisa tahu kalau sesuatu itu palsu…”

Ini adalah pernyataan umum di antara mereka yang sering mempercayai berita palsu.

Mereka sering kali menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan mereka untuk membedakan berita asli dari berita palsu.

Rasa percaya diri yang berlebihan ini secara paradoks membuat mereka lebih rentan terhadap misinformasi.

Misalnya, seseorang mungkin membaca artikel daring yang penuh dengan teori konspirasi dan klaim yang belum diverifikasi.

Karena percaya diri dengan kemampuan mereka dalam membedakan, mereka mungkin tidak meluangkan waktu untuk memverifikasi informasi atau mempertimbangkan keandalan sumbernya.

Mereka yakin dapat mengenali berita palsu saat melihatnya, jadi mereka tidak mempertanyakan isinya.

Sikap terlalu percaya diri ini lebih dari sekadar sifat, ini adalah bias kognitif yang dapat mendistorsi persepsi kita terhadap realitas.

Hal itu dapat membuat kita merasa sebagai pemikir yang berpengetahuan luas dan rasional, padahal sebenarnya kita menjadi mangsa misinformasi.

2. Minat terhadap berita dan politik menurun

Anehnya, orang-orang yang kurang tertarik pada berita dan politik sering kali lebih cenderung mempercayai berita palsu.

Anda mungkin mengira bahwa mereka yang terlibat mendalam dalam wacana politik akan menjadi orang-orang yang mengonsumsi dan menyebarkan berita palsu, tetapi itu tidak selalu terjadi.

Orang yang kurang terlibat dengan isu politik dan sosial mungkin tidak memiliki latar belakang pengetahuan atau konteks untuk mengidentifikasi informasi palsu.

Mereka mungkin membaca berita utama yang sensasional atau cerita dramatis, dan tanpa memiliki banyak informasi untuk membandingkannya, mereka cenderung memercayainya.

Selain itu, kurangnya minat mereka dapat mencegah mereka memeriksa kredibilitas sumber atau memverifikasi fakta. Mereka membaca berita dengan santai, tidak kritis.

Sifat ini menyoroti pentingnya menumbuhkan minat terhadap isu-isu sosial dan mendidik tentang literasi media.

3. Tingkat kecemasan yang tinggi

Orang yang tingkat kecemasannya tinggi sering kali lebih rentan mempercayai berita palsu. Kecemasan, pada dasarnya, membuat orang lebih waspada terhadap potensi ancaman atau bahaya.

Meningkatnya kondisi kewaspadaan ini dapat membuat mereka lebih mudah menerima berita yang mengkhawatirkan atau sensasional, meskipun berita tersebut tidak berdasarkan kenyataan.

Misalnya, mereka mungkin menemukan berita palsu yang membahas tentang krisis kesehatan yang akan terjadi atau bencana politik yang akan datang.

Berita tersebut memicu kecemasan mereka dan mereka menerimanya sebagai kebenaran karena sesuai dengan pandangan mereka terhadap dunia yang dilandasi rasa takut.

Ini bukan berarti setiap orang yang cemas akan percaya pada berita palsu, tetapi ada korelasi antara tingkat kecemasan yang tinggi dan kemungkinan mempercayai informasi yang salah.

4. Keinginan untuk merasa terhubung dengan lebih banyak orang dan diterima

Kita semua punya kebutuhan untuk merasa terhubung dengan orang lain, untuk merasa menjadi bagian dari komunitas atau kelompok.

Terkadang, kebutuhan ini tanpa sengaja dapat membuat seseorang percaya pada berita palsu.

Mari kita pertimbangkan skenario ini, seseorang menemukan grup daring yang memiliki minat atau pandangan yang sama.

Kelompok ini juga membagikan berita-berita yang mungkin tidak sepenuhnya akurat.

Akan tetapi, orang tersebut mulai mempercayai berita-berita tersebut karena berita-berita tersebut sesuai dengan sentimen kelompok secara keseluruhan.

