Baja di Medan Perang (Bagian II-Habis)
Pecahan rudal Iran meninggalkan jejak kobaran api di langit Nablus, Tepi Barat, Palestina, setelah serangan tersebut dicegat oleh pertahanan udara Israel pada Jumat, 13 Juni 2025. Perang Israel-Iran belakangan ini terus memanas.(AFP/ZAIN JAAFAR)
12:12
27 Juni 2025

Baja di Medan Perang (Bagian II-Habis)

DARI keempat negara yang terlibat dalam dua konflik besar saat ini, Rusia, Ukraina, Israel, dan Iran terlihat jelas bahwa ketahanan militer sangat dipengaruhi oleh kekuatan industri baja nasional atau akses yang terjamin terhadapnya.

Rusia menunjukkan bagaimana industri baja yang kuat dapat menopang kemampuan ofensif dan defensif dalam perang panjang.

Ukraina, sebaliknya, menggambarkan rapuhnya kapasitas militer ketika industri bajanya lumpuh, meski sebelumnya punya basis produksi.

Iran membuktikan bahwa bahkan dalam keterbatasan akibat embargo, kemampuan memproduksi komponen baja strategis menjadi kunci bertahannya deterensi nasional.

Sementara Israel menampilkan kekuatan militer yang tak hanya ditopang inovasi dalam negeri, tetapi juga akses penuh terhadap suplai baja dari sekutu utama—Amerika Serikat.

Semua ini menegaskan bahwa di medan perang modern, baja bukan sekadar material, melainkan infrastruktur kekuatan nasional yang menentukan.

Meskipun berbagai argumen dan opini berkembang mengenai sejauh mana baja menjadi faktor penentu kemenangan atau daya tahan dalam konflik, satu hal tetap tak terbantahkan: kecepatan dan kemandirian dalam rekonstruksi pascaperang sangat ditentukan oleh keberadaan industri baja nasional yang kuat.

Di tengah reruntuhan kota, jalur logistik yang terputus, dan infrastruktur strategis yang hancur, negara yang memiliki kapasitas baja dalam negeri mampu bangkit lebih cepat dan berdaulat dalam menentukan arah pemulihannya sendiri.

Dalam konteks ini, kepemilikan atas industri baja bukan sekadar isu manufaktur atau ekonomi, tetapi menjadi pembeda fundamental antara negara yang sanggup membangun kembali kekuatannya dan negara yang harus menggantungkan dukungan pada pihak lain.

Implikasi strategis bagi Indonesia

Konflik di Ukraina dan Timur Tengah mengajarkan satu hal mendasar: ketahanan militer dan kapasitas rekonstruksi pascaperang tidak akan pernah terwujud tanpa fondasi industri baja nasional yang tangguh.

Indonesia memang tidak berada di garis depan konflik bersenjata global. Namun, di tengah dunia yang semakin multipolar dan dipenuhi ketidakpastian, kegagalan membangun kekuatan industri strategis berisiko membuka titik-titik rawan dalam sistem pertahanan dan kepentingan nasional.

Meskipun Indonesia telah membangun posisi kuat dalam produksi baja nirkarat berkat melimpahnya cadangan nikel, capaian ini belum mencerminkan kekuatan menyeluruh sektor baja nasional.

Terutama untuk industri baja karbon—tulang punggung kebutuhan konstruksi, infrastruktur, manufaktur, dan pertahanan—Indonesia menghadapi keterbatasan struktural.

Bahan baku utama seperti bijih besi berkadar tinggi dan batu bara kokas tidak tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai di dalam negeri.

Akibatnya, daya saing nasional tidak bisa hanya bertumpu pada keunggulan sumber daya alam. Ia harus dibangun melalui strategi negara yang komprehensif: penguasaan teknologi, integrasi rantai pasok, dan keberpihakan kebijakan terhadap penguatan industri baja nasional.

Dari sisi kapasitas produksi, kemampuan menghasilkan produk khusus, dan keterpaduannya dengan sistem pertahanan, industri baja Indonesia masih tertinggal jauh.

