Rumah, Sekolah Pertama Anak
Ilustrasi orang tua memasak bersama anak di dapur. (Dok. Pexels - RDNE Stock)
17:55
5 Juni 2025

Rumah, Sekolah Pertama Anak

- Rumah bukan sekadar tempat berlindung dari panas dan hujan, bukan pula semata tempat melakukan rutinitas kehidupan harian.

Lebih dari semua itu, rumah adalah ruang hidup yang kaya akan interaksi bermakna. 

Menurut dosen Pendidikan Guru PAUD Universitas Nusa Cendana sekaligus anggota Early Childhood Education and Development (ECED) Council, Beatriks Novianti Bunga, dalam perspektif pengembangan anak usia dini, rumah adalah ekosistem pembelajaran pertama dan paling fundamental.

Tempat di mana seluruh pengalaman sensorik, emosional, dan sosial anak terbentuk secara intensif dan mendalam.

“Ruang hidup yang penuh potensi, sekolah kecil yang tiap sudutnya dapat menjadi media stimulasi dan rangsangan perkembangan yang mendalam bagi tumbuh kembang anak usia dini,” ujar Beatriks.

Namun, ia menyayangkan peran rumah dalam pendidikan anak usia dini (PAUD) yang kerap kali diremehkan atau diposisikan hanya sebagai pelengkap dari sistem pendidikan formal.

Kesibukan orangtua untuk memenuhi tuntutan ekonomi juga semakin mengikis peran rumah sebagai ruang belajar yang alami dan penuh makna.

Padahal, fondasi kecerdasan, kepekaan emosional, hingga ketahanan mental anak justru terbentuk pertama kali di rumah.

Dua lokasi terbaik di rumah untuk eksplorasi anak menurut Beatriks adalah dapur dan kamar tidur. Keduanya, meskipun tampak sederhana, menyimpan makna simbolik yang kuat.

Dapur mencerminkan kebutuhan akan gizi dan eksplorasi indrawi, sementara kamar tidur menjadi ruang bagi kelekatan emosional, rasa aman, dan pembentukan mental.

Dapur: laboratorium sensorik yang terabaikan

Dapur, misalnya, kerap dikategorikan sebagai zona dewasa, berbahaya, dan tidak cocok untuk anak. Namun, Beatriks mengajak kita untuk merevisi asumsi tersebut.

“Dapur, jika dipandu dengan kesadaran dan pengawasan, dapat menjadi ruang eksplorasi sensorik, kognitif, sekaligus emosional yang sangat kaya,” ujarnya.

Saat anak membandingkan ukuran sendok, mereka belajar tentang perbandingan ukuran, berat, dan koordinasi motorik. 

Saat mendengar suara denting sendok, irama ketukan spatula di panci, atau gemercik air, mereka belajar membentuk kepekaan terhadap variasi bunyi, ritme, dan fokus, yang merupakan awal dari literasi musikal, konsentrasi, dan daya tangkap sensorik yang bisa diasah secara natural.

Saat mencium aroma sereh, mengamati warna-warni cabai, dan menyentuh tekstur serta menyortir daun bayam, mereka belajar tentang alam, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan melatih motorik halus yang penting untuk kemampuan menulis nantinya.

“Sayangnya, aktivitas-aktivitas ini sering dianggap mengganggu. Padahal, justru di sanalah terjadi bonding emosional, rasa percaya diri anak tumbuh, dan motivasi intrinsik untuk belajar terbentuk,” jelas Beatriks.

Hal tersebut, lanjut dia, sesuai dengan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget (1936), bahwa anak-anak di usia praoperasional (2-7 tahun) membutuhkan pengalaman konkret untuk mengembangkan simbol dan imajinasi.

"Jika kita terus menyuruh anak 'jangan ganggu mama di dapur', kita bukan hanya membatasi ruang eksplorasi mereka, tetapi juga memutus potensi interaksi yang membentuk pola pikir mereka," tambah Beatriks. 

Kamar tidur: ruang refleksi, kelekatan, dan ketahanan emosional

Ilustrasi orangtua membacakan dongeng kepada anak. Dok. Pexels-Pavel Danilyuk Ilustrasi orangtua membacakan dongeng kepada anak.

Berbeda dari dapur yang penuh dinamika eksplorasi, kamar tidur menawarkan fungsi yang lebih kontemplatif.

Beatriks menyebutnya sebagai ruang relasi, refleksi, dan penguatan emosi. Di sinilah anak bisa merasa aman dan bebas mengekspresikan diri. 

Membacakan cerita sebelum tidur dapat bermanfaat bagi anak untuk belajar mengenali tokoh, memahami emosi, dan menghubungkan cerita dengan kehidupannya.

Berdialog ringan tentang hari yang dilalui dapat membentuk ketahanan emosi dan rasa percaya diri anak.

“Seperti pertanyaan sederhana: ‘Apa yang kamu sukai hari ini?’, sebenarnya adalah pintu masuk menuju perkembangan emotional literacy, keterampilan yang terbukti menjadi prediktor penting dalam kesuksesan sosial dan akademik anak di masa depan,” kata Beatriks.

Sementara itu, sentuhan lembut, elusan kepala, dan pelukan hangat sebelum tidur dapat menenangkan fisik anak, juga mengirim pesan yang dalam, yaitu orangtua atau pengasuh hadir untuk mereka.

“Dan semua ini harus dilakukan secara rutin sebagaimana dipaparkan teori kelekatan dari John Bowlby (1969), bahwa hubungan yang aman antara anak dan orangtua terbentuk dalam kedekatan yang konsisten, bukan dalam kesibukan atau rutinitas yang terburu-buru," sambung Beatriks.

Mengembalikan makna rumah sebagai ruang belajar

Dalam era modern, di mana gawai dan tekanan ekonomi membuat orangtua kian sibuk, peran rumah sebagai ruang tumbuh anak perlahan tergeser.

“Anak-anak tidak selalu butuh alat bantu belajar canggih atau pendidikan intensif, yang mereka butuhkan adalah ruang aman untuk bertanya dan membuat kesalahan, tanpa perasaan takut dihukum,” ucap Beatriks.

“Jika rumah gagal menyediakan hal-hal mendasar ini, maka anak akan memasuki dunia sekolah dengan luka-luka psikologis yang tak terlihat, seperti rasa tidak aman, kesulitan mengelola emosi, dan kebutuhan afeksi yang belum terpenuhi,” tambahnya.

Di sinilah urgensinya melihat rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai ruang pertumbuhan psikososial yang esensial. 

“Sebelum kita terlalu sibuk memilih sekolah terbaik untuk anak, mari kita pastikan bahwa rumah telah menjadi ruang belajar yang paling bermakna. Tempat di mana anak merasa aman, diperhatikan, dan dihargai. Sebab, di balik setiap anak yang tumbuh utuh, selalu ada rumah yang mencintainya tanpa syarat,” pungkas Beatriks.

Tag:  #rumah #sekolah #pertama #anak

KOMENTAR