



Melampaui Angka: Membaca Ulang Garis Kemiskinan Indonesia
KEMISKINAN dalam segenap wajahnya, adalah luka kolektif yang mengendap dalam tubuh bangsa.
Ia bukan sekadar angka statistik, melainkan gema dari keputusan ekonomi yang tak setara, cermin rengkah dari tatanan sosial yang pincang, dan bayang-bayang panjang dari arah kebijakan yang kerap lebih berpihak pada pasar daripada manusia.
Pada Juni 2025, Bank Dunia mengumumkan standar baru garis kemiskinan berbasis Purchasing Power Parity (PPP) 2021. Garis untuk negara berpendapatan menengah atas kini ditetapkan pada angka 8,30 dollar AS per orang per hari.
Indonesia sontak melihat wajah barunya: 68,2 persen penduduknya kini masuk kategori miskin versi internasional.
Bandingkan dengan versi domestik BPS, yang menyatakan hanya 8,57 persen rakyat Indonesia tergolong miskin.
Siapa yang benar? Atau lebih tepat: siapa yang sedang berkata dari posisi mana?
Bank Dunia tidak sedang mencela Indonesia. Ia justru mencoba membandingkan dunia dalam bahasa yang sama.
PPP adalah upaya menyeimbangkan daya beli agar satu dollar AS di Jakarta bisa dimaknai sepadan dengan satu dollar AS di Nairobi atau Timor Leste.
Chen dan Ravallion (2010) menegaskan bahwa PPP dirancang bukan untuk menilai kondisi kemiskinan lokal secara detail, tetapi untuk menyamakan ukuran kemiskinan antarnegara, agar bisa dibandingkan secara adil.
Meskipun biaya hidup di tiap negara berbeda. Namun, perbandingan itu datang dengan harga: kehilangan nuansa lokal.
Data kontekstual
BPS justru ingin menjawab pertanyaan yang lebih lokal: bagaimana memastikan rakyat Indonesia hidup layak menurut konteks Indonesia.
Konsepnya adalah basic needs approach, yakni mengukur kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan (minimal 2.100 kkal) dan bukan pangan, dari beras hingga listrik, dari pakaian hingga transportasi.
Inilah kemiskinan sebagai soal keberdayaan—bukan sekadar pengeluaran. Seorang bisa makan cukup, tapi tetap miskin jika tak bisa mengakses listrik atau layanan kesehatan.
Sebagai contoh konkret, berdasarkan Susenas September 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional senilai Rp 595.243 per orang per bulan.
Jika dirata-rata dengan jumlah anggota rumah tangga miskin sebesar 4,71 orang, maka garis kemiskinan untuk satu rumah tangga miskin adalah Rp 2.803.590 per bulan.
Namun, BPS juga menggarisbawahi, bahwa GKM ini adalah hasil agregasi nasional, yang dalam kenyataannya berbeda di setiap provinsi, bahkan antarwilayah kota dan desa.
Seorang warga Papua Pegunungan, misalnya, baru dianggap tidak miskin jika pengeluarannya melampaui Rp 1.079.160 per bulan.
Sementara di Jakarta, garis kemiskinan ditetapkan pada Rp 846.085 per kapita per bulan. Maka, realitas kemiskinan di Indonesia adalah wajah-wajah yang beragam.
Namun, pertanyaan filosofis kembali menyeruak: apakah seseorang yang mampu membeli makanan murah, tetapi tidak punya akses air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan, bisa dikatakan tidak miskin?
Apakah garis angka nasional dapat menangkap kompleksitas kehilangan martabat?
Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, menekankan bahwa kemiskinan bukan cuma soal sedikitnya uang, tapi soal tidak mampunya seseorang menjalani hidup yang layak.
Menurut dia, yang penting bukan berapa banyak uang yang dimiliki, tapi apakah orang itu bisa makan cukup, bersekolah, bekerja dengan baik, dan hidup bermartabat.
Jadi, uang hanyalah alat, sementara tujuan utamanya adalah kemampuan untuk hidup sepenuhnya sebagai manusia.
Garis kemiskinan versi Bank Dunia memberi alarm keras atas keterbatasan struktural. Joseph Stiglitz (2010) mengingatkan bahwa bila kita hanya mengukur kemiskinan berdasarkan kemampuan membeli beras dan mie instan, kita akan kehilangan dimensi kemiskinan aspirasi dan masa depan.
