Mewaspadai Fenomena Ghost Rich di Kalangan Anak Muda
Ilustrasi flexing.(Dok. Unsplash/freestocks)
12:24
23 Desember 2025

Mewaspadai Fenomena Ghost Rich di Kalangan Anak Muda

DI ERA media sosial, kekayaan bukan lagi sekadar soal saldo di rekening atau aset yang tercatat rapi dalam laporan keuangan.

Kekayaan kini juga terkait persepsi, citra, dan apa yang tampak di layar ponsel seperti mobil mewah, jam tangan berharga ratusan juta rupiah, liburan ke luar negeri, kopi mahal di kafe estetik, hingga gaya hidup yang seolah tanpa batas.

Namun, di balik kilau itu, muncul fenomena yang kian menguat, yaitu ghost rich: orang-orang tampak kaya, hidup seperti kaum berada, tetapi sejatinya tidak memiliki fondasi kekayaan yang nyata dan berkelanjutan.

Fenomena ghost rich bukan sekadar cerita pinggiran, karena hadir di tengah masyarakat perkotaan, kelas menengah, bahkan kalangan profesional dan anak muda terdidik.

Fenomena ini menjadi gejala sosial-ekonomi yang mencerminkan perubahan cara manusia memaknai sukses, kemapanan, dan kebahagiaan.

Ghost rich bukan berarti sepenuhnya miskin, tetapi hidup dalam ilusi kekayaan di mana kaya secara tampilan, rapuh secara realitas.

Tulisan ini mencoba membaca fenomena ghost rich secara lebih dalam mulai dari akar sosiologis dan psikologisnya, peran media sosial dan budaya konsumsi, hingga dampaknya terhadap ekonomi rumah tangga, stabilitas sosial, dan masa depan generasi muda.

Istilah ghost rich secara harfiah dapat dimaknai sebagai “kaya bayangan”. Mereka tampak seperti orang kaya yang terlihat dari cara berpakaian, gaya hidup, tempat nongkrong, kendaraan, bahkan pergaulan.

Namun, kekayaan itu tidak memiliki substansi karena tidak ada akumulasi aset produktif, tidak ada ketahanan finansial, dan sering kali tidak ada cadangan menghadapi guncangan ekonomi.

Ghost rich berbeda dengan orang miskin yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Mereka juga berbeda dengan orang kaya baru yang tengah menikmati hasil kerja keras atau lonjakan ekonomi.

Ghost rich berada di wilayah abu-abu, yaitu penghasilan mungkin cukup, bahkan di atas rata-rata, tetapi seluruhnya habis untuk menopang gaya hidup agar “terlihat kaya”.

Dalam banyak kasus, kekayaan ghost rich ditopang oleh utang konsumtif -seperti kartu kredit, paylater, pinjaman daring, cicilan jangka panjang untuk barang simbol status, pendapatan tidak stabil yang dipaksakan untuk hidup mewah, dan ketiadaan perencanaan keuangan jangka panjang.

Mereka hidup dari satu gaji ke gaji berikutnya, dari satu proyek ke proyek lain, dengan tekanan besar untuk mempertahankan citra.

Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube telah melahirkan apa yang bisa disebut sebagai ekonomi pencitraan. Dalam ekonomi ini, nilai seseorang sering kali diukur dari apa yang terlihat, bukan dari apa yang benar-benar dimiliki.

Media sosial mendorong budaya pamer (flexing), baik secara terang-terangan maupun terselubung. Foto liburan, video unboxing barang mewah, hingga unggahan gaya hidup telah membentuk standar sosial baru.

Dalam ekosistem ini, kemapanan tidak perlu dibuktikan dengan stabilitas finansial, cukup dengan visual meyakinkan.

Algoritma media sosial memperparah keadaan. Konten yang menampilkan kemewahan cenderung mendapat atensi lebih besar.

Akibatnya, banyak orang terdorong untuk meniru gaya hidup tersebut, meski kemampuan finansialnya tidak sebanding.

