Efek Konflik Iran-Israel, Industri Berbasis Gas Terancam
Petugas PGN memantau aliran gas pada jaringan pipa transmisi. Swap gas domestik perkuat pasokan energi nasional. (PGN)
13:54
27 Juni 2025

Efek Konflik Iran-Israel, Industri Berbasis Gas Terancam

- Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memunculkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasokan energi global, termasuk bagi sektor industri di Indonesia. Iran yang mengancam akan menutup Selat Hormuz pasca serangan dari Israel dan Amerika Serikat, berpotensi mengguncang berbagai industri dalam negeri. Selama ini Selat Hormuz menjadi jalur utama distribusi minyak dan gas dunia, 

Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengungkapkan, sejumlah subsektor industri manufaktur akan paling terdampak jika distribusi energi terganggu. Menurut dia, industri yang bergantung pada gas sebagai bahan baku akan menjadi yang paling rentan terhadap lonjakan harga energi.

“Subsektor manufaktur yang menggunakan gas sebagai bahan baku antara lain industri pupuk, keramik, kaca, baja, dan gelas. Ini sektor-sektor yang akan terpukul jika harga gas melonjak,” ujar Febri.

Lebih lanjut Febri menjelaskan, hampir seluruh industri manufaktur menggunakan energi sebagai penggerak mesin produksi. Dengan demikian, gejolak harga energi global tak hanya berdampak pada biaya operasional, tetapi juga dapat menekan kinerja sektor manufaktur secara keseluruhan. “Hal ini bisa berdampak pada penurunan indikator seperti Purchasing Managers' Index (PMI) dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI),” urainya.

Menurut Febri, kinerja sektor manufaktur dapat diukur melalui dua indikator utama yakni PMI dan IKI. Kemenperin menemukan adanya korelasi negatif antara harga energi, khususnya gas, dengan kedua indikator tersebut. “Dari hasil uji statistik kami, jika harga gas naik, maka PMI dan IKI cenderung turun. Sebaliknya, jika harga gas turun, maka kinerja manufaktur melalui PMI dan IKI akan meningkat,” bebernya.

Meskipun masih bersifat ancaman, potensi penutupan Selat Hormuz menimbulkan kekhawatiran di kancah global. Pemerintah Amerika Serikat bahkan telah meminta bantuan Tiongkok untuk meredam langkah Iran tersebut. Selain berpengaruh pada pasar energi global, penutupan selat ini juga dapat merugikan Iran secara geopolitik. Negara tersebut berisiko dikucilkan oleh mitra dagang dan negara-negara tetangga sesama produsen minyak, seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, dan Qatar.

Sebagai gambaran, pada tahun 2024, Arab Saudi mengirimkan sekitar 5,5 juta barel minyak per hari melalui Selat Hormuz. Sementara Uni Emirat Arab sebanyak 1,9 juta barel, Irak 3,2 juta barel, Kuwait 1,3 juta barel, dan Qatar 0,6 juta barel per hari. Jumlah ini menunjukkan betapa vitalnya jalur tersebut bagi perdagangan energi internasional.

Kemenperin menegaskan akan terus memantau perkembangan situasi geopolitik dan dampaknya terhadap industri nasional, seraya menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas sektor manufaktur dalam negeri.

Dalam upaya menjaga daya saing industri, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah lama mengupayakan skema Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar USD 6 per MMBTU. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita disebut telah berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar harga gas industri tetap terkendali.

Namun demikian, Febri mengakui bahwa implementasi kebijakan tersebut belum sepenuhnya berjalan mulus di lapangan. “Sejumlah pelaku industri mengeluhkan harga gas yang mereka terima masih berada di atas batas HGBT yang ditetapkan pemerintah,” pungkasnya.

Terkait hal tersebut. PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan negara yang melakukan bisnis utama minyak dan gas mengaku telah melakukan sejumlah langkah antisipasi. “Pertamina terus memonitor secara intensif dengan situasi di Timur Tengah,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso.

Selain itu, Pertamina telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengamankan kapal-kapalnya. Termasuk mengalihkan rute kapal ke jalur aman. Antara lain melalui Oman dan India, meski akan membuat biaya logistik lebih mahal dan bisa mengerek harga minyak.

Untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia imbas perang, Pertamina juga terus berupaya menaikkan produksi minyak siap jual (lifting) di dalam negeri. Pertamina menargetkan lifting sebanyak 748.000 barel per hari pada 2025. “Produk domestik terus kami tingkatkan,” tegasnya. (agf)

Sektor Industri yang Bergantung pada Gas

Komoditas Industri Estimasi Kapasitas Produksi per Tahun

  • Pupuk 14,6 juta ton
  • Keramik 445 juta meter persegi
  • Kaca 1,4 juta ton
  • Baja 15,9 juta ton
  • Gelas 286 ribu ton

Sumber grafis: Diolah dari berbagai sumber

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #efek #konflik #iran #israel #industri #berbasis #terancam

KOMENTAR