



Ibu Hamil dan Menyusui, Sasaran Strategis Program MBG yang Kerap Terpinggirkan
- Sejak pertama kali diluncurkan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat perhatian luas dari masyarakat.
Isu seputar kandungan gizi, kasus keracunan makanan, keterlambatan pembayaran mitra, dan efektivitas penyaluran menjadi bahan diskusi publik.
Pemerintah menempatkan MBG sebagai prioritas utama dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau quick wins pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
Tujuan utama program tersebut adalah untuk membangun generasi sehat, cerdas, dan produktif menuju Indonesia Emas 2045.
Terdapat empat pilar yang menjadi landasan pelaksanaan program MBG, antara lain peningkatan status gizi, partisipasi dan kualitas pendidikan, penguatan ekonomi, serta pengentasan kemiskinan.
Mengacu pada RPJMN dan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, terdapat empat kelompok sasaran utama MBG, yakni peserta didik di seluruh jenjang pendidikan termasuk pesantren, anak usia di bawah lima tahun, serta ibu hamil dan menyusui.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, kelompok terakhir—ibu hamil dan menyusui—sering kali tidak menjadi prioritas.
“Selama ini, fokus program MBG lebih banyak tertuju pada peserta didik karena lebih mudah dijangkau melalui sekolah,” ujar Wakil Ketua Early Childhood Education and Development (ECED) Council sekaligus ECED Ecosystem Development Lead Tanoto Foundation, Fitriana Herarti.
Padahal, lanjut dia, fase paling krusial dalam tumbuh kembang anak justru dimulai sejak masa kehamilan hingga usia tiga tahun.
Fitriana menegaskan, masa kehamilan hingga usia 3 tahun adalah periode emas perkembangan otak anak.
Sekitar 80 persen perkembangan otak terjadi dalam tiga tahun pertama kehidupan. Gizi dan stimulasi yang cukup pada fase ini akan menentukan masa depan anak secara kognitif dan fisik.
Jika ibu hamil kekurangan gizi, risiko bayi lahir dengan berat badan rendah akan meningkat.
Sementara itu, ibu menyusui yang mengalami kekurangan gizi rentan mengalami penurunan volume ASI, pemulihan pascapersalinan yang terhambat, kerusakan tulang, anemia, hingga penurunan imunitas tubuh.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sang ibu, tetapi juga oleh anak yang diasuhnya.
“Ibu hamil dan menyusui bukan sekadar penerima bantuan makanan. Mereka adalah individu dewasa dengan otonomi penuh yang harus dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan gizi bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu, harus menggunakan pendekatan yang berbeda” tegas Fitriana.
Tantangan data dan akses layanan
Saat ini, distribusi MBG untuk ibu hamil dan menyusui masih mengandalkan layanan kesehatan terdekat, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), puskesmas pembantu (pustu), dan pos pelayanan terpadu (posyandu).
Namun, pendekatan tersebut menyimpan tantangan tersendiri. Contohnya, ibu hamil dan menyusui umumnya hanya mengakses layanan ini sebulan sekali, sedangkan intervensi MBG idealnya bersifat harian untuk mencapai dampak maksimal.
“Karena itu, desain intervensi yang memadukan edukasi gizi menjadi sangat penting,” ujar Fitriana.
Edukasi gizi dibutuhkan agar kelompok sasaran tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi juga bertransformasi menjadi agen perubahan gizi dalam keluarga.
Strategi tersebut dinilai lebih menjamin keberlanjutan program MBG dan akan menciptakan dampak jangka panjang.
Peran edukasi gizi: dari informasi ke perubahan perilaku
Pendekatan edukasi bagi ibu hamil dan menyusui tak bisa disamakan dengan pendekatan untuk anak-anak.
Diperlukan metode pembelajaran orang dewasa atau andragogi yang menekankan pengalaman nyata, partisipasi aktif, serta relevansi materi dengan kebutuhan harian.
“Materi edukasi harus kontekstual. Lebih efektif mengajak ibu menyusun dan memasak menu bergizi, daripada sekadar menjelaskan definisi gizi seimbang,” kata Fitriana.
Menurutnya, pengalaman hidup para ibu harus dijadikan sumber pembelajaran. Fokus utama bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membantu ibu memecahkan masalah gizi dalam keseharian mereka.
Namun, edukasi yang baik belum tentu langsung berdampak pada perubahan perilaku. Diperlukan proses bertahap yang dikenal dengan pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) mencakup:
- Prakontemplasi – belum sadar pentingnya gizi;
- Kontemplasi – mulai sadar namun belum siap berubah;
- Persiapan – merencanakan perubahan;
- Tindakan – mulai menerapkan perilaku sehat;
- Pemeliharaan – menjaga konsistensi perubahan tersebut.
“Perubahan tak terjadi dalam sekejap. Pendampingan yang konsisten menjadi kunci untuk memastikan bahwa edukasi benar-benar berdampak,” jelas Fitriana.
Menempatkan ibu sebagai subjek, bukan objek program
Pemberian makanan bergizi hanya akan efektif jika dibarengi dengan upaya memberdayakan sasaran.
Jika diberi pengetahuan dan ruang untuk berperan aktif, ibu hamil dan menyusui mampu menjadi motor penggerak perubahan gizi dalam keluarga.
“Sasaran ibu hamil dan ibu menyusui seharusnya tidak lagi dipandang sebagai penerima manfaat semata, tetapi sebagai agen perubahan yang mampu menjangkau sasaran-sasaran lain dalam ekosistem MBG,” pungkas Fitriana.
Tag: #hamil #menyusui #sasaran #strategis #program #yang #kerap #terpinggirkan