Di sinilah ghost rich menemukan panggungnya: mereka membangun identitas digital yang jauh lebih “kaya” daripada kondisi nyata.

Fenomena ghost rich sangat kuat di kelas menengah. Kelompok ini berada dalam posisi unik, yaitu tidak miskin, tetapi juga belum mapan. Mereka memiliki akses pendidikan, pekerjaan formal, dan teknologi, tapi rentan terhadap tekanan sosial untuk “naik kelas”.

Di kota-kota besar, kelas menengah menghadapi biaya hidup tinggi, ekspektasi sosial yang besar, dan ketidakpastian ekonomi.

Dalam situasi ini, gaya hidup sering dijadikan simbol keberhasilan. Memiliki mobil, tinggal di apartemen, atau rutin nongkrong di tempat mahal dianggap sebagai tanda telah “berhasil”.

Tekanan ini semakin kuat ketika kesuksesan diukur secara komparatif. Media sosial memperlihatkan teman sebaya yang tampak lebih sukses, lebih mapan, dan lebih bahagia.

Tanpa disadari, banyak orang terdorong untuk mengejar simbol, bukan substansi. Mereka memilih terlihat sukses hari ini, meski harus mengorbankan keamanan finansial masa depan.

Ironisnya, banyak ghost rich tidak bermaksud menipu orang lain. Mereka justru terjebak dalam kompetisi sosial yang tidak mereka sadari. Setiap unggahan adalah upaya mempertahankan posisi dalam hierarki semu yang diciptakan media sosial.

Salah satu ciri utama ghost rich adalah ketergantungan pada utang konsumtif. Utang bukan lagi instrumen produktif, melainkan alat untuk menopang gaya hidup. Kartu kredit, cicilan tanpa DP, hingga layanan buy now pay later menjadi “penyelamat” sekaligus jebakan.

Utang memungkinkan seseorang hidup di atas kemampuannya, setidaknya untuk sementara. Namun, ilusi itu memiliki harga mahal. Bunga, denda, dan tekanan psikologis perlahan menggerogoti kesejahteraan.

Banyak ghost rich hidup dalam kecemasan seperti takut kehilangan pekerjaan, takut sakit, takut tidak mampu membayar cicilan bulan depan.

Lebih jauh, utang konsumtif menciptakan lingkaran setan. Penghasilan digunakan untuk membayar cicilan, bukan membangun aset.

Ketika penghasilan meningkat, gaya hidup ikut naik. Akhirnya, meski secara nominal penghasilan bertambah, kondisi finansial tetap rapuh.

Menjadi ghost rich bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga psikologis. Hidup dalam pencitraan menuntut konsistensi. Seseorang harus terus tampil “baik-baik saja”, terus terlihat sukses, meski batin penuh kegelisahan.

Banyak ghost rich mengalami kecemasan finansial kronis, takut tertinggal (fear of missing out), ketergantungan pada validasi sosial, dan kehilangan makna bekerja dan hidup.

Paradoksnya, semakin keras upaya mempertahankan citra, semakin besar jarak dengan kebahagiaan sejati. Kekayaan yang semestinya memberi rasa aman justru berubah menjadi sumber tekanan.

Pada level mikro, fenomena ghost rich berdampak serius pada ketahanan ekonomi rumah tangga. Rumah tangga ghost rich cenderung tidak memiliki dana darurat, asuransi memadai, atau tabungan jangka panjang.

Satu guncangan kecil seperti PHK, sakit, krisis ekonomi dapat langsung menjatuhkan mereka ke jurang kesulitan.

Pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, menjadi cermin keras. Banyak keluarga yang tampak mapan ternyata kolaps dalam hitungan bulan karena tidak memiliki bantalan finansial.

Rumah besar dan mobil mewah tidak mampu menutupi ketiadaan tabungan dan aset likuid. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemakmuran visual tidak selalu berbanding lurus dengan ketahanan ekonomi nyata.

