Kemiskinan Gagasan dalam Pengentasan Kemiskinan
Penampakan Kampung Nelayan di Makasaar yang dibersihkan oleh Pandawara Group, Minggu (22/10/2023)(Kompas.com/Darsil Yahya M)
05:32
19 Juni 2025

Kemiskinan Gagasan dalam Pengentasan Kemiskinan

ISU kemiskinan terus menjadi perdebatan publik dan akademik di Indonesia. Terbaru, World Bank (2025) merilis data yang mencatat bahwa sekitar 68,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional.

Ini sangat berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat angka kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen per September 2024 (BPS, 2024).

Perbedaan ini, menurut World Bank, bukan disebabkan kesalahan metodologis, melainkan pendekatan dan tujuan pengukuran yang berbeda.

BPS mengukur kemiskinan nasional berdasarkan kebutuhan dasar minimal, sedangkan WB menggunakan pendekatan komparatif global (World Bank, 2025).

Namun, perdebatan angka ini sering kali mengaburkan persoalan yang lebih mendasar: bagaimana kita memahami kemiskinan, dan sejauh mana gagasan yang digunakan dalam program pengentasan kemiskinan mampu menjawab akar permasalahan strukturalnya.

Kritik terhadap gagasan pengentasan kemiskinan

Dalam buku The Will to Improve (2007), Tania Murray Li mengemukakan bahwa banyak program pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dilandasi niat untuk memperbaiki kondisi masyarakat miskin.

Namun, niat baik tersebut seringkali dibungkus dalam pendekatan teknokratis yang mengabaikan konteks sosial dan politik lokal.

Negara dan lembaga pembangunan internasional, menurut Li, cenderung menempatkan masyarakat miskin sebagai objek intervensi daripada subjek perubahan.

Contoh nyata pendekatan ini dapat ditemukan dalam program Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah untuk memperkuat ekonomi kerakyatan.

Secara ide, koperasi merupakan bentuk kelembagaan yang memungkinkan masyarakat berdaya secara kolektif.

Namun dalam praktiknya, koperasi didirikan secara top-down, tanpa proses pembelajaran dan pengorganisasian yang memadai di tingkat akar rumput.

Hal serupa berlaku pada program Makan Bergizi Gratis, yang bertujuan mengatasi masalah gizi kronis anak.

Program ini memang penting dari sisi pemenuhan hak dasar, tapi terlalu berfokus pada distribusi makanan tanpa disertai upaya sistemik memperbaiki produksi pangan lokal, penguatan ekonomi rumah tangga, atau partisipasi ibu-ibu dalam perencanaan gizi berbasis komunitas.

Program lainnya yang juga berkaitan dengan kemiskinan adalah penanggulangan stunting, dan telah menjadi prioritas nasional sejak 2018.

Pemerintah telah meluncurkan berbagai intervensi, mulai dari pemberian makanan tambahan, edukasi perilaku hidup bersih dan sehat, hingga pendampingan keluarga.

Namun, program stunting masih bersifat proyek-sentris dan berlangsung jangka pendek, serta belum terintegrasi secara efektif dengan infrastruktur layanan dasar di desa.

Selain itu, pelibatan masyarakat sering kali terbatas pada mobilisasi kehadiran dalam sosialisasi atau sebagai penerima bantuan, bukan sebagai pelaku utama dalam penyusunan strategi lokal pencegahan stunting.

Pembangunan berbasis proyek tanpa pengorganisasian sosial akan menghasilkan relasi kuasa yang timpang dan ketergantungan jangka panjang.

Dalam kasus stunting, hal ini terlihat dari dominasi aktor negara dan organisasi donor yang menetapkan indikator, alat ukur, dan solusi tanpa sepenuhnya mendengarkan atau membangun kapasitas komunitas.

Pendekatan semacam ini, dalam istilah Li (2007), disebut sebagai bentuk governmentality—cara negara mengelola populasi dengan logika pengaturan, bukan pembebasan.

Program sosial dijalankan untuk membuat masyarakat “layak dibantu”, alih-alih membangun kemandirian dan kesadaran kritis atas kondisi yang mereka alami.

Kemiskinan sebagai relasi sosial

Kemiskinan bukan hanya soal kekurangan pendapatan, melainkan hasil dari relasi sosial yang timpang.

Amartya Sen (1999) menekankan bahwa kemiskinan merupakan bentuk keterampasan kapabilitas (capability deprivation), yaitu kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.

Oleh karena itu, ukuran kemiskinan tidak bisa hanya berbasis pendapatan, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik.

Program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia cenderung mengasumsikan masyarakat miskin sebagai pihak yang tidak tahu, tidak mampu, dan perlu diarahkan.

Padahal, masyarakat memiliki pengetahuan lokal dan pengalaman kolektif yang dapat menjadi dasar bagi solusi yang lebih relevan dan berkelanjutan (Li, 2007; Chambers, 1997).

Alih-alih terus menciptakan program populis berbasis subsidi dan bantuan, pemerintah seharusnya mendorong pendekatan yang membebaskan dan memberdayakan.

Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya pendidikan dialogis yang membangun kesadaran kritis agar masyarakat dapat menjadi pelaku perubahan, bukan sekadar penerima manfaat.

Pengentasan kemiskinan membutuhkan strategi yang menumbuhkan kapasitas lokal, memperkuat organisasi rakyat, dan membuka ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Hal ini dapat dilakukan melalui pengorganisasian komunitas (community organizing), pemetaan sosial partisipatif, dan penyusunan kebijakan berbasis data lokal yang valid dan dimiliki oleh masyarakat sendiri.

Perbedaan angka kemiskinan antara World Bank dan BPS hanyalah gejala dari persoalan yang lebih besar: krisis gagasan dalam pengentasan kemiskinan.

Selama negara terus menggunakan pendekatan teknokratis dan sentralistik, upaya pengurangan kemiskinan hanya akan menyentuh permukaan.

Diperlukan pendekatan transformatif yang berpijak pada keadilan sosial, pembebasan struktural, dan pengakuan terhadap agensi masyarakat miskin itu sendiri.

Tag:  #kemiskinan #gagasan #dalam #pengentasan #kemiskinan

KOMENTAR