''Negara Nanggung'': Naik Tak Sampai, Turun Tak Rela
Sejumlah penumpang KRL Commuter Line berjalan di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Minggu (20/10/2024). PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter menetapkan tarif sebesar Rp1 bagi penumpang dari keberangkatan kereta pertama sampai keberangkatan terakhir di stasiun commuter di seluruh Jabodetabek pada hari pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Minggu, 20 Oktober. (ANTARA FOTO/Arif
05:48
5 Juni 2025

''Negara Nanggung'': Naik Tak Sampai, Turun Tak Rela

DI TENGAH peta dunia yang terus bergeser, banyak negara berdiri di persimpangan. Mereka bukan lagi miskin, tapi belum sungguh kaya. Ekonominya tumbuh, tapi tak melompat.

Jalan tol dibangun, investor datang, data makro stabil—namun sesuatu tetap terasa menggantung.

Ada kemajuan, tapi belum ada kematangan. Ada capaian, tapi belum arah yang menyatu. Mereka tumbuh, tapi tak tumbuh utuh. Naik, tapi tak pernah lepas landas.

Istilah “nanggung” mungkin tidak dikenal dalam teori akademik, tapi hidup dalam percakapan rakyat. Ini adalah negara yang sudah menapaki tangga pembangunan, tapi berhenti di tengah—entah karena takut jatuh, terlalu nyaman, atau kehilangan daya juang.

Ia bukan sekadar negara berpendapatan menengah. Ia adalah negara yang bingung: antara bertahan atau bertransformasi.

Fenomena ini dikenal sebagai middle income trap. Banyak negara tumbuh pesat berkat ekspor komoditas, buruh murah, atau investasi asing.

Namun, ketika biaya meningkat dan daya saing lama memudar, mereka gagal menciptakan mesin pertumbuhan baru. Tak bisa lagi bersaing dengan negara miskin, tapi juga belum cukup inovatif untuk menyaingi negara maju. Maka stagnasi pun datang, pelan tapi pasti.

Dan jalan keluarnya terbukti sangat sempit. Menurut World Development Report 2024 dari Bank Dunia, sejak 1990 hanya 34 negara yang berhasil naik dari status berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi.

Hingga akhir 2023, masih ada 108 negara yang tertahan di tengah, menghadapi risiko serius terjebak permanen.

Artinya, dalam lebih dari tiga dekade, hanya sebagian kecil yang mampu melompat keluar dari “lorong tengah” pembangunan.

Sisanya terus menggantung—dengan wajah kemajuan di permukaan, tapi pondasi yang belum siap menopang lompatan sejarah.

Untuk melompat, dibutuhkan keberanian. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tapi pelepasan dari beban lama—dari kebijakan setengah hati, dari logika elite yang nyaman dengan status quo.

Dari pembangunan yang hanya dikendalikan dari balik meja, tanpa menyelami denyut rakyat.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail menekankan: yang membedakan negara berhasil dan gagal bukan kekayaan alam atau lokasi strategis, melainkan apakah negara itu punya institusi yang inklusif atau ekstraktif.

Institusi inklusif membuka jalan bagi partisipasi luas dan inovasi. Sementara institusi ekstraktif—yang dikendalikan segelintir elite—perlahan menghisap energi rakyat untuk memperpanjang kuasa: lewat hukum timpang, birokrasi berbelit, dan pasar yang dipagari oligarki.

Dalam sistem seperti ini, kemajuan tidak pernah jadi milik bersama. Rakyat jadi penonton di tanahnya sendiri. Dan reformasi—jika ada—hanya jadi simbol, bukan keberanian untuk berubah.

Itulah yang membuat negara nanggung gagal naik kelas. Mereka terlalu sibuk menjaga stabilitas semu, tapi enggan menyentuh akarnya. Reformasi pun jadi kosmetik, bukan transformasi.

Sebaliknya, ada negara yang berhasil menempuh jalan berbeda. Korea Selatan, misalnya. Dari negara miskin di tahun 1960-an, mereka melesat jadi kekuatan ekonomi dunia dalam empat dekade—melalui pendidikan, industri teknologi, dan tata kelola yang disiplin.