Ghost rich juga mencerminkan krisis nilai dalam masyarakat konsumtif. Kekayaan direduksi menjadi kemampuan membeli dan memamerkan. Kesederhanaan dianggap kegagalan, sementara kehati-hatian finansial dipersepsikan sebagai ketidakmampuan.

Budaya ini bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan etika keagamaan yang menekankan keseimbangan, kecukupan, dan keberkahan.

Dalam banyak tradisi, kekayaan sejati diukur dari ketenangan hidup, kemampuan berbagi, dan keberlanjutan, bukan sekadar kemewahan lahiriah.

Ketika ghost rich menjadi norma, masyarakat kehilangan kompas moral dalam memaknai sukses. Anak muda tumbuh dengan standar semu, mengejar citra sebelum fondasi.

Generasi muda menjadi kelompok paling rentan terhadap ghost rich. Mereka tumbuh di era digital, terpapar konten glamor sejak dini.

Kesuksesan sering digambarkan sebagai sesuatu yang instan seperti viral, terkenal, kaya mendadak. Narasi ini berbahaya jika tidak diimbangi literasi finansial dan kedewasaan berpikir.

Banyak anak muda merasa tertinggal jika belum mencapai gaya hidup tertentu di usia muda. Padahal, setiap orang memiliki lintasan hidup dan ekonomi yang berbeda.

Ghost rich pada generasi muda berisiko menciptakan generasi yang tidak sabar membangun proses, mengabaikan investasi jangka panjang, dan rentan terhadap utang dan tekanan mental.

Di tengah maraknya ghost rich, penting untuk membedakan antara kaya sejati dan kaya semu.

Kaya sejati tidak selalu mencolok. Ia sering kali sunyi, tidak pamer, dan tampak biasa saja. Namun, di balik kesederhanaan itu terdapat aset produktif, arus kas yang sehat, dana darurat, perencanaan jangka panjang, dan ketenangan batin.

Sebaliknya, kaya semu penuh dengan simbol, tetapi kosong dari fondasi karena bergantung pada pengakuan eksternal, bukan keamanan internal.

Fenomena ghost rich menantang kita untuk membangun narasi baru tentang kesuksesan. Kesuksesan tidak seharusnya diukur dari apa yang tampak, tetapi dari apa yang bertahan. Bukan dari seberapa mahal gaya hidup, tetapi seberapa kuat fondasi.

Media, institusi pendidikan, dan tokoh publik memiliki peran penting dalam membentuk narasi ini. Mengangkat kisah-kisah tentang ketekunan, perencanaan, dan kesederhanaan jauh lebih mendidik daripada sekadar memuja kemewahan.

Salah satu kunci melawan fenomena ghost rich adalah literasi finansial. Literasi bukan hanya soal mengelola uang, tetapi juga mengelola ekspektasi dan nilai hidup.

Masyarakat perlu dibekali pemahaman bahwa tidak semua yang tampak kaya benar-benar kaya, utang konsumtif memiliki konsekuensi jangka panjang, dan kesederhanaan adalah strategi, bukan kelemahan.

Literasi finansial yang baik membantu individu mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan dan tujuan, bukan tekanan sosial.

Pada akhirnya, fenomena ghost rich adalah cermin dari zaman kita, yaitu zaman yang mengagungkan tampilan, kecepatan, dan validasi instan.

Namun, di balik kilau itu, tersimpan kegelisahan kolektif tentang makna hidup dan kesuksesan. Menjadi kaya sejati bukan soal terlihat lebih unggul dari orang lain, melainkan tentang kebebasan dari kecemasan, ketergantungan, dan ilusi.

Kekayaan sejati adalah ketika uang menjadi alat dan bukan tujuan, ketika hidup dikendalikan oleh nilai, bukan oleh citra.

Ghost rich mungkin akan terus ada selama masyarakat lebih sibuk membandingkan daripada memahami. Namun, selalu ada pilihan untuk keluar dari bayangan itu, yaitu memilih jalan yang lebih sunyi, lebih lambat, tetapi lebih kokoh.

Tag:  #mewaspadai #fenomena #ghost #rich #kalangan #anak #muda

KOMENTAR