The Fed Bimbang dan Wacana Hak Angket Sentimen Negatif IHSG
- Risalah The Federal Reserve (The Fed) mengindikasikan penurunan suku bunga acuan tahun ini. Tapi tidak dalam waktu dekat. Sentimen itu membuat indeks harga saham gabungan (IHSG) berpotensi melemah pekan ini.
“The Fed masih perlu mengevaluasi data-data ekonomi terbaru, paling tidak dua bulan ke depan. Diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan sampai empat kali (di 2024),” kata analis pasar modal Hans Kwee kepada Jawa Pos, Sabtu (24/2).
Sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) itu membuat pasar saham dan obligasi akan sangat fluktuasi di semester I 2024. Potensi pemotongan Fed funds rate (FFR) sepertinya baru akan terealisasi di semester II 2024. Sehingga pasar saham pada periode tersebut akan lebih positif.
Kebijakan The Fed akan jadi acuan banyak bank sentral. Termasuk Bank Indonesia (BI). Mengingat, Gubernur BI Perry Warjiyo usai rapat dewan gubernur (RDG) pekan lalu menyatakan, akan mempertahankan BI rate untuk sementara. Meski, terdapat rencana penurunan suku bunga acuan di paruh kedua tahun ini.
Tentu dengan sejumlah indikator ekonomi. Antara lain, inflasi dalam negeri terkendali, ekonomi tumbuh bagus, dan nilai tukar rupiah stabil cenderung menguat. “BI berpotensi melakukan dua kali pemotongan,” ujar Hans.
European Central Bank (ECB) memandang inflasi di Eropa sudah melandai. Per Januari 2024, inflasi di Benua Biru sebesar 2,8 persen secara tahunan. Lebih rendah dari bulan sebelumnya di level 2,9 persen year-on-year (YoY). Meski demikian, ECB menilai penurunan suku bunga masih terlalu dini.
Dari Asia, terdapat switching effect akibat perbaikan pasar properti di Tiongkok. Hal itu membuat investor global kembali ke pasar saham Negeri Panda itu. Sehingga berpotensi memberikan tekanan pada IHSG dan melanjutkan koreksi.
Dari dalam negeri, wacana hak angket dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait pemilu menjadi sentimen negatif pasar saham. Karena menaikkan risiko politik. Selain itu pelaku pasar menantikan data inflasi Indonesia yang diperkirakan akan naik tipis.
“IHSG berpeluang melemah dengan support di level 7.212 sampai 7.099 dan resistance di 7.365 hingga 7.403,” ucap dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.
Sementara itu, Analis pasar modal dari BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano memproyeksi, saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) bisa menembus level harga Rp 2.700 per lembar saham. Seiring fundamental dan pertumbuhan kinerja emiten bersandi BRIS itu. Apalagi, BSI merupakan bank syariah terbesar di Indonesia.
Secara fundamental BSI memiliki pertumbuhan pembiayaan di atas rerata industri. Yakni, mencapai Rp 240,32 triliun atau tumbuh 15,7 persen YoY di kuartal IV 2023. Pendanaan juga murah dan mampu melakukan efisiensi biaya. “Dengan faktor tersebut kami memperkirakan pertumbuhan laba bersih per saham mencapai 15 persen per tahun untuk 2024-2025,” ungkap Victor.
Saham BRIS menjadi one of the best performer stock secara year-to-date (YtD) lantaran mampu tumbuh 42,53 persen hingga perdagangan Selasa lalu (20/2). Pada hari yang sama, saham BRIS sempat menembus rekor level harga tertinggi baru di Rp 2.500 per saham.
Head of Investor Relation BSI Rizky Budinanda menyebut, harga baru BRIS telah melewati target price (TP) konsensus para analis pasar modal. Seperti yang dirangkum Bloomberg sebesar Rp 2.475 per lembar saham.
“TP konsensus telah naik dari sebelumnya sekitar Rp 2.100. Terutama setelah publikasi laporan keuangan (kinerja fundamental) pada 1 Februari 2024,” jelasnya.
Kenaikan harga saham BRIS juga sejalan dengan pertumbuhan saham bank besar seperti BBCA yang naik 1,52 persen. Adapula BBRI naik 3,28 persen dan BBNI 2,55 persen. Sedangkan, BMRI sebagai bank induk, berada dalam posisi sideway ditutup pada harga Rp 7.150 di periode yang sama. (han)