Bukan Sekadar Lagu, Menurut Psikolog 'Benci untuk Mencinta' Gambaran Kondisi Ambivalence, Apa Itu?
- Siapa sih yang nggak familiar dengan lagu Benci untuk Mencinta dari Naif? Lagu yang satu ini pasti sudah jadi soundtrack banyak orang dalam mengarungi perasaan cinta yang penuh dengan kebingungannya.
Liriknya yang sederhana tapi dalam, menggambarkan konflik batin antara perasaan cinta dan benci yang bercampur jadi satu.
Nah, ternyata perasaan yang diungkapkan dalam lagu ini bukan sekadar imajinasi belaka, loh! Menurut psikolog, fenomena Benci untuk Mencinta itu menggambarkan kondisi psikologis yang disebut ambivalence (ambivalensi).
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang apa itu ambivalence dan bagaimana perasaan tersebut bisa terjadi dalam kehidupan kita.
Ambivalence: Cinta dan Benci yang Terjadi Bersamaan
Ambivalence, atau ambivalensi, adalah kondisi psikologis yang sering kali muncul ketika kita merasa dua perasaan bertentangan pada saat yang bersamaan. Misalnya, kita bisa saja merasa cinta tapi di sisi lain, kita juga merasa benci atau kecewa terhadap hal yang sama.
Dalam lagu Naif, kamu pasti bisa merasakan bagaimana perasaan cinta dan benci itu terjalin erat, bahkan saling melengkapi. Tapi nyatanya, ini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Kita sering merasa bingung dan bahkan kesulitan untuk memutuskan perasaan mana yang lebih dominan.
Mengutip penjelasan Angela Saulsbery, M.A., seorang psikolog dari The Ohio State University, dalam artikel Berkeley Well-Being Institute ambivalence adalah kecenderungan untuk menilai sesuatu (atau seseorang) dengan cara yang bertolak belakang. “Kalau kamu ambivalen tentang sesuatu, kamu mungkin berpikir tentangnya secara positif dan negatif pada saat yang bersamaan, memiliki perasaan campur aduk, atau merasa pikiran dan perasaanmu bertentangan,” jelas Angela. Sabtu, (8/2)
Begitu juga dengan lirik lagu Benci untuk Mencinta, yang menyuarakan betapa sulitnya menghadapi perasaan yang saling bertentangan. Itulah mengapa banyak orang bisa merasa sangat terhubung dengan lagu ini, karena seringkali kita pun mengalami perasaan campur aduk yang sama, terutama dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan personal.
Ambivalence dalam Kehidupan Sehari-hari
Ambivalence tidak hanya muncul dalam hubungan percintaan, tetapi juga dalam banyak aspek kehidupan kita sehari-hari. Angela menjelaskan bahwa perasaan ambivalen ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik itu dari sisi perasaan (affective ambivalence) atau pemikiran (cognitive ambivalence).
Contohnya, kamu bisa merasa suka dengan seorang teman, tapi di sisi lain, kamu juga merasa kesal karena dia sering datang terlambat dan mendominasi percakapan. Atau, kamu merasa penasaran ingin mencoba roller coaster baru, tapi di sisi lain, kamu juga merasa takut. Ini adalah contoh nyata dari ambivalence yang sering kita alami.
Dalam konteks affective-cognitive ambivalence, bisa juga terjadi ketika kamu merasa bosan saat harus membersihkan rumah, tetapi di sisi lain, kamu tahu itu akan membuat rumah menjadi lebih nyaman. Mirip dengan perasaan yang mungkin kamu rasakan ketika mendengarkan Benci untuk Mencinta, perasaan cinta yang bercampur dengan kebencian, yang banyak terjadi dalam hubungan personal.
Ambivalence dalam Hubungan
Masih mengutip penuturan Angela dalam artikel Berkeley Well-Being Institute, ambivalence sering kali muncul dalam hubungan jangka panjang, baik itu dalam hubungan romantis maupun persahabatan. Terkadang, kita hanya menyadari satu sisi dari hubungan tersebut baik itu positif atau negatif.
Misalnya, dalam hubungan romantis, kita bisa sangat mencintai pasangan kita, tetapi ada juga kebiasaan atau sifat tertentu yang membuat kita merasa jengkel atau kecewa. Seperti dalam lagu Naif, hubungan yang awalnya penuh dengan rasa cinta bisa berubah menjadi ambivalen karena kebiasaan buruk atau kesalahpahaman.
