



Kufur Nikmat Pencari Kerja: Hilangnya Sensivitas Pejabat atas Realitas Sosial
DI TENGAH kegelisahan masyarakat yang kian akut dalam mencari pekerjaan layak, pernyataan mengejutkan datang dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Ia mengatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan lapangan kerja, bahkan menyebut mereka yang mempertanyakan hal itu sebagai “kufur nikmat”.
Pernyataan tersebut secara telanjang memperlihatkan bagaimana nalar kekuasaan telah tercerabut dari denyut kegelisahan rakyat. Ini mencerminkan krisis pemahaman yang serius di tubuh elite negara.
Mereka yang seharusnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rakyat, justru gagal membaca realitas sosial-ekonomi yang dihadapi warganya sendiri.
Apakah bagi elite pemerintah, fakta tentang membludaknya pencari kerja yang mengular dalam antrean—bahkan sampai ada yang pingsan—dianggap sekadar berita bohong atau dongeng?
Apakah setiap kritik terhadap kondisi sulitnya mencari kerja kini selalu dibalas dengan tuduhan tidak suka pada penguasa, atau langsung dicap bermuatan politis?
Lalu, secara terselubung, rakyat malah dituding “tidak bersyukur” atas kebaikan pemerintah yang diklaim telah membuka lapangan kerja.
Padahal, pemantauan Migrant Watch menunjukkan bahwa sejak tahun 2023 hingga Mei 2025, jumlah pencari kerja di Indonesia meningkat tajam dan konsisten.
Fakta ini telah dipaparkan secara terbuka dalam artikel berjudul “Melawan Kutukan Sulit Cari Kerja” dan dapat diverifikasi kebenarannya melalui berbagai sumber berita nasional yang kredibel.
Namun, data tersebut baru menggambarkan permukaan gunung es. