Menyibak Masa Depan Rawat Inap Standar di Rumah Sakit
Ilustrasi sistem Kelas Rawat Inap Standar. Menjelang akhir 2025, sebanyak 88 persen rumah sakit ditargetkan siap menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), sementara sisanya akan dikejar lewat skema insentif dan disinsentif.(Freepik/wirestock)
07:06
18 Juni 2025

Menyibak Masa Depan Rawat Inap Standar di Rumah Sakit

SISTEM layanan kesehatan Indonesia tengah menapaki jalan perubahan besar dengan hadirnya kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di rumah sakit.

Kebijakan yang semula diterapkan penuh mulai Juli 2025, oleh pemerintah dilakukan penundaan hingga akhir Desember 2025.

KRIS menjadi salah satu langkah penting dalam upaya mewujudkan kesetaraan akses kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Perubahan KRIS cukup mendasar dan bukan tanpa tantangan. Masa depan rawat inap pada saat implementasi KRIS memunculkan pertanyaan, sejauh mana sistem ini dapat menjamin keadilan pelayanan dan kesiapan fasilitas rumah sakit di Indonesia?

KRIS dirancang untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 bagi peserta BPJS Kesehatan/ JKN. Dengan adanya KRIS, seluruh pasien peserta JKN, terlepas dari kelas iuran yang dibayarkan, akan mendapatkan fasilitas rawat inap dengan standar layanan yang sama.

Tentu hal ini mencerminkan semangat equity, yaitu memberikan layanan setara bagi semua peserta berdasarkan kebutuhan medis, bukan kemampuan membayar iuran.

Maka KRIS merupakan upaya mulia untuk menghapuskan perbedaan standar fasilitas kelas dalam sistem rawat inap rumah sakit di Indonesia.

Di masa lalu, pasien kelas 3 seringkali ditempatkan di ruangan terbatas, berdesakan, dengan jumlah pasien yang melebihi kapasitas. Sementara peserta kelas 1 mendapatkan fasilitas lebih longgar dan layak.

Perbedaan demikian menjadi salah satu titik kelemahan sistem JKN yang selama satu dekade terakhir menjadi permasalahan layanan di rumah sakit.

Dengan KRIS diharapkan tidak ada lagi perbedaan mendasar dalam fasilitas dan mutu layanan, yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat secara luas.

Semua pasien mendapatkan ruangan yang memenuhi standar, maksimal 4 tempat tidur per ruangan, ventilasi dan pencahayaan layak, suhu ruang terkendali, tirai pembatas antarpasien dan akses toilet dalam ruangan yang nyaman.

Transformasi demikian tentu membawa dampak sistemik. Pertama, dari sisi rumah sakit, implementasi KRIS menuntut penyesuaian fasilitas sesuai persyaratan.

Rumah sakit harus merenovasi atau membangun ruangan rawat inap agar sesuai dengan 12 standar minimum yang ditetapkan. Hal ini berarti ada kebutuhan anggaran, waktu, dan sumber daya manusia yang besar.

Kedua, dari sisi tenaga kesehatan, KRIS dapat mengubah beban kerja dan pola pelayanan. Ruang rawat inap yang lebih nyaman dan tidak terlalu padat bisa meningkatkan efektivitas pelayanan, serta memperbaiki pengalaman pasien dan keluarga.

Namun, jika jumlah tempat tidur dikurangi karena mengejar standar, maka jumlah antrean pasien bisa jadi meningkat jika tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas rumah sakit. Akses yang menurun jelas merugikan masyarakat.

Ketiga, dari sisi peserta JKN, perubahan ini akan memengaruhi persepsi dan harapan. Mereka yang sebelumnya membayar lebih untuk kelas 1 dan 2 akan mempertanyakan keadilan jika kini mendapatkan layanan yang setara dengan peserta kelas 3.

Meskipun KRIS membawa semangat gotong royong dan kesetaraan, tantangan utama terletak pada kesiapan infrastruktur rumah sakit khususnya di daerah.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dari sekitar 2544 rumah sakit, baru 57,28 persen atau 1.436 rumah sakit yang telah memenuhi kriteria KRIS.

