Ketidakpastian Hukum Ekonomi Gig dan Ojol di Indonesia
Massa yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON) berunjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (29/8/2024). Kemenkominfo berkomitmen untuk mencari solusi yang adil dan akan segera bertemu dengan aplikator untuk membahas tuntutan pengemudi ojek daring dan kurir. (ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)
07:52
21 Juni 2025

Ketidakpastian Hukum Ekonomi Gig dan Ojol di Indonesia

POLEMIK status pengemudi ojek online (ojol) masih menjadi perhatian. Sebagian kelompok pengemudi menginginkan perubahan status menjadi karyawan, sementara perusahaan aplikasi ingin tetap dengan pola kemitraan sebagaimana sistem gig.

Pemerintah justru cenderung menempatkan status ojol sebagai Usaha Makro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Kehadiran pekerja gig di Indonesia dengan perkembangan yang pesat menghadirkan kompleksitas masalah baru. Masalah yang muncul berkaitan dengan regulasi pekerja gig di Indonesia.

Dalam hasil kajian Analisis Rizal Pauzi dkk, Universitas Hasanuddin (2023), masalah tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu keterbatasan regulasi, ketidakjelasan definisi, dan kebutuhan akan regulasi.

Ketiga hal ini sangat penting bagi iklim usaha dan investasi, sehingga tidak menimbulkan penafsiran beragam dari semua pemangku kepentingan terutama pemerintah sebagai stakeholder yang memiliki kewenangan mengatur dan mengawasi pelaksanaan regulasi.

Meskipun sudah ada beberapa regulasi yang mengaturnya seperti Peraturan Menteri Perhubungan, tapi belum memadai menghadapi kompleksitas tersebut.

 

Muncul pula keinginan dari Menteri UMKM untuk mengeluarkan aturan mengenai ojol dalam definisinya sebagai UMKM. Akibatnya muncul kekhawatiran, peraturan seperti ini akan menimbulkan tumpang tindih regulasi.

Padahal, ekonomi gig dipandang sebagai peluang kerja baru di tengah terbatasnya pekerjaan di sektor formal di Indonesia.

Hingga saat ini, masyarakat berbondong-bondong mendaftar menjadi mitra perusahaan ojek online maupun kurir karena tidak banyak pilihan kerja layak lainnya.

Keberadaan transportasi online sudah menjadi kebutuhan lalu lintas yang cepat, aman dan nyaman bagi masyarakat. Namun, aturan hukum tentang ojol belum memadai, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam industri ekonomi gig.

Keterbatasan regulasi dan ketidakjelasan aturan hukum membuat industri ini menjadi polemik. Driver sebagai mitra aplikasi menuntut dijadikan karyawan, sementara aplikator menginginkan mereka tetap sebagai mitra.

Namun, kalau mereka tetap menjadi mitra, bagaimana pengaturan tentang kemitraan? Dalam konteks ini, kemitraan haruslah antara badan hukum dengan badan hukum. Sementara dalam konteks ojol, kemitraan antara badan hukum dengan perorangan.

Sebaliknya, kalau mereka dijadikan sebagai karyawan, maka mau tidak mau perusahaan harus melakukan rasionalisasi dan tidak mungkin mempertahankan jumlah karyawan sebanyak saat ini.

Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah mengatur ekonomi gig sehingga menguntungkan semua pihak?

Pentingnya payung hukum

Payung hukum untuk mengatur ekonomi gig harus berupa undang-undang tersendiri, mengingat keberadaan industri ini memiliki kompleksitas, lebih dari persoalan hubungan kerja maupun lalu lintas angkutan.

Kebijakan dan regulasi yang diatur harus sejalan dengan struktur hukum yang berlaku di Indonesia.

Struktur hukum ini meliputi tatanan hukum, lembaga-lembaga hukum, aparat penegak hukum dan wewenangnya, perangkat hukum dan proses serta kinerja mereka dalam melaksanakan dan menegakkan hukum.

Kalau hanya sekadar setingkat peraturan menteri, dikhawatikan akan melahirkan banyak ketidakjelasan dan mengakibatkan tumpang tindih aturan dan kewenangan serta tidak memperjelas bagaimana mendefiniskan ekonomi gig sebagai bagian dari ekonomi nasional.

Mengingat ekonomi gig sudah multi-nasional, maka pendefinisian dengan aturan hukum yang jelas dan kuat sangat penting, sehingga tidak merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam industri, termasuk memberikan pemasukan bagi negara.

Akibat ekonomi gig sudah multi-nasional, maka peraturan yang menjadi payung hukumnya haruslah setingkat UU yang bersifat khusus (lex spesialis).

Karena ini bukan sekadar aturan mengenai tenaga kerja, bukan pula sekadar aturan lalu lintas jalan, tetapi ini menyangkut beberapa komponen seperti aplikator (penyedia layanan), lalu lintas jalan, driver (pekerja) dan kosumen.

