Antara Efisiensi Anggaran dan Tersendatnya Nafas Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama Wakil Menteri Suahasil Nazara (kedua kiri), Anggito Abimanyu (kiri), Thomas A. M. Djiwandono (kedua kanan), Sekretaris Jenderal Heru Pambudi (ketiga kanan) dan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo (kanan) bersiap mengikuti konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). Menteri Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,
09:52
5 Juni 2025

Antara Efisiensi Anggaran dan Tersendatnya Nafas Ekonomi

PEREKONOMIAN seperti jam besar di stasiun tua, berdenyut bukan hanya karena detik yang berdetak, tapi oleh gerak roda-roda kecil yang terus bekerja di dalamnya.

Ada roda konsumsi rumah tangga (C), ada roda investasi (I), ada roda perdagangan internasional (X-M), dan ada satu roda besar bernama belanja pemerintah (G).

Rumus Keynesian yang kita pelajari sejak bangku kuliah: f(y) = C + I + G + (X – M), menjadi mantra klasik yang hingga kini masih menjadi dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi.

Dan di Indonesia, roda "G" (government spending, atau belanja pemerintah) itu adalah napas utama yang menjaga jarum jam tetap bergerak.

Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026 pada 14 Mei 2025 dan diundangkan pada 20 Mei 2025, ada harapan dan ada tanya.

Harapan bahwa anggaran negara akan lebih hemat, lebih efisien, lebih efektif. Ada juga tanya, apakah langkah ini sekadar upaya pemangkasan angka atau benar-benar upaya reformasi anggaran yang bijak?

Lisbon Sirait, Direktur Sistem Penganggaran, menjelaskan dalam media briefing pada 2 Juni 2025 bahwa SBM 2026 adalah hasil penyesuaian satuan biaya berdasarkan survei BPS dan masukan dari akademisi. Tujuannya: efisiensi tanpa mengorbankan efektivitas.

Namun, efisiensi, seperti pisau bermata dua, kadang ia mengiris target yang hendak diselamatkan. Mari kita lihat data.

Pada kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen (y-on-y), melambat dari 5,02persen  di periode sebelumnya.

Konsumsi rumah tangga yang selama ini menopang 54,53 persen PDB, hanya tumbuh 4,89 persen. Investasi (I) bahkan lebih muram, hanya 2,12 persen, sementara ekspor-impor (X-M) terus tertekan oleh defisit neraca perdagangan dan dampak perang tarif Amerika.

Satu-satunya penyokong yang masih berdiri tegak adalah belanja pemerintah (G). Pemerintah menggelontorkan Rp 620,3 triliun di kuartal I 2025, atau sekitar 17,1 persen dari target tahunan.

Tanpa "G" ini, perekonomian kita ibarat mesin tua yang kehabisan oli: gemeretak, panas, dan bisa mogok kapan saja.

Namun, kebijakan SBM 2026 justru mengetatkan keran "G" itu. Pemangkasan honorarium pengelola keuangan hingga 38 persen, penghapusan satuan biaya komunikasi dan uang saku rapat full day, penurunan biaya transportasi 10 persen.

Semua ini tampak seperti langkah rasional di atas kertas, tetapi punya efek domino yang mungkin tidak diperhitungkan sepenuhnya.

Lihatlah, sejarah mencatat ketika MenPAN Yuddy Chrisnandi pada 2015, melarang seminar di hotel demi penghematan, industri perhotelan anjlok.

Okupansi hotel di kota-kota kecil turun hingga 30 persen, banyak yang gulung tikar. Armada penerbangan kehilangan penumpang PNS yang selama ini menjadi pelanggan setia. Ekonomi daerah yang bergantung pada kunjungan birokrat menjadi lesu.

Fenomena serupa mulai terasa lagi sekarang. Laporan PHRI menunjukkan penurunan okupansi hotel 18 persen sejak pengumuman SBM 2026, maskapai mencatat penurunan 12 persen penumpang korporat, dan UMKM di sekitar pusat-pusat pemerintahan merasakan lesunya permintaan.

Di negara-negara lain, peran belanja pemerintah sebagai penggerak ekonomi juga diakui. Di Italia, belanja pemerintah mencapai 53,8 persen PDB, di Irlandia 22,65 persen, dan di Jepang, pemerintah menggelontorkan stimulus besar-besaran saat pandemi untuk menyelamatkan sektor riil.

Indonesia, dengan rasio belanja pemerintah sekitar 16,65 persen PDB, sebenarnya masih punya ruang fiskal. Namun, ruang itu justru dipersempit oleh obsesi pada efisiensi semu.

Kebijakan penghapusan uang saku rapat, misalnya, terlihat bijak untuk mengurangi belanja tak langsung. Namun, apakah kita mempertimbangkan bahwa tidak semua koordinasi bisa digantikan oleh Zoom?

Dalam penyusunan dokumen perencanaan strategis lintas kementerian, dalam pembahasan lintas sektor seperti RAN Pangan, Roadmap SDM, atau mitigasi bencana, interaksi fisik adalah kebutuhan, bukan kemewahan.

Demikian juga dengan pemangkasan honorarium pengelola keuangan. Di atas kertas, penghematan ini mencatatkan angka.

Namun di lapangan, honor yang kecil atau bahkan penghapusan honor, memicu moral hazard: siapa yang mau bekerja dengan baik jika beban bertambah, tapi penghargaan berkurang?

Efisiensi tanpa perbaikan sistem merit, tanpa simplifikasi birokrasi, hanya akan melahirkan frustrasi di level teknis.

Ada secercah kabar baik: penambahan satuan biaya magang mahasiswa adalah langkah positif. Namun, tanpa target yang jelas, jumlah mahasiswa yang akan dibantu, sektor yang akan dituju, dan evaluasi hasilnya, langkah ini bisa menjadi sekadar catatan administratif.

Maka, efisiensi anggaran bukan hanya soal mengurangi angka. Ia soal menjaga kepercayaan.

Seperti kata ekonom Joseph Stiglitz, “The success of any economy is built on the confidence of its citizens”.

Kebijakan SBM harus memastikan bahwa di balik pemangkasan, ada kepastian keberlanjutan program, ada perlindungan terhadap sektor-sektor yang rentan, dan ada keberpihakan pada penciptaan dampak sosial.

Negara bukan sekadar akuntansi, bukan hanya saldo di neraca. Negara adalah janji: bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap biaya yang ditekan, bukan sekadar angka, tetapi adalah upaya untuk memastikan roda ekonomi tetap bergerak, tidak pincang, tidak mandek, dan tidak sekadar menjadi angka dalam laporan keuangan tahunan.

Tag:  #antara #efisiensi #anggaran #tersendatnya #nafas #ekonomi

KOMENTAR