Kemudian 786 rumah sakit memenuhi 9-11 kriteria, 189 rumah sakit memenuhi 5-8 kriteria, 46 rumah sakit memenuhi 1-4 kriteria, dan 70 rumah sakit belum mengalami perbaikan (Mei, 2025).

Kemenkes pun mengusulkan penundaan implementasi KRIS hingga akhir Desember 2025. Hal ini mengingat masih banyak rumah sakit yang belum memenuhi kriteria penerapan KRIS.

Renovasi harus segera dilakukan dalam waktu mepet untuk menyesuaikan ruang rawat inap, terutama rumah sakit tipe C dan D di berbagai pelosok Tanah Air.

Di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan, terbatasnya anggaran, SDM yang kompeten, dan ketersediaan sarana prasarana membuat implementasi KRIS menjadi begitu sulit.

Jika tidak ada intervensi dan dukungan pemerintah pusat sebagai kebijakan afirmatif, penerapan KRIS akan menjadi beban rumah sakit kecil dan memperparah perbedaan pelayanan antarwilayah.

Penundaan memberi ruang banyak rumah sakit dalam mempersiapkan diri lebih lanjut. Tanpa skema pendanaan yang memadai dan dukungan teknis, rumah sakit bisa saja terpaksa melakukan penyesuaian seadanya yang akhirnya merugikan kualitas layanan.

KRIS pastinya membawa implikasi finansial yang kompleks. Dari BPJS Kesehatan, standar layanan yang seragam dapat mendorong efisiensi pembayaran klaim karena tidak perlu membedakan tarif berdasarkan kelas.

Namun, dari sisi rumah sakit, dengan standar minimum bisa meningkatkan biaya operasional, terutama jika standar tersebut diterapkan tanpa penyesuaian tarif dan iuran peserta.

Di sinilah pentingnya pembenahan tata kelola dan transparansi. Dilaksanakan koordinasi yang baik antara Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan manajemen rumah sakit dalam menyesuaikan tarif INA-CBG’s (Indonesian Case Based Group) agar sejalan dengan peningkatan standar.

Jika tidak, maka rumah sakit bisa mengalami defisit yang mengkhawatirkan.

KRIS tidak mudah dijalankan, tapi sebagai kebijakan memang harus dijalankan. KRIS titik awal menuju sistem rawat inap yang lebih berkeadilan.

Untuk memastikan keberhasilannya, perlu pendekatan bertahap dan berbasis data. Pemerintah harus menetapkan indikator capaian yang realistis, memastikan rumah sakit memiliki waktu dan sumber daya yang cukup untuk beradaptasi.

Pendekatan one size fits all bisa berbahaya jika tidak disertai fleksibilitas kebijakan berdasarkan konteks daerah.

Rumah sakit yang sudah siap diberikan insentif untuk menjadi model percontohan. Rumah sakit yang belum siap perlu dilakukan pendampingan dan penyesuaian jadwal implementasi.

Komunikasi publik perlu diperkuat berkelanjutan. Pasien diberikan pemahaman bahwa yang dilakukan bukanlah penurunan layanan, tapi penghapusan perbedaan fasilitas kelas.

Jika informasi disampaikan dengan transparan dan berbasis bukti, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan kesehatan akan meningkat.

Masa depan rawat inap menjelang penerapan KRIS menjadi pekerjaan besar yang tidak akan pernah selesai. Kita semua berada dalam masa transisi, yaitu dari sistem dengan perbedaan menuju sistem yang insklusif.

Jika dilaksanakan dengan perhitungan saksama, KRIS bakal menjadi salah satu tonggak menentukan dalam transformasi kesehatan Indonesia.

Namun, jika dijalankan secara terburu-buru, seadanya, dan tanpa evaluasi, maka dapat berisiko menjadi kebijakan berkeadilan yang bisa gagal karena momentum tidak tepat.

Masa depan rawat inap bukan hanya soal fasilitas dan biaya. KRIS menghapus kelas rawat inap pasien JKN agar tidak ada lagi perbedaan martabat di antara pasien maupun keluarga dalam layanan rawat inap di rumah sakit.

Tag:  #menyibak #masa #depan #rawat #inap #standar #rumah #sakit

KOMENTAR