Luka Tapi Tak Terlihat: Simak, Dampak Psikologis Penghinaan di Depan Publik
Inilah dampak Psikologis Penghinaan di Depan Publik. (freepik)
11:42
3 Februari 2025

Luka Tapi Tak Terlihat: Simak, Dampak Psikologis Penghinaan di Depan Publik

 

 - Bayangkan berdiri di tengah keramaian, sementara setiap mata menatap dengan sorotan tajam. Bisikan berubah menjadi sorakan, ejekan, dan cemoohan yang tak berkesudahan. Kata-kata yang terlontar bukan sekadar pendapat, melainkan senjata yang menusuk ke dalam jiwa. Penghinaan di depan publik bukan hanya soal rasa malu sesaat, tetapi juga dapat meninggalkan bekas luka emosional yang mendalam.   Dilansir dari laman psikologis yang tak terduga. Setelah menyuarakan pendapatnya dalam sidang kongres mengenai akses kontrasepsi bagi mahasiswa, ia menjadi sasaran serangan verbal di siaran nasional.   Kata-kata kasar dan julukan merendahkan yang dilontarkan oleh seorang publik figur bukan hanya menyerang pendapatnya, tetapi juga menyerang harga dirinya sebagai individu. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kata-kata memiliki kekuatan besar, bisa membangun, tetapi juga bisa menghancurkan.   Fenomena penghinaan publik seperti ini bukanlah hal baru. Di era digital, dengan media sosial sebagai panggung utama, siapa pun bisa menjadi korban penghinaan massal. Sebuah kesalahan kecil bisa berubah menjadi perundungan daring yang berujung pada tekanan mental luar biasa. Pertanyaannya, seberapa besar dampak penghinaan publik terhadap psikologi seseorang? Bagaimana efeknya terhadap masyarakat yang menyaksikan?   Luka Batin yang Sulit Sembuh   Secara psikologis, penghinaan publik bisa memicu stres berat, kecemasan, bahkan depresi berkepanjangan. Kasus Mark Madoff, putra Bernie Madoff, menjadi bukti betapa beratnya menanggung malu dan hinaan publik. Meski dirinya tidak bersalah secara langsung, dampak sosial dari tindakan ayahnya begitu besar hingga akhirnya ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Kasus serupa juga terjadi pada beberapa eksekutif perusahaan yang mengalami kebangkrutan atau skandal, banyak dari mereka tak mampu menanggung tekanan mental akibat hinaan dan akhirnya bunuh diri.   Ketika seseorang menjadi target penghinaan, identitas dirinya bisa goyah. Harga diri runtuh, rasa percaya diri menghilang, dan hidup terasa tidak lagi memiliki pegangan. Efek ini diperburuk jika penghinaan datang dari figur publik atau disebarluaskan melalui media, di mana dunia seakan ikut serta menghakimi. Tanpa dukungan emosional yang cukup, korban bisa terjebak dalam lingkaran keputusasaan yang sulit dipulihkan.   Efek Domino bagi Lingkungan Sekitar   Penghinaan publik tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Keluarga dan sahabat turut merasakan tekanan emosional yang luar biasa. Mereka melihat orang yang mereka cintai dihancurkan oleh opini publik, tanpa bisa melakukan banyak hal untuk melindungi mereka.   Lebih luas lagi, masyarakat yang terus-menerus menyaksikan fenomena penghinaan publik bisa menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Rasa empati berkurang, dan penghinaan dianggap sebagai hiburan atau bagian dari budaya komunikasi. Bahkan, tak jarang masyarakat ikut serta dalam praktik ini, baik secara sadar maupun tidak. Dengan berkomentar tajam di media sosial atau mendukung perundungan secara tidak langsung.   Ironisnya, normalisasi penghinaan publik juga mendorong lahirnya budaya perundungan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan kerja, sekolah, hingga dunia maya. Fenomena ini semakin berbahaya ketika remaja dan anak-anak mulai mengadopsi pola interaksi yang penuh ejekan, tanpa menyadari konsekuensi psikologisnya.   Mengubah Cara Kita Berbicara   Kasus Sandra Fluke mungkin mendapatkan banyak dukungan setelah penghinaan yang diterimanya, tetapi tidak semua orang seberuntung itu. Tidak semua korban penghinaan memiliki jaringan dukungan yang kuat untuk membantunya bangkit. Inilah mengapa perlu ada kesadaran kolektif untuk mengubah cara berbicara dan berkomunikasi.   Kebebasan berbicara adalah hak, tetapi etika dalam berbicara juga merupakan tanggung jawab. Diskusi dan perbedaan pendapat adalah bagian dari kehidupan, tetapi penghinaan personal seharusnya tidak menjadi bagian dari perdebatan. Kata-kata memiliki dampak besar, bisa menyelamatkan, tetapi juga bisa menghancurkan.   Dunia yang semakin terhubung melalui teknologi seharusnya tidak menjadi tempat yang semakin kejam. Perlu ada batas yang jelas antara kritik dan penghinaan, antara perdebatan sehat dan perundungan. Jika tidak, masyarakat akan terus menerus berada dalam siklus penghinaan yang merusak, tidak hanya bagi individu yang menjadi korban, tetapi juga bagi tatanan sosial secara keseluruhan.   Mari berhenti sejenak dan merenungkan, apakah kata-kata yang diucapkan atau dituliskan telah membangun, atau justru melukai? Sebab, pada akhirnya, kita semua bertanggung jawab atas jejak kata yang kita tinggalkan.   ***

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #luka #tapi #terlihat #simak #dampak #psikologis #penghinaan #depan #publik

KOMENTAR