"If we measure the wrong thing, we will do the wrong thing." Angka bisa menjadi kabut yang menutupi kenyataan jika dilepaskan dari kehidupan nyata.
Sebaliknya, bila kita mengadopsi standar global mentah-mentah, kita bisa terjerumus pada hiperbola statistik: bahwa dua dari tiga orang Indonesia miskin, padahal sebagian telah menikmati listrik, pendidikan dasar, bahkan gawai pintar.
Maka jalan tengahnya bukan memilih satu dan meninggalkan yang lain, melainkan menjahit dua realitas itu.
Sinergi data
Ha-Joon Chang (2014) dalam Economics: The User’s Guide, memperingatkan bahwa terlalu banyak standarisasi dalam ekonomi bisa membuat kita lupa bahwa "economic numbers are always embedded in political decisions".
Maka, ketimbang mempertentangkan, mungkin kita butuh menjahit keduanya. Garis kemiskinan nasional untuk operasional program sosial; dan garis internasional sebagai kompas moral untuk mengingatkan bahwa pembangunan tidak cukup hanya membuat orang bisa makan, tetapi harus juga memberi ruang tumbuh, bermimpi, dan bermartabat.
Di tengah lanskap ini, solusi mungkin tak berbentuk kompromi, tetapi integrasi: menggunakan garis kemiskinan nasional untuk pelaksanaan program sosial secara operasional, sambil menggunakan standar global sebagai kaca reflektif yang terus mendorong peningkatan kualitas hidup dan keadilan distribusi.
Dualisme ini bukan kelemahan, tetapi kekayaan pendekatan, seperti dua mata pada wajah bangsa yang satu—satu menatap ke dalam, satu lagi ke luar.
Data dari PPP 2021 menunjukkan bahwa daya beli rupiah terhadap barang dan jasa global mungkin menurun. Namun, ada pula dimensi struktural yang tak tergambar oleh angka.
Urbanisasi tanpa jaminan sosial, ekonomi informal tanpa perlindungan, inflasi pangan yang tak tercermin dalam rata-rata tahunan dan kemiskinan tersembunyi (hidden poverty) yang tak direkam oleh data-data statistik.
Maka, pendekatan multidimensi terhadap kemiskinan—yang mencakup akses layanan dasar, kualitas pendidikan, ketahanan lingkungan, dan ketimpangan antarwilayah—menjadi amat penting.
Angus Deaton (2013), dengan kejernihannya, menulis: "Untuk memahami kemiskinan, kita tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin, tapi juga harus mendengarkan suara dan pengalaman mereka".
Sebab kemiskinan bukan sekadar hasil dari kurangnya pengeluaran, tapi juga jeritan diam dari ketidakberdayaan, dari kehilangan pilihan, dari hidup yang sempit tanpa jendela harapan.
Kutipan ini adalah teguran lembut pada kecenderungan teknokratis yang menjadikan kemiskinan sebagai proyek angka, bukan sebagai pengalaman hidup yang nyata.
Bahkan dengan teknologi dan data yang semakin granular—dari transaksi digital hingga konsumsi berbasis wilayah—Indonesia dapat membangun sistem pemantauan kemiskinan yang lebih tajam dan dinamis.
Di sinilah ekonomi tidak lagi menjadi hanya ilmu tentang kelangkaan, tetapi juga seni membaca ketimpangan yang tersembunyi.
"Granular data allows us to understand poverty not as a monolith, but as a mosaic of lived realities," ujar Esther Duflo (2020), pemenang Nobel Ekonomi.
Kemiskinan harus dilihat sebagai pengalaman yang dialami, bukan hanya angka yang dihitung.
Pada akhirnya, perdebatan garis kemiskinan ini menyingkap sesuatu yang lebih dalam: bahwa definisi "miskin" bukanlah kesimpulan, melainkan proses pencarian.
Kita tidak sedang memilih antara Rp 595.243 dan 8,30 dollar AS. Kita sedang belajar memahami bahwa kemiskinan tidak bisa dibekukan dalam angka tunggal.
Ia adalah cerita yang terus berubah, bergantung dari siapa yang melihat, dari mana ia berbicara, dan untuk siapa ia bekerja.
Tag: #melampaui #angka #membaca #ulang #garis #kemiskinan #indonesia