Perang dan Persepsi Harga
Ilustrasi diskon belanja online.(SHUTTERSTOCK/OLESIA_G)
14:08
25 Juni 2025

Perang dan Persepsi Harga

BEGITU gencatan senjata Iran–Israel dikonfirmasi pada 24 Juni 2025, reaksi pasar langsung terasa: harga minyak dunia turun lebih dari 6 persen, sementara rupiah menguat terhadap dollar AS.

Brent ambruk 6,1 persen menjadi 67,14 dollar AS per barel, menghapus “premi risiko” yang baru dibangun selama dua pekan eskalasi.

Sentimen yang sama menarik mata uang Asia—termasuk rupiah—menguat di kisaran 0,7–1,2 persen karena aliran modal berbalik mencari imbal hasil pasar berkembang.

Padahal, belum ada satu pun kapal tanker minyak yang benar-benar berhenti atau bergerak lebih cepat karena kabar itu. Semua terjadi karena sentimen.

Harga bisa naik atau turun bukan semata karena perubahan stok atau biaya, melainkan karena persepsi.

Lalu, jika harga bisa begitu mudah dipengaruhi oleh isu dan emosi, sebenarnya apa yang kita bayar ketika membeli sesuatu?

Dari biaya ke nilai: Landasan psikologis harga

Ekonomi neoklasik mendefinisikan harga sebagai titik temu penawaran dan permintaan. Pemasaran modern menambahkan dimensi emosional: pelanggan menilai “harga wajar” melalui kalkulasi manfaat versus pengorbanan yang bersifat subjektif.

Itulah sebabnya dua kopi dengan bahan baku serupa dapat dipisahkan selisih harga puluhan ribu rupiah—satu dihargai rasa nyaman, citra merek, atau bahkan aroma narasi keberlanjutan.

Studi terbaru menegaskan bahwa perceived value kini mencakup utilitarian dan hedonic value, menggabungkan logika dan perasaan dalam satu keputusan pembelian. Dengan kata lain, label harga adalah “cerita” yang dikonversi menjadi angka.

Selama ini, kita mengira harga adalah jumlah uang yang harus dibayar. Namun lebih dari itu, harga adalah persepsi.

Ketika seseorang membeli secangkir kopi seharga Rp 60.000, ia tak hanya membayar biji kopi dan air panas, tapi juga suasana, pelayanan, citra merek, dan rasa nyaman.

Di dunia bisnis, harga bukan hanya soal biaya produksi dan keuntungan, tapi juga tentang bagaimana konsumen menilai manfaat yang mereka dapat. Karena itu, dua barang serupa bisa memiliki harga yang sangat berbeda tergantung bagaimana mereka dipersepsikan.

Ada banyak cara perusahaan menetapkan harga. Pendekatan paling sederhana adalah menghitung total biaya produksi, lalu menambahkan margin keuntungan. Ini disebut cost-based pricing.

Pendekatan lainnya adalah melihat harga yang ditawarkan pesaing, atau competition-based pricing.

Namun di era sekarang, semakin banyak perusahaan menggunakan pendekatan berbasis nilai, atau value-based pricing. Mereka menentukan harga berdasarkan seberapa besar nilai atau manfaat yang dirasakan konsumen.

Misalnya, produk dengan fitur premium, layanan tambahan, atau cerita sosial di baliknya bisa dijual lebih mahal, meskipun biaya produksinya sama.

Ada juga dynamic pricing yang digunakan oleh maskapai, hotel, dan layanan transportasi online. Harga bisa berubah tergantung waktu, cuaca, atau permintaan.

Dan jangan lupakan psychological pricing—misalnya harga Rp 19.999 terasa jauh lebih murah dibanding Rp 20.000, walau selisihnya hanya satu rupiah. Semua ini menunjukkan bahwa penetapan harga juga sangat dipengaruhi oleh psikologi manusia.

Diskon: Seni mengelola persepsi nilai

Diskon menjadi cara paling populer untuk menarik perhatian. Namun bukan berarti harga yang ditawarkan jadi lebih “adil” atau lebih murah.

Diskon sering kali digunakan untuk menciptakan rasa urgensi atau memberi kesan bahwa konsumen mendapatkan kesempatan langka.

Banyak perusahaan bahkan menaikkan harga dulu sebelum memberi diskon. Yang menarik, meski konsumen tahu trik ini, mereka tetap tertarik. Itu karena pikiran kita lebih fokus pada “potongan” daripada harga akhirnya.

Mengapa diskon tetap laku ketika konsumen tahu harga “asli” mungkin dinaikkan sebelumnya?

Potongan harga memanipulasi jangkar mental—harga referensi yang tertanam di ingatan. Flash sale jelang tutup buku, early-bird ticket, atau student price berfungsi sebagai segmentasi pasar plus percepatan arus kas sekaligus eksperimen elastisitas permintaan.

Selama label “Rp 1.000.000 – 20 persen” terlihat lebih menarik ketimbang “Rp 800.000”, diskon menjadi alat persuasi yang sahih secara psikologi.

Menentukan harga yang bijak

Di tengah kondisi dunia yang tidak pasti—mulai dari konflik geopolitik, fluktuasi kurs, hingga perubahan gaya hidup konsumen—menentukan harga menjadi tantangan tersendiri.

Bisnis perlu berhati-hati agar harga tidak hanya mencerminkan biaya, tapi juga mencerminkan kondisi pasar, emosi konsumen, dan daya beli yang terus berubah.

Pendekatan skenario, yaitu membuat simulasi harga berdasarkan kondisi optimistis, moderat, dan krisis, bisa membantu perusahaan bertahan di tengah ketidakpastian.

Ketika kita memahami bahwa harga adalah hasil dari banyak faktor—mulai dari biaya, pesaing, persepsi, hingga situasi global—kita bisa lebih bijak sebagai konsumen maupun produsen.

Bagi konsumen, memahami strategi harga membantu kita lebih cermat saat membeli sesuatu—apakah kita membayar karena kebutuhan, nilai, atau sekadar terjebak iming-iming diskon?

Pada akhirnya, harga bukan hanya soal angka, tapi soal bagaimana kita menilai, memilih, dan memberi makna pada apa yang kita beli.

Ketika satu berita damai- genjatan senjata- mampu mematahkan harga minyak dan mengangkat rupiah dalam hitungan menit, kita diingatkan: angka di label bukan hanya hasil kalkulator, melainkan refleksi narasi, harapan, dan ketakutan kolektif.

Pertanyaannya—sejauh mana kita mampu menguasai drama persepsi ini, agar harga tetap menjadi penanda nilai yang rasional, bukan sekadar gema gejolak emosi dan geopolitik?

Tag:  #perang #persepsi #harga

KOMENTAR