Meskipun sudah ada peraturan yang dikeluarkan menteri perhubungan mengenai ekonomi gig, pada dasarnya belum dapat mencakupi segala aspek di atas.

Beberapa peraturan telah dikeluarkan oleh Menhub, seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Kemudian Permenhub No. 118 Tahun 2018 adalah Peraturan Menteri Perhubungan tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.

Peraturan ini memiliki tujuan memberikan kepastian hukum terkait aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, kesetaraan, keterjangkauan, dan keteraturan dalam penyelenggaraan angkutan sewa khusus.

Pada 2019, Menhub mengeluarkan Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.

Peraturan ini mengatur berbagai aspek terkait keselamatan, termasuk penggunaan atribut, biaya jasa, dan pengawasan terhadap pengemudi ojek online serta evaluasi besaran biaya jasa setiap tiga bulan.

Untuk melaksanakan Permenhub itu, menteri perhubungan mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang pedoman perhitungan biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi, atau lebih dikenal sebagai ojek online.

Dalam peraturan ini, Kementerian Perhubungan mengatur Penetapan Tarif, Sistem Zonasi, Perlindungan Keselamatan dan Penerapan agar tarif ojek online lebih terukur dan memberikan kepastian bagi pengguna dan pengemudi, serta meningkatkan keselamatan dalam berkendara.

Meskipun aturan-aturan tersebut telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kemenhub, tapi banyak yang belum diakomodasi, seperti status ojol beserta definisinya, serta perlindungan dan pengawasan yang mencakup perintah dan larangan.

Karena itu, harus ada peraturan yang lebih tinggi sebagai payung hukum yang memberikan kekuatan dan kepastian hukum, baik dalam pelaksanaan, pengawasan dan penerapannya.

Mengatur kemitraan

Antara aplikator dan driver sekarang ini membangun kemitraan yang bebas. Kemitraan ini memang tidak mengikat secara hukum. Namun, antara pihak aplikator dan driver masing-masing menerima kesepakatan pembagian hasil sebagaimana yang telah diatur oleh aplikator.

Namun, belakangan muncul tuntutan untuk mengatur ulang pembagian antara aplikasi dan ojol. Bahkan International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Perburuhan Internasional, ingin mengubah status pengemudi ojol dari mitra menjadi karyawan.

Perubahan status tersebut agar ojol mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang lebih baik.

Sebaliknya, ada juga penolakan dari Koalisi Ojol Nasional yang ingin status ojol tetap sebagai mitra, bukan karyawan.

Menurut Koalisi Ojol, perubahan status dari mitra ke karyawan akan menambah pengangguran. Sebab perusahaan akan melakukan pengurangan karyawan sehingga sebagian besar ojol akan menganggur.

Bahkan dalam kajian beberapa pakar ekonomi, kalau sekiranya pemerintah memaksakan kebijakan yang ingin diterapkan ILO, maka akan menyebabkan efek domino berupa menurunnya pendapatan jutaan UMKM, meningkatnya pengangguran, dan hilangnya kepercayaan investor.

Dari silang pendapat ini, bagaimana seharusnya Pemerintah mengambil sikap? Apakah ojol tetap sebagai mitra, atau ojol diubah statusnya menjadi pekerja?

Rizal Pauzi, Pakar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin (2025) mengusulkan kemitraan tetap harus dipertahankan dengan catatan: kemitraan itu harus berdasarkan kemitraan yang bertanggungjawab.

Kemitraan yang bertanggungjawab yang dimaksud adalah memberikan keuntungan bagi semua pihak.

Aplikator sebagai penyedia jasa harus bertanggungjawab dalam menyediakan layanan yang maksimal, ojol harus mendapatkan bagian yang adil, dan konsumen sebagai pengguna jasa harus mendapatkan perlindungan.

Kalau sistem kemitraan ini tidak diatur secara hukum, maka tidak mengherankan muncul aplikasi-aplikasi yang tidak memiliki layanan memadai sehingga merugikan ojol dan pengguna.

Padahal, sudah ada beberapa aplikasi dengan kualitas cukup bagus yang menyediakan layanan relatif memuaskan.

Menurut saya, bukan hanya persoalan status ojol sebagai mitra atau pegawai, tetapi kualitas pelayanan yang meliputi, kemudahan, kenyamanan, keamanan bagi pengguna jasa menjadi penting.

Tugas pemerintah dalam keadaan demikian adalah menyiapkan regulasi yang benar-benar memberikan payung hukum bagi semua orang yang terlibat dalam industri ini, sehingga pemerintah melindungi invetasi dan melindungi kepentingan masyarakat.

Tag:  #ketidakpastian #hukum #ekonomi #ojol #indonesia

KOMENTAR