Being Chronically Offline Is the New Cool
Cara menjaga kesehatan mental secara mandiri.(iStockPhoto/pixdeluxe)
09:25
11 Desember 2025

Being Chronically Offline Is the New Cool

PADA suatu titik dalam satu dekade terakhir, kehadiran digital yang konstan berhenti menjadi tanda kemodernan dan mulai terasa seperti kewajiban sosial yang melelahkan. Notifikasi yang tak pernah berhenti, tuntutan untuk selalu merespons dengan cepat, dan ekspektasi untuk terus menunjukkan eksistensi melalui unggahan rutin membentuk lanskap sehari-hari banyak orang urban.

Di ruang kerja, di ruang publik, bahkan di ruang privat, koneksi daring seolah menjadi lapisan permanen kehidupan.

Namun justru di tengah saturasi inilah muncul pergeseran sikap yang menarik: semakin banyak individu, terutama di kalangan profesional, akademisi, dan kreatif, secara sadar memilih untuk jarang hadir secara daring. Mereka tidak mengumumkannya dengan manifesto, tidak menghapus akun secara demonstratif, tetapi secara konsisten tidak selalu online.

Fenomena ini kerap diringkas dengan ungkapan yang terdengar kasual namun sarat makna: being chronically offline is the new cool. Ungkapan tersebut tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kelelahan kolektif terhadap ritme hidup yang terlalu cepat dan terlalu bising.

Dalam berbagai survei tentang penggunaan media sosial dan kesehatan mental, muncul pola yang konsisten: semakin tinggi intensitas keterhubungan, semakin tinggi pula tingkat distraksi, kecemasan, dan fragmentasi perhatian.

Di kota-kota besar, di mana pekerjaan berbasis pengetahuan bergantung pada konsentrasi dan pengambilan keputusan, keterhubungan terus-menerus justru menjadi penghalang produktivitas.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka bukan lagi seberapa cepat seseorang merespons pesan, melainkan seberapa dalam ia mampu berpikir. Dari sini, masalah yang lebih mendasar mulai terasa: apakah paradigma keberhasilan sosial dan profesional yang mensyaratkan kehadiran online tanpa henti masih relevan, atau justru mulai kontraproduktif.

Masalah tersebut bukan semata persoalan teknologi, melainkan persoalan perhatian sebagai sumber daya. Ekonom dan psikolog perilaku Herbert Simon sudah menyinggung jauh sebelum era media sosial bahwa kelimpahan informasi menciptakan kelangkaan perhatian. Dalam kerangka ini, perhatian menjadi komoditas yang diperebutkan, bukan hanya oleh platform digital, tetapi juga oleh institusi, organisasi, dan bahkan individu satu sama lain.

Ketika setiap aplikasi dirancang untuk menarik dan mempertahankan atensi selama mungkin, individu berada dalam posisi defensif, sering kali tanpa menyadarinya. Being chronically offline dapat dipahami sebagai respons terhadap kondisi ini, sebuah upaya merebut kembali kendali atas perhatian yang terus-menerus diperebutkan.

Salah satu teori yang membantu menjelaskan dinamika ini datang dari ranah ekonomi digital dan psikologi kognitif, yakni teori attention economy. Dalam teori ini, perhatian dipandang sebagai mata uang utama dalam lingkungan informasi yang berlebih. Platform bersaing bukan terutama pada kualitas konten, melainkan pada kemampuannya mempertahankan pengguna selama mungkin.

Notifikasi, infinite scroll, dan algoritma personalisasi tidak netral; semuanya dirancang untuk memaksimalkan waktu layar. Dalam konteks ini, individu yang memilih untuk jarang online secara tidak langsung menolak logika dasar ekonomi perhatian. Ia mengambil sikap yang, meski tampak pasif, sebenarnya aktif: mengurangi eksposur terhadap mekanisme yang merancang perilaku secara halus namun persisten.

Di sisi filsafati, sikap ini juga dapat dibaca melalui pemikiran Hannah Arendt tentang vita activa dan ruang kontemplasi. Arendt, seorang filsuf politik abad ke-20 yang banyak merefleksikan kondisi manusia modern, mengingatkan bahwa kehidupan yang sepenuhnya terserap dalam aktivitas dan respons terus-menerus berisiko kehilangan dimensi berpikir.

Berpikir, bagi Arendt, membutuhkan jarak, jeda, dan kemampuan menarik diri sejenak dari arus peristiwa. Dalam dunia yang menuntut respons instan, jarak ini menjadi semakin sulit diciptakan.

Being chronically offline, dalam pembacaan ini, bukanlah sikap anti-sosial, melainkan upaya memulihkan ruang berpikir yang tergerus oleh tuntutan kehadiran konstan. Gambaran konkret dari dinamika ini dapat dilihat dalam praktik kerja di sektor teknologi dan kreatif. Banyak perusahaan rintisan yang pada awalnya merayakan budaya always online, komunikasi instan, dan transparansi real time, mulai merevisi pendekatan mereka.

Studi kasus yang sering dibicarakan adalah kebijakan komunikasi asinkron di beberapa perusahaan teknologi global, di mana karyawan didorong untuk tidak selalu online dan tidak diharapkan membalas pesan di luar jam tertentu.

Awalnya kebijakan ini dipandang radikal, bahkan berisiko menurunkan kolaborasi. Namun dalam evaluasi jangka menengah, banyak organisasi justru mencatat peningkatan kualitas output dan kepuasan kerja. Individu yang tidak terus-menerus terganggu notifikasi mampu bekerja lebih mendalam, merencanakan dengan lebih matang, dan membuat keputusan yang lebih reflektif.

