Menutup Kantor Cabang Bank Tanpa PHK
Ilustrasi bank digital(SHUTTERSTOCK/ESB PROFESSIONAL)
07:32
19 Juni 2025

Menutup Kantor Cabang Bank Tanpa PHK

TRANSFORMASI digital yang masif dalam sektor keuangan telah mengubah lanskap operasional perbankan Indonesia. Salah satu implikasi paling mencolok adalah menyusutnya jumlah kantor cabang bank.

Namun, kabar baiknya, gelombang digitalisasi ini tidak serta-merta menimbulkan tsunami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebaliknya, berbagai bank justru menunjukkan bahwa penyesuaian struktur bisa dilakukan secara manusiawi dan strategis.

Pertanyaannya sekarang adalah bisakah efisiensi dilakukan tanpa mengorbankan manusia? Apakah mungkin perusahaan memangkas struktur fisik dan operasional tanpa melukai masa depan karyawannya?

Efisiensi tanpa korban: Menyusutnya jaringan kantor cabang

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2025 mencatat, jumlah kantor bank umum di Indonesia tinggal 23.734 unit. Angka ini menyusut sebanyak 509 unit dibandingkan Maret 2024 yang mencapai 24.243 unit, serta turun 95 unit dari Februari 2025 (OJK, 2025).

Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam pola layanan keuangan yang kini lebih mengandalkan kanal digital.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 79 persen pengguna internet Indonesia memanfaatkan layanan keuangan digital, mulai dari mobile banking hingga e-wallet (APJII, 2024).

Situasi ini membuat efisiensi menjadi keharusan, termasuk rasionalisasi kantor cabang yang tidak lagi produktif.

Meski begitu, tidak serta-merta terjadi gelombang PHK. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa sebagian besar bank justru memanfaatkan masa transisi ini untuk mempersiapkan pelatihan ulang (retraining) bagi karyawannya, sekaligus merelokasi mereka ke unit-unit bisnis lain dalam ekosistem perbankan (OJK, 2025).

Bahkan, menurut Statistik Perbankan Indonesia 2024, jumlah tenaga kerja di sektor perbankan masih bertahan di angka 449.738 orang, hanya turun sekitar 1,3 persen dari tahun sebelumnya—sebuah penurunan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan skala perubahan digital yang terjadi (OJK, 2024).

CIMB Niaga memberikan contoh konkret bagaimana perampingan kantor cabang dapat dilakukan secara terencana tanpa gejolak ketenagakerjaan.

Dalam lima tahun terakhir, jumlah cabang bank ini menurun secara bertahap menjadi 397 unit per Maret 2025, dari 407 unit setahun sebelumnya.

Tidak ada laporan pemutusan hubungan kerja yang masif karena banyak pegawai dialihkan untuk mengisi peran-peran baru yang lebih sesuai dengan era digital, seperti digital sales officer atau data analyst.

Bank Negara Indonesia (BNI) juga melakukan hal serupa. Dari 1.889 kantor cabang pada tahun 2020, jumlahnya kini tinggal 1.779 unit.

Namun, menurut Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo Budiprabowo, perubahan ini bukan semata pengurangan, melainkan realokasi fungsi SDM ke kanal digital dan peningkatan pelayanan berbasis teknologi (BNI, 2025).

Evolusi peran SDM

Transformasi digital memang menggantikan beberapa fungsi manual, tapi tidak menghilangkan kebutuhan terhadap manusia.

SDM perbankan kini diorientasikan untuk menjadi digital banker—profesional yang menguasai teknologi, mampu membaca data, dan tetap menjaga hubungan personal dengan nasabah.

Bank Indonesia bahkan menargetkan peningkatan indeks literasi digital keuangan dari 49,6 pada tahun 2022 menjadi 70 pada tahun 2027 sebagai bagian dari strategi nasional sistem pembayaran digital (Bank Indonesia, 2023).

Artinya, perbankan tidak sekadar mentransformasi sistemnya, tetapi juga sumber dayanya.

Apa yang telah dilakukan oleh sektor perbankan ini sebetulnya dapat menjadi inspirasi bagi sektor-sektor lain yang menghadapi disrupsi akibat otomatisasi dan digitalisasi.

Dunia ritel, manufaktur, transportasi, bahkan media, semuanya menghadapi tantangan serupa.

Sayangnya, tidak sedikit yang masih mengandalkan PHK sebagai solusi cepat untuk efisiensi. Padahal, dengan strategi pelatihan ulang, pemetaan kompetensi, dan mobilisasi internal, transformasi dapat dijalankan tanpa mengorbankan karyawan.

Sebuah gerai ritel konvensional, misalnya, dapat mengalihkan tenaga kasir menjadi petugas layanan digital atau pengelola platform marketplace.

Operator produksi manual di pabrik dapat dialih dayakan untuk mengelola sistem robotik atau lini inspeksi berbasis sensor.

Agar semangat transformasi yang inklusif ini meluas ke sektor-sektor lain, diperlukan inovasi kebijakan yang mendorong perusahaan untuk tidak langsung menempuh jalur PHK.

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang menjalankan retraining secara sistematis dan mempertahankan karyawan dalam struktur baru yang relevan.

Skema pendanaan bersama antara dunia usaha, asosiasi industri, dan pemerintah juga dapat dirancang untuk mendukung pelatihan lintas sektor.

Di tingkat daerah, pusat-pusat pelatihan transformasi digital dapat dibentuk sebagai pusat konvergensi pembelajaran baru yang responsif terhadap kebutuhan industri.

Di atas semua itu, sistem ketenagakerjaan Indonesia juga perlu diperkuat dengan basis data keterampilan dan bukan hanya jabatan, agar perencanaan SDM menjadi lebih adaptif terhadap perubahan zaman.

Digitalisasi di sektor perbankan bukanlah akhir dari pekerjaan manusia, melainkan permulaan dari peran baru yang lebih bernilai. Penyusutan kantor cabang memang tidak bisa dihindari, tetapi bukan berarti PHK adalah satu-satunya pilihan.

Perbankan Indonesia telah menunjukkan bahwa transformasi yang manusiawi bukan utopia. Ia bisa dilakukan, asalkan ada visi, keberanian, dan komitmen untuk tidak meninggalkan siapa pun dalam perjalanan perubahan ini.

Pertanyaannya kini bukan lagi tentang berapa banyak cabang yang tutup, melainkan seberapa siap kita semua—baik sektor usaha maupun pemerintah—menciptakan peralihan peran yang adil, berkelanjutan, dan memberi makna baru bagi pekerjaan di era digital.

Tag:  #menutup #kantor #cabang #bank #tanpa

KOMENTAR