



Dampak Eskalasi Perang di Timur Tengah terhadap Ekonomi Indonesia
KONFLIK geopolitik antara Iran dan Israel kembali menghangat sejak pertengahan 2025 dan mencapai puncak ketika Israel menyerang Iran.
Israel dan Iran terlibat perang udara yang sengit sejak 13 Juni lalu, pada saat Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap target nuklir dan militer Iran.
Rentetan serangan militer yang terjadi di kawasan ini menandai babak baru dalam rivalitas dua negara besar di Timur Tengah ini.
Tidak hanya berdampak langsung pada stabilitas kawasan, eskalasi ini juga memicu kegelisahan pasar global, terutama dalam sektor energi, perdagangan, dan keuangan.
Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbuka dan sangat bergantung pada stabilitas global, tentu tidak bisa lepas dari dampak konflik ini.
Meski jarak geografis jauh, keterhubungan Indonesia dengan pasar minyak, kebutuhan energi, perdagangan global, dan arus investasi menjadikannya rentan terhadap gejolak internasional.
Artikel ini akan membedah bagaimana eskalasi perang Iran-Israel berdampak pada perekonomian Indonesia, dengan memerhatikan berbagai sektor: energi, inflasi, nilai tukar, perdagangan, investasi, dan strategi pemerintah.
Salah satu dampak paling langsung dari konflik Iran-Israel adalah naiknya harga minyak dunia. Iran merupakan anggota penting OPEC dan penghasil minyak utama, sementara Israel berdekatan dengan jalur vital perdagangan energi, seperti Selat Hormuz.
Ketegangan yang meningkat telah menyebabkan harga minyak mentah Brent melonjak ke atas. Pascaserangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025, telah memicu lonjakan harga minyak dunia mencapai 75 dollar AS per barel.
Bahkan, Oxford Economics memperkirakan harga minyak dunia dapat menyentuh hingga 130 dollar AS per barel apabila konflik semakin meluas dan memicu gangguan pasokan.
Ketergantungan Indonesia pada impor BBM membuat lonjakan harga ini menjadi ancaman serius bagi neraca perdagangan dan fiskal nasional.
Terdapat beberapa dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap Indonesia. Pertama, pemerintah harus menambah alokasi subsidi BBM untuk menahan harga di tingkat konsumen. Ini akan menekan ruang fiskal, terutama jika perang berlangsung lama.
Kedua, kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi, terutama pada sektor transportasi dan pangan.
Ketiga, inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Ketegangan geopolitik juga meningkatkan permintaan terhadap aset safe haven seperti dollar AS, emas, dan obligasi pemerintah AS.
Dalam situasi ini, investor cenderung menarik investasi dari negara berkembang, termasuk Indonesia, kemudian memindahkannya ke tempat yang dianggap lebih aman.
Nilai tukar rupiah diprediksi akan terus melemah karena kondisi ini. Pada penutupan Senin (23/6/2025), rupiah ditutup pada posisi turun 95,5 poin ke level Rp 16.492 per dollar AS.
Pelemahan ini dipengaruhi sentimen risk off di pasar keuangan global pascaserangan Amerika kepada tiga fasilitas nuklir Iran.
Bank Indonesia (BI) dapat terus melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menahan pelemahan lebih lanjut, tapi langkah ini menguras cadangan devisa.
Kondisi ini tentu akan memberikan konsekuensi bagi perekonomian nasional. Pelemahan rupiah akan menyebabkan harga barang impor naik, dari bahan baku industri hingga produk konsumsi.
Kemudian, utang luar negeri pemerintah dan swasta akan meningkat. Dalam denominasi rupiah, pembayaran utang luar negeri menjadi lebih mahal.
Selain itu, kondisi ketidakpastian membuat investor menunda keputusan untuk menanamkan modalnya di sektor-sektor produktif.
Selain energi, ketegangan di Timur Tengah juga berdampak pada logistik global. Selat Hormuz adalah jalur utama pengangkutan minyak dan gas dunia.
Jika jalur ini terganggu, maka bukan hanya harga minyak yang terdampak, tetapi juga logistik pelayaran global secara keseluruhan.
Indonesia yang sangat tergantung pada impor untuk bahan baku industri—seperti petrokimia, pupuk, logam, dan elektronik—akan mengalami kesulitan jika biaya pengapalan meningkat atau jalur pasokan terhambat.
