Makan Bergizi Gratis: Program Baru yang Terburu-buru?
Kotak program makan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kebayunan, Tapos, Kota Depok, Senin (6/1/2025).(KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY)
10:50
31 Januari 2025

Makan Bergizi Gratis: Program Baru yang Terburu-buru?

Tulisan ini dibuat di atas ketinggian 35 ribu kaki atau lebih dari 10 kilometer di atas permukaan laut dalam perjalanan kembali ke tanah air, selepas mengunjungi kerabat di Hongkong menjelang tahun baru Imlek.

Lima hari lepas dari pekerjaan rutin, mengendapkan banyak pemikiran dan merefleksikan segala sesuatunya, sehingga saya harap bisa membuat tulisan ini dibaca lebih nyaman, mampu mengungkit kearifan dan kelapangan nalar serta akal budi.

Program pemerintah “Makan Bergizi Gratis” belakangan ini disorot banyak pihak setelah resmi berjalan sejak 6 Januari yang lalu.

Beberapa kali saya diminta memberi pendapat oleh media, mulai ketika wacana program ini diangkat sebagai janji unggulan di masa Pilpres, hingga aneka isu dan ‘kejutan’ yang muncul sampai detik ini.

Pembiayaan besar menembus 70 trilyun rupiah sebagai anggaran per tahun, awalnya disebut akan difokuskan pada pelaksanaan MBG di wilayah 3T: Terluar, Tertinggal, Terbelakang.

Yang pasti bukan Jabodetabek dan seputar pulau Jawa, di mana uji coba berulang kali diselenggarakan.

Pun uji coba tidak dikelola sebagai prototipe program sesungguhnya: dari dapur penyedia, cara transportasi, waktu pembagian, sampai dengan evaluasi penerima manfaat, dan daur ulang limbah.

Sentralistik dan gagap tanggap

Cenderung bersifat sentralistik dan dikelola tanpa sosialisasi detil soal penjajagan awal alias assessment pra program, membuat banyak pihak di satu sisi gagap tanggap, di sisi lain muncul aneka reaksi.

Padahal, seyogyanya Makan Bergizi Gratis jika dipersiapkan lebih matang, melibatkan kontribusi pakar dan akademisi maka tentu akan menuai dukungan ketimbang komentar berkepanjangan.

Tidak diragukan lagi, jiwa nasionalis presiden terpilih, menjadi greget dan dorongan terbesar pelaksanaan Makan Bergizi Gratis. Sehingga, juru bicara kepresidenan saat ditanya mengapa akhirnya bukan wilayah 3T sebagai inisasi program: jawaban beliau cukup mengejutkan, ternyata dipilih daerah “yang paling siap” secara tata Kelola, bukan daerah yang paling membutuhkan.

Ditambahkannya pula, bahwa wilayah yang “paling siap” walaupun di perkotaan pulau Jawa, ada kantong-kantong kemiskinan, sehingga program ini bersifat “universal”.

Dalam beberapa pertemuan dengan pakar dan akademisi, saya meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang menentang program Makan Bergizi Gratis, yang justru bisa bergulir secara jangka panjang memperbaiki pemahaman publik tentang gizi seimbang, pola makan sehat keluarga, dan dalam jangka pendek meningkatkan kualitas pangan anak sekoah, ibu hamil-menyusui, serta balita -- paling tidak sekali dalam sehari.

Namun, program nasional berskala raksasa ini semestinya direncanakan, dipersiapkan, dijalankan bertahap dengan standar terukur baik secara efisiensi dan efikasi yang benar.

Punya sistem monitoring yang jelas sejak sebelum dimulai dan tahapan evaluasi di pelbagai lini yang terstruktur, dengan sistem umpan balik yang juga punya kelengkapan monitoring dan evaluasi, bagaimana umpan balik tersebut secara berkesinambungan memberi manfaat bergulir di kemudian hari.

Butuh waktu menjalankan juknis

Bisa saja Badan Gizi Nasional ditetapkan sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab penuh berlangsungnya program Makan Bergizi Gratis, sebagaimana telah tercantum dalam petunjuk teknis penyelenggaraan bantuan pemerintah untuk MBG tahun anggaran 2025.

Namun realitanya, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit bagi pemerintah daerah dan dinas terkait untuk “tidak gagap” melaksanakan juknis yang baru saja terbit di bulan Desember 2024.

Begitu pula bab “Kunci Keamanan Pangan” yang mengutip keamanan pangan organisasi kesehatan dunia WHO: jagalah pangan pada suhu aman – ternyata dalam alur makanan selesai dimasak hingga terkirim dibagi dalam 3 kloter.

Yang selesai dimasak pukul 4.30 pagi baru terkirim jam 7.45. Dan baru bisa dimakan sekitar istirahat pertama jam 9.00.

Padahal, prinsip keamanan pangan menyebutkan pada suhu kritis 5-60 derajat Celcius di lebih dari dua jam risiko kontaminasi mikroba tumbuh.

Jadi, suhu aman yang dipersyaratkan WHO mengandaikan makanan dikemas, diantar hingga saatnya dimakan harus terjaga di bawah 5C atau di atas 60C.

Apalagi, jika seluruh kloter selesai dimasak pukul 4.30, sementara kloter terakhir baru diantar pukul 10.00-12.00.

Sekarang bisa dipahami, kenapa ada keluhan “makanan basi” atau “rasanya aneh”, sebagaimana dilontarkan penerima manfaat.

