



Pasar Waspadai Deadline Tarif AS-Tiongkok dan Arah Kebijakan The Fed
Pasar saham masih akan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen eksternal dan domestik pekan depan. Meski berpotensi adanya penguatan, pelaku pasar perlu mencermati berbagai faktor risiko global yang belum mereda.
"Kesepakatan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu sentimen positif pasar saham pekan depan. Tapi pelaku pasar was-was menjelang 9 Juli sebagai batas akhir penundaan tarif resiprokal 90 hari," ujar analis pasar modal Hans Kwee kepada Jawa Pos, Minggu (29/6).
Menurut dia, masih ada kemungkinan ketidaksepakatan antara kedua negara yang dapat memicu kembali eskalasi perang dagang. Situasi diperparah dengan dihentikannya negosiasi dagang antara AS dan Kanada akibat perselisihan pajak layanan digital. Selain itu, muncul kekhawatiran Presiden AS Donald Trump mengancam akan melancarkan serangan ke Iran.
"Meski saat ini gencatan senjata antara Iran dan Israel telah menurunkan harga minyak, kondisi tersebut dinilai masih sangat rapuh dan berisiko tinggi," ungkap Hans.
Dari sisi kebijakan moneter, The Federal Reserve (The Fed) menunjukkan sikap lebih dovish. Pasar kini memperkirakan kemungkinan akan ada tiga kali pemangkasan suku bunga sepanjang 2025. Setidaknya dimulai pada pertemuan September 2025 mendatang.
Perdebatan mengenai arah kebijakan suku bunga acuan di The Fed kian memanas di internal. Rilis data inflasi terbaru justru memperuncing perbedaan pendapat di kalangan pejabat bank sentral AS itu. Kelompok pejabat yang bersikap hawkish menyoroti kenaikan angka inflasi menjadi 2,4 persen pada Mei 2025.
Artinya, laju kenaikan harga masih berada di atas target 2 persen, bahkan cenderung meningkat dari bulan sebelumnya di level 2,3 persen. Kenaikan ini dinilai sebagai sinyal bahaya. Terutama di tengah kekhawatiran atas dampak tarif baru yang diberlakukan Presiden Trump.
Di sisi lain, pejabat kubu dovish yang mendukung pemangkasan suku bunga mendapat dukungan dari data yang sama. Biro Analisis Ekonomi AS mencatat bahwa belanja konsumen anjlok pada Mei 2025. Pelemahan konsumsi ini dikhawatirkan menjadi pertanda awal perlambatan ekonomi yang lebih luas. Sehingga dianggap perlu diimbangi dengan stimulus moneter melalui penurunan suku bunga.
Perbedaan pandangan ini mencuat jelas dalam rilis dot plot The Fed pekan lalu, yang mencerminkan proyeksi suku bunga para pejabat bank sentral. Dari 19 anggota, 10 memperkirakan akan ada dua kali atau lebih pemangkasan suku bunga hingga akhir 2025. Sedangkan, tujuh pejabat lainnya justru memperkirakan tidak akan ada pemangkasan sama sekali.
Data ekonomi yang saling bertolak belakang dan ketidakpastian kebijakan tarif yang terus bergulir. Arah kebijakan The Fed tampaknya akan tetap menjadi sorotan utama pasar keuangan dalam beberapa bulan ke depan.
Hans juga menyoroti Uni Eropa tengah berupaya mencapai kesepakatan dagang dengan AS sebelum tenggat waktu 9 Juli. "Walau ada kemajuan, peluang terjadinya ketidaksepakatan tetap besar," jelasnya.
Secara domestik, pelaku pasar akan mencermati rilis data inflasi dan perdagangan Indonesia selama Juni 2025 di pekan depan. Dari eksternal, beberapa indikator ekonomi penting dinantikan. Termasuk data produk domestik bruto (PDB) Inggris, inflasi Jerman, dan Uni Eropa. Serta, data ketenagakerjaan AS seperti Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS), rata-rata pendapatan per jam, non-farm payroll (NFP), dan tingkat pengangguran.
"Indeks harga saham gabungan (IHSG) berpeluang menguat dengan level support di 6.800 hingga 6.745 dan resistance di kisaran 7.000 sampai 7.166," tandasnya.
Data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 23-26 Juni 2025 menunjukkan kapitalisasi pasar turun 0,01 persen menjadi Rp 12.098 triliun dari Rp 12.099 triliun di pekan sebelumnya. Pergerakan IHSG juga melemah 0,14 persen ditutup di level 6.897,4 dari 6.907,138 pada pekan lalu.
"Rata-rata frekuensi transaksi harian selama pekan ini turut mengalami perubahan 8,68 persen (secara mingguan) menjadi 1,19 juta kali transaksi dari 1,30 juta kali transaksi," kata p.h. Sekretaris Perusahaan BEI Aulia Noviana Utami Putri.
Selain itu, rata-rata volume transaksi harian bursa juga merosot 9,30 persen secara mingguan menjadi 22,13 miliar lembar saham. Adapun investor asing pada perdagangan Kamis (26/6), mencatatkan nilai beli bersih Rp 2,022 triliun. "Dan sepanjang 2025 ini, investor asing mencatatkan nilai jual bersih Rp 53,210 triliun," ucapnya.
Tag: #pasar #waspadai #deadline #tarif #tiongkok #arah #kebijakan