Akan terdapat beberapa potensi masalah yang akan muncul apabila logistik terganggu. Masalah pertama ialah sektor industri seperti tekstil, kimia, dan otomotif bisa terganggu karena keterlambatan bahan baku.
Kondisi ini akan berdampak pada biaya logistik yang meningkat akan diteruskan ke harga produk, memperparah inflasi.
Untuk menyiasati kondisi ini, Indonesia bisa meningkatkan impor dari mitra non-Timur Tengah, tapi ini justru akan meningkatkan ketergantungan lain.
Meski Timur Tengah bukan mitra dagang utama Indonesia, kawasan ini tetap memiliki arti penting, khususnya dalam sektor migas, CPO, batu bara, dan produk manufaktur. Indonesia mengekspor berbagai barang ke Iran, UEA, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk lainnya.
Jika perang berkepanjangan dan semakin banyak negara terlibat, permintaan dari Timur Tengah bisa menurun drastis karena instabilitas internal negara-negara kawasan.
Kondisi ini akan berdampak ekspor ke timur Tengah akan menurun. Produk-produk seperti makanan olahan, furnitur, dan elektronik kemungkinan mengalami penurunan permintaan.
Kondisi ini akan meningkatkan pula biaya ekspor. Asuransi kargo dan biaya pelayaran naik, sehingga margin keuntungan eksportir menipis.
Konflik berkepanjangan menciptakan ketidakpastian global yang menurunkan sentimen investor terhadap negara berkembang.
Investor institusi global cenderung mengalihkan dananya ke negara-negara dengan risiko rendah, sehingga capital outflow dari pasar saham dan obligasi Indonesia tak terhindarkan.
Dalam situasi seperti ini, respons pemerintah sangat krusial. Ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil.
Pertama, pemerintah dapat melakukan stabilisasi harga energi melalui subsidi dan cadangan energi nasional. Pemerintah berupaya menjaga harga dalam negeri tetap stabil.
Kemudian, pemerintah mendorong percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mengurangi ketergantungan pada minyak impor.
Selain itu, pemerintah dapat melakukan relaksasi kebijakan melalui insentif fiskal untuk menjaga daya beli dan mendorong investasi.
Hal yang tak kalah penting ialah pemerintah memperkuat ketahanan logistik domestik menjadi penting untuk menghindari krisis berkepanjangan.
Langkah diplomasi perlu dilakukan oleh pemerintah. Melalui ASEAN dan OKI, Indonesia dapat aktif mendorong penyelesaian damai dan kerja sama pengamanan jalur perdagangan.
Meski dampak negatifnya besar, krisis ini juga membuka peluang tertentu bagi Indonesia. Di tengah ketidakpastian global, integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara bisa dipercepat untuk menekan ketergantungan pada kawasan konflik.
Krisis ini memperkuat urgensi hilirisasi sektor energi dan sumber daya alam, untuk ketahanan nasional jangka panjang.
Krisis selalu membawa pelajaran. Eskalasi konflik Iran-Israel seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat transformasi struktural. Beberapa agenda harus dipercepat dalam momentum ini.
Pertama, pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan pembangunan kilang domestik menjadi sangat penting.
Kedua, transformasi pertanian dan pangan harus segera diakselerasi. Kemandirian pupuk, efisiensi distribusi, dan peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk menghadapi tekanan eksternal.
Selain itu, pemerintah harus pula mempercepat kemandirian industri strategis. Hilirisasi bukan hanya untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga untuk membangun kemandirian industri dalam negeri terhadap gejolak global.
Eskalasi perang antara Iran dan Israel menunjukkan betapa rapuhnya tatanan global saat ini. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia harus bersikap waspada, tapi tidak panik, lincah, strategis, dan tangguh dengan memperkuat daya tahan domestik.
Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bersinergi menghadapi dampak ini dengan mengedepankan efisiensi, inovasi, serta kesiapsiagaan. Krisis selalu menjadi ujian ketahanan, tapi juga peluang untuk melakukan lompatan transformasi.
Meskipun berada di tengah pusaran ketidakpastian global, Indonesia memiliki peluang untuk menunjukkan kematangan kebijakan dan kekuatan kolektif bangsa.
Dalam semangat gotong royong, kita bisa menjaga stabilitas dan melangkah menuju kemandirian ekonomi yang lebih kokoh.
Tag: #dampak #eskalasi #perang #timur #tengah #terhadap #ekonomi #indonesia