Irlandia pun demikian. Dengan investasi pada SDM dan reformasi fiskal cerdas, mereka keluar dari stagnasi dan menjelma jadi pusat ekonomi digital Eropa. Kuncinya? Konsistensi arah lintas generasi.

Namun, banyak negara lain gagal. Mereka terjebak dalam politik tambal sulam. Setiap lima tahun strategi berubah. Visi jangka panjang dikorbankan demi popularitas jangka pendek. Institusi tak sempat dewasa. Reformasi setengah jalan. Rakyat kehilangan harapan.

Francis Fukuyama dalam Trust mengingatkan: institusi tak bisa lepas dari kepercayaan sosial. Negara tak akan maju jika warganya tidak merasa didengar. Ketika kepercayaan runtuh, pembangunan kehilangan jiwa. Dan bangsa kehilangan arah.

Di sinilah letak krisis sesungguhnya dari negara nanggung: bukan hanya soal pendapatan, tapi juga mentalitas.

Negara nanggung enggan ambil keputusan sulit. Ia lebih sibuk menenangkan semua pihak ketimbang menetapkan prioritas.

Ia membangun infrastruktur, tapi lupa membangun kepercayaan. Ia bicara global, tapi tak menyentuh luka struktural di dalam negeri.

Padahal, arah tidak bisa setengah-setengah. Ia adalah keputusan eksistensial: kita ini mau jadi bangsa seperti apa?

Negara maju bukan hanya soal angka atau teknologi, tapi soal bagaimana kekayaan digunakan untuk menumbuhkan manusia.

 

Bagaimana negara menjadi ruang adil, bersih, dan dipercaya. Bukan sekadar besar secara ekonomi, tapi matang secara nurani.

Untuk itu, dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk mengakui kesalahan. Untuk membuka ruang partisipasi. Untuk menjadikan keadilan sebagai pondasi, bukan embel-embel.

Karena tanpa keadilan, pembangunan hanya mempercepat ketimpangan. Tanpa distribusi pengetahuan dan peluang, kemajuan hanya akan jadi milik segelintir.

Namun perubahan itu tak bisa datang dari atas saja. Rakyat pun harus bergerak. Karena negara bukan cuma pemerintah. Negara adalah kita semua.

Pertanyaannya: apakah kita siap berhenti menunggu? Apakah kita siap menagih arah dengan suara kolektif?

Negara nanggung akan terus berada di tengah jika rakyatnya juga nanggung dalam menuntut kejelasan.

Karena transformasi tidak lahir dari pidato, tapi dari tekanan moral yang konsisten. Perubahan tidak datang dari janji, tapi dari keberanian bersama untuk berhenti pura-pura puas.

Negara harus memilih—dan berdiri penuh dalam pilihannya. Tak cukup hanya baik di mata investor. Harus juga adil di mata rakyat. Tak cukup efisien. Harus juga inklusif. Tak cukup membangun jalan tol, tapi juga membangun kepercayaan.

Jika itu terjadi, kita bukan hanya akan keluar dari jebakan pendapatan menengah, tapi juga keluar dari jebakan mentalitas menengah—yang puas dengan cukup, takut melompat, dan terus menghindari pertanyaan paling penting: kita ini mau kemana sebagai bangsa?

Dan kalau arah itu berhasil kita tegaskan, bukan hanya ekonomi yang akan tumbuh. Martabat kita sebagai bangsa pun akan terangkat.

Karena sejatinya, negara maju bukan tentang status ekonomi — tapi tentang keberanian moral untuk tidak lagi hidup setengah-tengah.

Dan di antara semua negara yang sedang berdiri di ambang itu, Indonesia adalah salah satu yang paling menentukan.

Kita punya peluang besar, sumber daya besar, dan energi kolektif yang masih menyala. Tapi semua itu bisa jadi ilusi jika tak dibarengi institusi yang berpihak, visi yang jernih, dan keberanian politik untuk berhenti bermain aman.

Kita tidak kekurangan potensi—kita hanya tak boleh lagi setengah hati. Karena sejarah tidak menunggu negara yang ragu. Ia hanya mencatat mereka yang berani memutuskan: akan melompat, atau selamanya menggantung di tengah.

Tag:  #negara #nanggung #naik #sampai #turun #rela

KOMENTAR