Orang yang Dibesarkan Orang Tua Narsis dan Egois, Biasanya Punya 7 Ciri Kepribadian Ini, Kata Psikologi
Kepribadian orang yang dibesarkan orang tua narsis dan egois menurut psikologi./Freepik.
18:56
21 Februari 2025

Orang yang Dibesarkan Orang Tua Narsis dan Egois, Biasanya Punya 7 Ciri Kepribadian Ini, Kata Psikologi

 Cara seseorang dibesarkan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya, termasuk jika mereka tumbuh di bawah asuhan orang tua yang narsis dan egois.

Dalam psikologi, pola asuh narsis dan egois sering kali membuat anak mengalami tekanan emosional, manipulasi, atau kurangnya validasi terhadap perasaan mereka.

Akibatnya, ketika dewasa, mereka cenderung mengembangkan ciri-ciri kepribadian tertentu sebagai mekanisme bertahan.

Dilansir dari geediting.com pada Jumat (21/2), diterangkan bahwa terdapat tujuh ciri kepribadian orang yang dibesarkan orang tua narsis dan egois menurut psikologi.

  1. Perjuangan dengan keraguan diri

Tumbuh besar dengan orang tua yang terus-menerus mengkritik, mengabaikan perasaan, atau membuat segalanya tentang mereka sendiri dapat membuat anak mulai meragukan dirinya sendiri.

Seiring waktu, ini bisa berubah menjadi keraguan diri yang kronis di mana kamu mungkin akan mempertanyakan keputusanmu sendiri, khawatir membuat orang lain kesal, atau merasa tidak pernah cukup “baik”.

Hal ini terjadi karena orang tua yang narsistik atau terlalu fokus pada diri sendiri sering membuat cinta dan persetujuan terasa bersyarat, mengajarkan anak bahwa nilai mereka bergantung pada kemampuan memenuhi ekspektasi orang tua—tidak peduli seberapa tidak realistis atau selalu berubah-ubah ekspektasi tersebut.

  1. Kesulitan menetapkan batasan

Anak yang dibesarkan oleh orang tua narsistik sering kesulitan untuk mengatakan “tidak” — bahkan ketika mereka sangat ingin melakukannya. Mereka cenderung memenuhi permintaan teman meskipun harus mengorbankan kepentingan pribadi, menerima pekerjaan tambahan dari rekan kerja tanpa ragu, dan membuat alasan bagi orang yang memperlakukan mereka dengan buruk daripada membela diri.

Pola ini muncul karena saat tumbuh besar, kebutuhan orang tua selalu diutamakan — jika orang tua kesal, anak harus memperbaikinya; jika orang tua menginginkan sesuatu, anak diharapkan untuk patuh tanpa pertanyaan.

Pengasuhan seperti ini mengajarkan bahwa kebutuhan pribadi tidak sepenting kebutuhan orang lain, padahal menetapkan batasan bukanlah tindakan egois melainkan kebutuhan penting untuk kesehatan mental.

  1. Terlalu sensitif terhadap kritik

Ketika kamu tumbuh dengan orang tua yang terus-menerus menunjukkan kekuranganmu, sangat mudah untuk menjadi sangat waspada terhadap segala bentuk kritik—sekecil apapun.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kritik berlebihan dari pengasuh sering mengembangkan respons stres yang tinggi terhadap umpan balik negatif, karena otak mulai mengaitkan kritik dengan bahaya, membuat bahkan komentar konstruktif terasa seperti serangan pribadi.

Sebagai orang dewasa, ini bisa muncul dalam berbagai cara—mungkin kamu terlalu menganalisis umpan balik di tempat kerja, memutar ulang kata-kata dalam pikiranmu selama berhari-hari, atau mungkin perselisihan sederhana dengan teman terasa seperti penolakan yang mendalam.

  1. Mengutamakan kebutuhan orang lain

Ketika orang tua terfokus pada diri sendiri, anak sering belajar bahwa peran mereka adalah untuk merawat orang lain—bahkan dengan mengorbankan diri sendiri.

Mereka mungkin menjadi teman yang selalu mendengarkan masalah semua orang tetapi tidak pernah berbagi masalah mereka sendiri, rekan kerja yang mengambil pekerjaan tambahan tanpa mengeluh, atau pasangan yang memprioritaskan kebahagiaan pasangannya di atas kesejahteraan mereka sendiri.

Seiring waktu, pola ini dapat menyebabkan kelelahan, kebencian, dan bahkan kelelahan mental. Terus-menerus mengabaikan kebutuhanmu sendiri tidaklah berkelanjutan dan dapat mempersulit pembentukan hubungan yang seimbang dan sehat.

  1. Kesulitan mempercayai perasaan sendiri

Tumbuh dengan orang tua narsistik seringkali membuat emosi menjadi membingungkan—satu saat semuanya tampak baik-baik saja, saat berikutnya terjadi ledakan emosi yang entah bagaimana selalu terasa seperti kesalahan anak.

Ketika orang tua terus-menerus mengabaikan atau memutar kenyataan untuk sesuai dengan narasi mereka sendiri, ini mengajarkan anak untuk meragukan emosi mereka sendiri.

Mereka mulai bertanya-tanya: “Apakah orang tua saya benar-benar tidak adil, atau saya yang bereaksi berlebihan? Apakah komentar itu benar-benar menyakitkan, atau saya terlalu sensitif?” Seiring waktu, menjadi lebih mudah untuk mengabaikan perasaan sendiri.

  1. Merasa bertanggung jawab atas emosi orang lain

Ketika orang tua membuat anaknya merasa bertanggung jawab atas suasana hati mereka—baik melalui rasa bersalah, menyalahkan, atau ledakan emosional—anak tersebut belajar untuk memprioritaskan perasaan orang lain di atas perasaan mereka sendiri.

Sebagai orang dewasa, ini bisa terlihat seperti terus-menerus memantau emosi orang-orang di sekitarmu, berusaha membuat semua orang bahagia, atau merasa cemas ketika seseorang tampak kesal (bahkan jika itu tidak ada hubungannya denganmu).

Kamu mungkin ikut campur untuk memperbaiki masalah yang bukan tanggung jawabmu atau merasa sangat bersalah ketika tidak bisa membuat seseorang merasa lebih baik.

  1. Perjuangan untuk merasa “cukup baik”

Ketika cinta dan persetujuan bersifat bersyarat, hal itu menciptakan keyakinan yang mendalam dan berkelanjutan bahwa siapa dirimu tidak pernah cukup.

Tidak peduli seberapa banyak yang kamu capai, seberapa keras kamu berusaha, atau seberapa banyak jaminan yang kamu dapatkan, selalu ada suara tenang di belakang pikiranmu yang menyuruhmu untuk melakukan lebih banyak, menjadi lebih baik, dan membuktikan dirimu.

Kesuksesan terasa sementara, pujian terasa tidak pantas diterima, dan kegagalan—sekecil apapun—terasa seperti konfirmasi dari setiap keraguan yang pernah kamu miliki tentang dirimu sendiri. Keyakinan ini tidak akan hilang dengan sendirinya, tetapi versi dirimu yang terus-menerus mengejar persetujuan sebagai anak-anak tidak harus terus berlari selamanya.

Editor: Hanny Suwindari

Tag:  #orang #yang #dibesarkan #orang #narsis #egois #biasanya #punya #ciri #kepribadian #kata #psikologi

KOMENTAR