Standar Garis Kemiskinan BPS Tak Lagi Relevan, Anak Buah Luhut Usul Naik Jadi Rp 765.000
Ilustrasi kemiskinan.(KOMPAS/AGUS SUSANTO)
07:04
12 Juni 2025

Standar Garis Kemiskinan BPS Tak Lagi Relevan, Anak Buah Luhut Usul Naik Jadi Rp 765.000

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf menilai, garis kemiskinan nasional yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini sudah tidak lagi relevan, sehingga perlu dinaikkan menjadi Rp 765.000 per kapita per bulan.

Arief menjelaskan, garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini, yakni sebesar Rp 595.000 per bulan, hanya sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional yang sebesar Rp 546.400 per bulan.

Hal ini mengindikasikan bahwa standar penghitungan kemiskinan di Indonesia terlalu rendah.

Mengingat Indonesia merupakan negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country/UMIC) sejak 2023, dengan Gross National Income (GNI) per kapita mencapai 4.580 dollar AS.

"Dengan jarak kurang dari Rp 50.000 per bulan (dengan garis kemiskinan ekstrem internasional), ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, dikutip Kamis (12/6/2025).

Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan nasional dapat menciptakan ilusi kemajuan dan berisiko menyesatkan arah kebijakan karena tidak mencerminkan kondisi riil di masyarakat.

Sementara negara-negara dengan pendapatan setara dengan Indonesia, seperti Malaysia dan Vietnam, telah lebih dulu merevisi metode perhitungan garis kemiskinan mereka agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

"Vietnam sudah merevisi pada 2021, Malaysia pada 2018. Indonesia terakhir mengubah metodologi penghitungan kemiskinan pada tahun 1998. Sudah lebih dari dua dekade, sementara struktur biaya hidup sudah berubah sangat jauh," jelas anak buah Luhut Binsar Pandjaitan itu.

Namun, di sisi lain, dia menilai kondisi Indonesia yang baru saja masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas masih belum sesuai jika harus mengikuti standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas.

Pasalnya, GNI per kapita Indonesia yang sebesar 4.580 dollar AS lebih mendekati batas bawah garis kemiskinan bagi negara berpendapatan menengah ke atas yang sebesar 4.466 dollar AS.

Oleh karenanya, Arief mengusulkan agar Indonesia meramu standar garis kemiskinan sendiri mengikuti standar negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country/LMIC) dari Bank Dunia (World Bank), yakni 4,20 dollar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 765.000 per bulan.

"Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini Rp 595.000, namun masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas (UMIC) sebesar Rp 1,5 juta," ungkapnya.

Kendat demikian, dia mengakui, perubahan standar garis kemiskinan nasional dari Rp 595.000 menjadi Rp 765.000 per bulan akan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.

Dia memperkirakan, akibat kenaikan garis kemiskinan ini akan menambah sekitar 20 persen jumlah penduduk miskin di Indonesia.

"Angka kemiskinan akan naik ke sekitar 20 persen. Tapi ini akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih akurat," tukasnya.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. Tangkapan layar Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. Bahaya Garis Kemiskinan Tak Relevan

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, sejak 1976, indikator pengukuran garis kemiskinan oleh BPS tidak mengalami perubahan.

Berbeda dengan lembaga internasional seperti Bank Dunia yang secara rutin menyesuaikan indikator kemiskinan berdasarkan paritas daya beli (PPP) yang mengikuti perubahan konsumsi dan biaya hidup masyarakat.

Terakhir, Bank Dunia mengubah indikator garis kemiskinan dari PPP 2017 menjadi PPP 2021 mulai Juni 2025.

Oleh karenanya, Bhima mendesak agar BPS segera mengubah indikator perhitungan garis kemiskinan nasional agar sesuai dengan kondisi realitas masyarakat Indonesia saat ini, yang sudah banyak berubah dalam 50 tahun terakhir.

"BPS perlu segera melakukan revisi garis kemiskinan dengan ajak akademisi independen dan lembaga internasional," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (10/6/2025).

Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, juga menyampaikan kekhawatiran serupa.

Dia menilai standar garis kemiskinan BPS terlalu rendah sehingga tidak mencerminkan realitas.

Bahkan, standar kemiskinan yang tidak tepat dapat berisiko membuat pemerintah menjadi lengah menurunkan rasio kemiskinan karena merasa angka kemiskinan rendah, sedangkan realitas yang terjadi justru sebaliknya.

"Benchmark yang terlalu rendah ini membuat kita complacent, tidak all out memberantas kemiskinan. Cukup dengan memberikan bansos sedikit saja, puluhan juta orang terangkat ke atas garis kemiskinan tersebut," ucapnya kepada Kompas.com.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sampai saat ini pemerintah masih mengacu pada data kemiskinan dari BPS dalam menentukan arah kebijakan.

"Kan kita menggunakan standar yang ada di kita. Kita ikut standar BPS," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

Dia menyebut, sampai saat ini pemerintah belum ada rencana mengubah metodologi penghitungan tingkat kemiskinan dari BPS.

Tag:  #standar #garis #kemiskinan #lagi #relevan #anak #buah #luhut #usul #naik #jadi #765000

KOMENTAR