Mereka mungkin tidak menyadari bahwa informasi itu salah, atau mereka mungkin memilih untuk mengabaikannya, lebih mementingkan rasa memiliki daripada keakuratan fakta.

Hal ini tidak berarti mereka jahat atau bodoh. Itu adalah sifat manusia, yaitu keinginan untuk terhubung dan diterima.

Memahami hal ini dapat membantu kita menyikapi isu berita palsu dengan lebih welas asih dan kurang menghakimi, serta mengarahkan upaya kita dalam mempromosikan literasi media dan pemikiran kritis dengan cara penuh rasa hormat.

5. Kesulitan memahami masalah yang kompleks

Dunia ini penuh dengan berbagai masalah rumit yang sulit dipahami. Topik-topik seperti perubahan iklim, kebijakan ekonomi, atau teknologi canggih bisa sangat membebani dan membingungkan.

Ketika dihadapkan dengan informasi yang rumit, sebagian orang mungkin tanpa sengaja condong ke versi yang disederhanakan, namun menyesatkan, dari isu tersebut.

Misalnya, seseorang dapat menemukan berita palsu yang menyederhanakan isu yang rumit menjadi judul yang menarik atau cerita yang ringkas.

Berita palsu tersebut mungkin tidak menggambarkan isu secara akurat, tetapi mudah dipahami dan dicerna.

Hasilnya, orang tersebut mungkin memercayai dan bahkan membagikan informasi tersebut.

Ini bukan masalah kecerdasan atau tingkat pendidikan, tetapi lebih pada kesulitan memahami subjek yang kompleks.

6. Kurangnya pengecekan fakta

Di dunia yang serba cepat ini, meluangkan waktu untuk memeriksa fakta setiap berita yang kita temukan bisa terasa seperti pekerjaan rumah. Namun, di sinilah kita perlu jujur ​​pada diri sendiri.

Tertipu oleh berita palsu tidak selalu terkait dengan ciri psikologis atau bias kognitif; terkadang, masalahnya adalah tidak berupaya memverifikasi informasi.

Kita semua pernah melakukannya di suatu waktu. Anda melihat berita utama yang kontroversial, menjadi marah, dan menekan tombol bagikan tanpa berpikir dua kali. Namun di situlah kita perlu berhenti sejenak dan bertanggung jawab.

Pemeriksaan fakta bukan hanya untuk jurnalis atau peneliti; tetapi merupakan keterampilan penting bagi siapa pun yang menjelajahi era informasi.

Ini tentang menjadi konsumen yang bertanggung jawab dan penyebar informasi. Dan jika kita tidak melakukannya, kita adalah bagian dari masalah, bukan solusinya.

Jadi, mari kita bekerja keras dan berkomitmen untuk memverifikasi sebelum membagikannya. Memang lebih banyak kerjaan, tetapi hasilnya sepadan.

7. Kurangnya literasi media

Literasi media adalah kuncinya. Kemampuan untuk mengevaluasi secara kritis informasi yang kita konsumsi secara daring merupakan keterampilan yang krusial di era digital saat ini.

Tanpa kemampuan ini, kita rentan terhadap berita palsu dan misinformasi. Ini bukan tentang menyalahkan individu karena tidak tahu; sebaliknya, ini tentang mengenali perlunya pendidikan dan kesadaran.

Kita perlu memahami cara memeriksa sumber, membedakan fakta dari opini, dan mengenali bias dalam pelaporan.

Dalam menghadapi kelebihan informasi, literasi media adalah pertahanan terkuat kita terhadap berita palsu. Ini adalah keterampilan yang perlu kita semua kembangkan dan terus asah.

Marilah kita jadikan literasi media sebagai prioritas, untuk diri kita sendiri, keluarga kita, dan masyarakat kita.

Editor: Hanny Suwindari

Tag:  #orang #yang #mudah #percaya #berita #palsu #internet #biasanya #punya #ciri #menurut #psikolog

KOMENTAR