5 Poin Penting dari Dialog Raja Abdullah-Trump, Stabilitas Kawasan Jadi Taruhan
RAJA ABDULLAH - Foto ini diambil pada Rabu (12/2/2025) dari publikasi The White House pada Selasa (11/2/2025), memperlihatkan Raja Yordania Abdullah II (kiri) dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan) berfoto di Gedung Putih pada Selasa. Raja Abdullah menghadapi situasi  rumit karena Trump menekan Yordania untuk menerima warga Palestina yang mengungsi akibat serangan militer di Gaza. 
15:00
12 Februari 2025

5 Poin Penting dari Dialog Raja Abdullah-Trump, Stabilitas Kawasan Jadi Taruhan

Raja Yordania Abdullah II menjadi pemimpin Arab pertama yang bertemu Donald Trump di Gedung Putih, sejak masa jabatan kedua presiden Amerika Serikat itu dimulai pada 20 Januari.

Pertemuan Raja Abdullah-Trump terjadi pada Selasa (11/2/2025) di Gedung Putih, Washington DC, lapor Al Jazeera.

Dialog antara keduanya berlangsung di tengah ketegangan tinggi di Gaza, yang dilanda serangan militer Israel sejak Oktober 2023.

Raja Abdullah menghadapi situasi  rumit karena Trump menekan Yordania untuk menerima warga Palestina yang mengungsi akibat serangan militer di Gaza.

Ini menjadi isu yang sangat sensitif, mengingat Yordania, bersama dengan Mesir, menolak untuk menerima warga Palestina yang dipaksa meninggalkan Gaza.

Berikut ini poin-poin penting dari dialog antara Raja Abdullah dan Trump, dikutip dari Al Jazeera dan CNN:

1. Trump Tekankan Rencana Pengambilalihan Gaza

Salah satu bagian yang mencuri perhatian dalam pertemuan ini adalah pernyataan Trump mengenai rencana pengambilalihan Gaza.

Dalam pertemuan tersebut, Trump menyatakan Amerika Serikat akan "mengambil alih" dan "memiliki" Gaza".

Trump mengklaim hal ini akan membawa stabilitas di Timur Tengah untuk pertama kalinya.

Menurut Trump dengan mengendalikan Gaza, AS bisa membangun kembali wilayah tersebut, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengubahnya menjadi kawasan yang makmur.

Trump menegaskan warga Palestina yang tinggal di Gaza akan dipindahkan ke negara ketiga, termasuk Yordania dan Mesir.

Pernyataan ini jelas kontroversial karena tidak hanya mengabaikan hak-hak warga Palestina, tetapi juga bisa memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan tersebut.

"Kami akan mengambilnya. Kami akan mempertahankannya. Kami akan menghargainya," ucap Trump, mengacu pada Gaza yang akan dikelola oleh Amerika Serikat.

Dalam pandangan Trump, Gaza seolah-olah hanya sebuah proyek properti yang perlu dibangun kembali.

Banyak pihak menilai ide ini sangat tidak realistis dan mengabaikan konflik politik dan kemanusiaan yang ada di wilayah tersebut.

2. Yordania Hati-hati Tanggapi Ide Relokasi Warga Gaza

Raja Abdullah II, yang duduk di sebelah Trump selama pertemuan tampak memilih untuk tidak secara langsung menanggapi rencana Trump

Sebagai seorang diplomat berpengalaman, Abdullah memilih bahasa yang hati-hati dan diplomatis untuk menghindari ketegangan dengan Trump.

Abdullah tetap menunjukkan penolakannya terhadap gagasan tersebut.

Ketika ditanya apakah Yordania akan menerima warga Palestina yang mengungsi dari Gaza, Raja Abdullah menjawab dengan tegas kalau negaranya akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan Yordania.

"Yordania tetap pada posisi yang menentang pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat," ungkap Raja Abdullah di media sosial.

Selain itu, dia menegaskan negara-negara Arab, termasuk Mesir, sudah memiliki rencana alternatif untuk Gaza yang tidak akan melibatkan pengusiran warga Palestina.

“Posisi Yordania yang teguh terhadap pengusiran warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat tetap tidak berubah," jelas Abdullah.

Dia juga menyebutkan bahwa negara-negara Arab akan segera mengajukan rencana mereka sendiri mengenai Gaza yang tidak akan melibatkan pemindahan paksa.

3. Rencana Trump Dikecam

Rencana Trump untuk mengalihkan Gaza ke bawah kontrol Amerika Serikat memang terkesan seperti proyek properti besar.

Trump, dengan latar belakang bisnis properti, menggambarkan Gaza sebagai "berlian" di Timur Tengah yang bisa dibangun kembali dengan perumahan mewah, hotel, dan kantor.

Pandangan ini menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan hak-hak politik dan kemanusiaan warga Palestina yang telah tinggal di Gaza selama beberapa generasi.

Trump mengklaim warga Palestina tidak akan ingin tinggal di Gaza setelah dibangun kembali.

Pernyataannya semakin menjelaskan kalau dia mengabaikan kenyataan bahwa banyak dari warga Gaza memiliki ikatan emosional dan sejarah panjang dengan tanah tersebut.

Ketika gencatan senjata baru-baru ini memberikan kesempatan bagi pengungsi Palestina untuk kembali ke Gaza utara, ribuan orang berjalan kaki melintasi puing-puing untuk kembali ke rumah mereka yang hancur.

Pesan mereka sangat jelas: mereka tidak akan meninggalkan tanah mereka lagi.

4. Bantuan AS Jadi Senjata Pengaruhi Yordania dan Mesir

Trump juga menyebutkan kemungkinan untuk menahan bantuan Amerika yang diberikan kepada Yordania dan Mesir setiap tahunnya, sebagai bentuk tekanan agar kedua negara menerima pengungsi Palestina.

Meskipun Trump mengancam demikian, ia kemudian tampak mengubah nada, mengatakan bahwa ia lebih memilih untuk bekerja sama dengan kedua negara ini, tanpa perlu mengancam dengan pemotongan bantuan.

Sementara itu, Mesir dan Yordania tetap menegaskan posisi mereka untuk tidak menerima lebih banyak pengungsi Palestina.

Bagi Yordania, yang memiliki populasi besar keturunan Palestina, menerima lebih banyak pengungsi akan memperburuk ketegangan sosial dan politik domestik.

Pada 1970, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai "September Hitam" memperlihatkan bagaimana ketegangan antara penduduk Palestina dan pemerintah Yordania bisa berubah menjadi konflik bersenjata.

5. Keamanan dan Stabilitas Kawasan Jadi Taruhan

Rencana Trump untuk Gaza tidak hanya menambah ketegangan antara AS dan negara-negara Arab, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas kawasan.

Jika Yordania dan Mesir terpaksa menerima lebih banyak pengungsi Palestina, hal itu dapat memengaruhi hubungan mereka dengan Israel dan bahkan dengan Amerika Serikat.

Situasi ini menambah kerumitan geopolitik, mengingat kedua negara ini berperan penting dalam menjaga keamanan di Timur Tengah.

Abdullah, dalam pertemuan tersebut, mengisyaratkan bahwa negara-negara Arab memiliki rencana mereka sendiri untuk Gaza yang akan segera dipresentasikan. Ini menunjukkan bahwa Yordania, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya lebih memilih pendekatan yang lebih diplomatis dan tidak melibatkan pemindahan paksa warga Palestina.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Editor: Sri Juliati

Tag:  #poin #penting #dari #dialog #raja #abdullah #trump #stabilitas #kawasan #jadi #taruhan

KOMENTAR