Data World Steel Association mencatat bahwa kapasitas produksi baja kasar Indonesia pada 2023 mencapai sekitar 16 juta ton, padahal kebutuhan jangka panjang untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 diperkirakan akan menembus lebih dari 100 juta ton per tahun untuk menopang pembangunan dan ketahanan nasional secara berkelanjutan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketiadaan lini produksi baja-baja khusus yang krusial untuk aplikasi militer.

Indonesia nyaris tidak memiliki kemampuan memproduksi baja seperti HY-80, HY-100, AerMet 100, atau maraging steel—material esensial dalam pembuatan kapal selam, kendaraan tempur lapis baja, hingga sistem peluncur roket.

Dalam situasi krisis atau ketika embargo global diberlakukan, ketergantungan penuh pada impor baja jenis ini akan menjadi titik rapuh yang fatal dalam sistem pertahanan nasional.

Ketidaksiapan pada level hulu ini tidak hanya membatasi kapasitas produksi alat utama sistem persenjataan (alutsista), tetapi juga berpotensi memengaruhi kemampuan pertahanan dalam menghadapi skenario darurat.

Keterbatasan ini tidak hanya berdampak pada sistem pertahanan militer, tetapi juga pada kemampuan negara membangun dan menjaga infrastruktur strategis yang vital.

Industri baja yang tangguh dan mandiri adalah fondasi tak terpisahkan bagi infrastruktur vital pertahanan negara.

Ilustrasi prajurit Ukraina meluncurkan drone dalam perang dengan Rusia.X/@ServiceSsu Ilustrasi prajurit Ukraina meluncurkan drone dalam perang dengan Rusia.Dari jembatan kokoh yang menopang pergerakan tank dan artileri berat, pelabuhan militer dan dermaga strategis untuk kapal perang, jaringan rel kereta api untuk suplai logistik masif, gudang amunisi yang aman dari serangan, hingga bunker komando anti-penetrasi dan fasilitas riset rahasia, semuanya sangat bergantung pada pasokan baja domestik yang kuat.

Tanpa basis baja nasional yang kuat dan terintegrasi dalam sistem perencanaan pertahanan dan pembangunan, Indonesia akan terus bergantung pada pasokan luar dan rentan terhadap guncangan eksternal—baik dalam bentuk krisis geopolitik, embargo, maupun disrupsi rantai pasok global.

Pengalaman dari kedua medan perang memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Dari Israel, kita bisa melihat bagaimana aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat menyediakan bantalan logistik yang kuat dalam menghadapi situasi darurat.

Iran menunjukkan hal sebaliknya—kemampuan membangun sistem pertahanannya secara mandiri di bawah tekanan embargo, termasuk penguasaan teknologi baja strategis.

Perang di Ukraina, di sisi lain, mengungkap ironi yang tajam: meskipun memiliki kapasitas baja yang besar sebelum perang, industri tersebut tidak diarahkan secara strategis untuk mendukung kebutuhan pertahanan nasional.

Akibatnya, saat invasi terjadi, Ukraina terpaksa menggantungkan diri sepenuhnya pada bantuan luar negeri untuk kendaraan lapis baja, amunisi, dan logistik tempur.

Sebaliknya, Rusia menunjukkan bagaimana basis industri baja yang terintegrasi kuat dengan sektor pertahanan menjadi landasan penting dalam menjaga kesinambungan operasi militer dan dukungan logistik jangka panjang.

Pada akhirnya, kesimpulan utamanya adalah Indonesia perlu membangun industri baja nasional yang mandiri, kuat, dan terintegrasi dengan kebutuhan strategis negara.

Ini bukan semata untuk menghadapi perang, tetapi untuk memastikan kapasitas nasional dalam melakukan rekonstruksi jika krisis terjadi.

Di tengah dunia yang rapuh dan cepat berubah, ketahanan sejati tidak dibangun saat konflik datang, tetapi dipersiapkan jauh sebelum itu tiba.

Dan dalam hal ini, baja bukan hanya sekedar material, melainkan fondasi dari kekuatan pertahanan dan kedaulatan sebuah bangsa.

Tag:  #baja #medan #perang #bagian #habis

KOMENTAR