



Pemerintah Buka Peluang Turunkan PPN, Ini Dampaknya bagi Ekonomi
— Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinilai dapat memperkuat daya beli masyarakat dan mendorong pemulihan sektor riil.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meninjau ulang tarif PPN menjadi katalis penting bagi kebangkitan ekonomi nasional di era pemerintahan Prabowo.
“Sejak penyesuaian PPN dilakukan beberapa waktu lalu, terjadi pergeseran pola konsumsi rumah tangga. Porsi tabungan dan dana pihak ketiga menurun, menandakan tekanan pada kemampuan konsumsi masyarakat,” ujar Fakhrul di Jakarta, Rabu (15/10/2025) dikutip dari Antara.
Menurutnya, penurunan tarif PPN akan menjadi langkah berani untuk memecah kebuntuan daya beli yang selama dua tahun terakhir menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, kebijakan tersebut dinilai bisa memperkuat struktur ekonomi nasional yang lebih inklusif.
Dampak Penurunan PPN
Fakhrul menjelaskan, dampak penurunan PPN akan bergerak ke dua arah besar.
Pertama, menggairahkan sektor riil dan konsumsi rumah tangga. Penurunan tarif akan menurunkan harga barang dan jasa, meningkatkan daya beli masyarakat, serta menggerakkan kembali permintaan domestik.
Efeknya akan terasa pada sektor padat karya seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik.
Kedua, memberi insentif bagi pelaku usaha untuk bertransformasi ke sektor formal. Dengan beban pajak konsumsi yang lebih ringan, pelaku usaha informal akan lebih tertarik masuk ke ekosistem formal dan memperoleh akses pembiayaan lebih luas.
“Ini bukan hanya soal tarif yang lebih rendah, tetapi juga soal insentif bagi pelaku usaha kecil untuk masuk ke sektor formal,” kata Fakhrul.
Ia menambahkan, penurunan tarif PPN tidak serta-merta menurunkan penerimaan negara. Dalam jangka menengah, langkah ini justru bisa memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal.
“Upaya meningkatkan penerimaan negara tidak harus melalui tarif yang tinggi, tetapi melalui sistem yang adil dan dipercaya,” ujarnya.
Kebutuhan Menjaga Keberlanjutan Fiskal
Meski demikian, Fakhrul mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan fiskal dengan memperkuat penerimaan non-PPN. Ia menyoroti dua langkah yang perlu dijalankan secara paralel.
Pertama, memformalkan kembali sektor-sektor yang mengalami peningkatan ilegalitas, seperti rokok tanpa pita cukai dan perdagangan lintas batas yang masih rawan praktik miss-invoicing.
Kedua, membangun sistem perpajakan dan kepabeanan yang transparan dengan pendekatan compliance by design—bukan hanya lewat penegakan hukum, tetapi juga lewat kemudahan dan kepercayaan publik terhadap sistem fiskal.
Dengan kombinasi penurunan PPN, pemulihan daya beli, dan formalisasi sektor informal, Fakhrul memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5,3 persen pada 2026.
“Ini momentum bagi pemerintah untuk mengembalikan optimisme ekonomi domestik. Kita perlu menghidupkan kembali konsumsi sebagai fondasi utama. Penurunan PPN adalah langkah berani untuk itu,” kata Fakhrul.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan) dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Pemerintah Buka Peluang Turunkan Tarif PPN
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pemerintah membuka peluang menurunkan tarif PPN yang kini berada di angka 11 persen.
“Kita akan lihat seperti apa akhir tahun ekonominya, seperti apa uang saya (APBN), yang saya dapat itu seperti apa sampai akhir tahun. Saya sekarang belum terlalu clear. Nanti akan kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat nanti ke depan,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Ia menegaskan, keputusan penurunan tarif masih dikaji secara hati-hati dengan mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi nasional serta ruang fiskal yang tersedia.
“Tapi kita pelajari dulu hati-hati,” ucapnya.
Tarif PPN sebelumnya naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sesuai aturan tersebut, tarif PPN semestinya naik lagi menjadi 12 persen pada awal 2025. Namun, Presiden Prabowo Subianto memutuskan tarif 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah atau yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen antara lain rumah, apartemen, kondominium, dan town house dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih, serta barang seperti balon udara, pesawat tanpa tenaga penggerak, peluru, dan senjata api nonmiliter.
Saat ini pemerintah masih memberlakukan tarif PPN sebesar 11 persen.
(Tim Redaksi: Isna Rifka Sri Rahayu, Teuku Muhammad Valdy Arief)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Tag: #pemerintah #buka #peluang #turunkan #dampaknya #bagi #ekonomi