Dari sini terlihat bahwa being chronically offline bukan semata preferensi personal, melainkan bagian dari eksperimen sosial yang lebih luas tentang cara manusia bekerja dan hidup di era digital.

Namun sikap ini juga mengandung ambiguitas. Di satu sisi, ia menawarkan pembebasan dari tekanan konektivitas. Di sisi lain, ia berisiko menjadi simbol status baru. Seperti yang diamati oleh sosiolog Pierre Bourdieu, praktik-praktik tertentu yang awalnya berfungsi sebagai pembebasan dapat dengan cepat berubah menjadi penanda distingsi.

Dalam konteks ini, kemampuan untuk offline secara kronis sering kali hanya mungkin bagi mereka yang memiliki posisi, otonomi, atau sumber daya tertentu. Seorang eksekutif senior atau akademisi mapan dapat memilih untuk jarang online tanpa kehilangan peluang, sementara pekerja junior atau freelancer sering kali tidak memiliki kemewahan tersebut.

Analisis ini menunjukkan bahwa fenomena being chronically offline tidak dapat dibaca secara naif sebagai solusi universal. Ia beroperasi dalam struktur sosial yang tidak seragam. Namun justru di sinilah letak signifikansinya. Ketika semakin banyak figur publik, pemikir, dan pemimpin organisasi secara implisit menunjukkan bahwa mereka tidak selalu online, norma sosial mulai bergeser.

Respons cepat tidak lagi otomatis diasosiasikan dengan profesionalisme, dan keheningan tidak lagi selalu dibaca sebagai kelalaian. Norma baru ini membuka ruang bagi redefinisi produktivitas dan kehadiran. Implikasi dari pergeseran ini meluas ke ranah pendidikan, pekerjaan, dan interaksi sosial sehari-hari.

Di lingkungan akademik, misalnya, terdapat tekanan untuk terus mengikuti arus publikasi daring, diskusi media sosial, dan konferensi virtual. Namun semakin banyak akademisi yang secara terbuka membatasi kehadiran digital mereka melaporkan peningkatan kualitas penelitian dan kepuasan intelektual.

Mereka memilih membaca lebih dalam daripada merespons cepat, menulis dengan ritme sendiri daripada mengikuti siklus trending topic.

Pola yang sama mulai terlihat di kalangan kreatif, di mana periode offline sengaja dijadwalkan sebagai bagian dari proses kreatif, bukan sebagai jeda darurat akibat kelelahan. Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, sikap ini juga mempengaruhi cara orang memaknai relasi.

Komunikasi yang tidak selalu instan menciptakan ekspektasi baru tentang kesabaran dan kehadiran. Percakapan tidak harus berlangsung terus-menerus sepanjang hari; ia dapat terputus dan disambung kembali tanpa kehilangan makna. Ini berlawanan dengan asumsi awal platform digital bahwa konektivitas tanpa jeda akan memperkuat relasi.

Pengalaman empiris banyak orang justru menunjukkan sebaliknya: relasi yang diberi jarak dan ritme cenderung lebih tahan lama dan tidak melelahkan. Dari sini muncul pertanyaan praktis tentang bagaimana individu dan institusi dapat menavigasi fenomena ini tanpa jatuh ke dalam romantisasi.

Being chronically offline bukan berarti advokasi isolasi atau penolakan teknologi. Ia lebih tepat dipahami sebagai literasi baru, kemampuan mengelola kehadiran digital secara sadar. Seperti dikemukakan oleh Cal Newport, seorang penulis dan professor ilmu komputer yang banyak menulis tentang deep work, nilai utama dalam ekonomi pengetahuan bukanlah ketersediaan tanpa henti, melainkan kemampuan menghasilkan kontribusi bernilai tinggi.

Kemampuan tersebut membutuhkan kondisi kerja dan hidup yang tidak selalu kompatibel dengan konektivitas total. Dalam praktik sehari-hari, sikap ini dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan kecil namun konsisten: batas waktu respons yang wajar, penghapusan notifikasi non-esensial, dan normalisasi komunikasi asinkron.

Di tingkat organisasi, ia dapat diwujudkan dalam ekspektasi kerja yang lebih realistis dan penghargaan terhadap hasil, bukan kehadiran daring. Di tingkat sosial, ia menuntut perubahan cara menilai komitmen dan profesionalisme.

Pada akhirnya, daya tarik dari being chronically offline terletak pada pesan implisitnya. Ia menyatakan bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh visibilitas konstan, bahwa kualitas tidak selalu sejalan dengan kecepatan, dan bahwa kehadiran yang dipilih dengan sadar lebih bermakna daripada kehadiran yang dipaksakan oleh sistem.

Dalam dunia yang semakin ramai dan cepat, sikap ini menawarkan estetika baru tentang ketenangan dan kendali. Ia terlihat cool bukan karena ingin menentang arus, melainkan karena memancarkan keyakinan bahwa tidak semua hal perlu segera direspons, tidak semua pikiran perlu segera dibagikan, dan tidak semua momen harus direkam dan diunggah.

Dengan demikian, being chronically offline bukan sebuah tren sementara, melainkan gejala kedewasaan budaya digital. Ia menandai pergeseran dari fase euforia konektivitas menuju fase refleksi tentang batas.

Selama teknologi tetap hadir dalam kehidupan manusia, ketegangan antara online dan offline akan selalu ada. Yang berubah adalah kesadaran bahwa tidak selalu berada di tengah arus justru dapat menciptakan ruang untuk berpikir, bekerja, dan hidup dengan lebih utuh. Dan mungkin, dalam kesenyapan yang disengaja itulah, bentuk keren yang baru menemukan momentumnya.

Tag:  #being #chronically #offline #cool

KOMENTAR