Bulan Desember 2024 Kemenkes RI juga baru menerbitkan Standar Gizi dan Makanan progam Makan Bergizi Gratis dengan aneka resep lauk untuk pelbagai kelompok usia, yang perlu dikelola lagi apabila “master menu “/standar bahan pangan ingin disesuaikan dengan lidah setempat yang menjadi tanggung jawab SPPG/ Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi,

Menurut prakiraan, SPPG ini akan bertambah dari 500 titik lokasi pada awal 2025, menjadi 5.000 titik lokasi di bulan Juli 2025. Suatu proyek mega raksasa yang menguras otak dan tenaga.

Paparan iklan makanan dan minuman tidak sehat

Tentu kedengarannya brutal jika kita membandingkan program makan siang para siswa di Jepang, yang sudah berjalan selama 80 tahun – saat pemerintahnya insyaf dahsyatnya dampak Perang Dunia II bagi anak-anak yang masih hidup dan harus melanjutkan keturunannya.

Sementara anak-anak kita, selama 80 tahun terpapar iklan makanan dan minuman tidak sehat, bahkan kantin sekolah disokong industri produk ultra proses.

Begitu pula para ibu muda, lebih asyik belajar membuat makanan bayi hingga masakan di rumah menggunakan bumbu instan.

Tentu lidah yang sudah terasah begini akan menjadi sulit “dididik ulang”, apalagi ujug-ujug harus mengunyah sayur.

Seperti yang saya tulis di awal, assesment dan edukasi pra program menjadi landasan kokoh yang semestinya tidak boleh terlewat.

Assessment yang kuat membuat kita memahami tabiat makan anak dan preferensi pangannya.

Mengandaikan anak Papua perlu diberi papeda dan ikan kuah asam, akhirnya percuma saja terbuang, sebab mereka sekarang lebih menghargai mi instan dan nasi kuning. Begitu pula anak Jawa lebih doyan cilok ketimbang ikan pepes.

Namun dengan transisi edukasi pra program, pengenalan kembali pangan lokal yang sehat membuat anak dan guru sama pintarnya: bukan cuma menadahkan tangan demi bantuan gratis yang siap dihujat jika kurang nikmat, tapi justru bisa menghargai apa yang diberi.

Menu-menu transisi perlu jadi pertimbangan: saat cilok bergeser jadi bakso ikan sebelum muncul pepes ikan, misalnya.

Ketimbang sajian serangga dan aneka “menu eksotis” yang menjadi anekdot di jaman perang, karena ketidakmampuan membeli telur, ayam, ikan, apalagi daging.

Memberdayakan kantin sekolah

Assessment yang baik juga mempermudah kita melakukan pemetaan sekolah-sekolah yang telah punya kantin.

Pemerintah daerah bisa memberdayakan pemilik kantin sekolah menjadi titik SPPG, dengan meningkatkan standar mutu.

Pemilik kantin selain paham apa yang jadi preferensi pangan anak sekolah di wilayahnya, juga bisa mengolah menu setempat dengan standar gizi yang telah dipelajari, tanpa mereka harus kehilangan pekerjaan, akibat para siswa mendapat makan siang gratis.

Hal di atas menjadi tantangan besar jika monitoring dan evaluasi yang lemah. Dana terkorupsi tentu melukai para pembayar pajak, sekaligus pahlawan ekonomi keluarga di saat kondisi finansial sedang “tidak baik-baik saja”.

Tapi, ini semua layak diperjuangkan secara bertahap dengan cara yang baik dan benar, bukan metode Bandung Bondowoso, sang idealis membangun 1.000 candi dalam semalam atau Sangkuriang yang ditantang membuat perahu dan danau dalam semalam.

Bukan suatu kebetulan rasanya, kenapa bangsa kita punya dua kisah legenda seperti itu – yang barangkali para petinggi dan pejabat negara saat ini dari gen Z maupun milenial tidak lagi paham ceritanya.

Saya juga teringat saat 1 Oktober 1979, pertama kali Hongkong punya trayek MRT yang hingga kini mereka lebih bangga menyebutnya sebagai MTR.

Dibutuhkan 46 tahun “berdarah-darah” untuk jadi seperti sekarang, di mana penduduknya ogah punya kendaraan pribadi.

Sejak pertama saya kenal Hongkong sekitar 55 tahun lalu dan tiap tahun sesudahnya, mustahil cerita “Hongkong tanpa debu dan dentuman tiang pancang”. Dan lihat hasilnya sekarang.

Saya ingat betul nasihat pembimbing disertasi saya, seorang ahli gizi yang amat sederhana dan rendah hati: “It is good to be fast, but it is better to be right!” – memang bagus bisa cepat, tapi lebih baik lagi jika jadi benar.

Dana triliunan bukanlah sejumlah uang yang “biasa”. Apalagi, berasal dari keringat rakyat yang sayang bangsanya.

Keberhasilan program Makan Bergizi Gratis adalah kebanggaan kita semua, wujud nyata kepedulian kualitas generasi masa depan.

Sekalipun contoh lauk masih didominasi gorengan, dengan pemikiran mengurangi risiko basi.

Belum lagi, persoalan susu kotak, yang dalam standar gizi terbitan Kemenkes di atas sama sekali tidak tertulis di dalamnya.

Sementara di luar sana, penerima manfaat program meributkan absennya susu. Ini menunjukkan, edukasi pra program yang terbengkalai.

Era 4 sehat 5 sempurna yang masih melekat erat, termasuk di kalangan pejabat tinggi.

Akibatnya, pembagian susu kotak menjadi ironi: yang dibagikan minuman bergula aneka rasa dengan kandungan susu hanya 30%. Produk berkasta sarat kepentingan, di negara dengan etnik yang 80% masyarakatnya intoleran laktosa.

 

Tag:  #makan #bergizi #gratis #program #baru #yang #terburu #buru

KOMENTAR