Penelitian oleh Zayas & Shoda (2015) menunjukkan bahwa ambivalence dalam hubungan bisa jadi tanda kita sedang berusaha lebih dekat dengan seseorang. Bahkan, ambivalensi ini bisa menjadi motivasi untuk memperbaiki hubungan, asalkan kita siap untuk menghadapinya.
Namun, jika perasaan ambivalen ini terus-menerus muncul, hubungan kita bisa menjadi sumber stres yang berat. Ini bahkan bisa lebih menegangkan dibandingkan dengan hubungan yang jelas-jelas buruk, karena kita terjebak antara dua perasaan yang bertolak belakang. Lalu, kenapa kita bisa mengalami ambivalence?
Kenapa Kita Mengalami Ambivalence?
Mengapa kita bisa mengalami ambivalence? Salah satu alasan utamanya adalah karena manusia memiliki karakter yang kompleks. Menurut penuturan Iskra Fileva, Ph.D., profesor di University of Colorado, yang dikutip melalui laman artikel Psychology Today, ambivalence sering muncul karena kita mengagumi beberapa hal dalam diri seseorang, tetapi di sisi lain, ada sifat atau perilaku yang membuat kita merasa tidak nyaman.
Ini bukan hanya soal bagaimana kita merasa terhadap seseorang, tetapi lebih pada hubungan kita dengan orang tersebut. Misalnya, kamu mungkin sangat menyukai seorang teman, tetapi sifatnya yang terlalu sering membandingkan kamu dengan orang lain bisa membuatmu merasa kurang nyaman.
Ambivalence dalam hubungan emosional bisa menjadi sangat menyakitkan. Seperti yang pernah diungkapkan oleh penyair Romawi, Catullus, dalam puisinya: “I hate and I love. Why I do this, perhaps you ask. I know not, but I feel it happening and I am tortured.” Dalam situasi seperti ini, kita merasa terperangkap antara perasaan cinta dan benci yang sangat kuat, dan hal itu bisa menyebabkan konflik batin yang tak berujung.
Mengatasi Ambivalence Emosional
Menurut Angela, menghadapi ambivalence emosional memang tidak mudah, terutama ketika perasaan tersebut terasa begitu kuat.
Namun, Angela menawarkan beberapa cara yang bisa membantu kita untuk mengatasi atau berdamai dengan ambivalence, seperti yang pernah diungkapkan dalam artikel di Berkeley Well-Being Institute:
1. Bicarakan dengan Terapis: Seorang terapis yang berpengalaman bisa membantu kita mengelola perasaan campur aduk dengan menggunakan teknik seperti motivational interviewing yang bisa membantu kita untuk keluar dari kebingungan.
2. Terima Ambivalence: Kadang, kita tidak perlu langsung menyelesaikan perasaan ambivalen kita. Cobalah untuk menerima perasaan itu, dan ambil langkah kecil dalam membuat keputusan.
3. Perjelas Nilai-nilai yang Penting: Mengetahui apa yang benar-benar penting dalam hidup bisa membantu kita mengatasi kebingungan dalam membuat keputusan besar. Nilai-nilai ini bisa menjadi panduan dalam menentukan pilihan.
4. Terbuka dengan Perasaanmu: Jangan menekan perasaan campur aduk itu. Terimalah dan dengarkan perasaan ambivalen yang ada, karena hal itu bisa membantu kita memahami lebih dalam tentang apa yang kita inginkan dan apa yang kita butuhkan.
Dengan begitu, meskipun lagu Benci untuk Mencinta mengangkat tema yang ringan dengan musik yang menyenangkan, liriknya membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang perasaan manusia. Perasaan ambivalence ini adalah sesuatu yang sangat nyata dan bisa kita alami dalam banyak aspek kehidupan.
Jadi, jika kamu pernah merasa seperti lagu Naif, ingatlah bahwa ambivalence itu adalah bagian dari perjalanan kita untuk mengenal diri sendiri dan membuat pilihan yang terbaik, meskipun sering kali kita merasa bimbang.***
Penulis: Kahirunnisa Al-Araf
Tag: #bukan #sekadar #lagu #menurut #psikolog #benci #untuk #mencinta #gambaran #kondisi #ambivalence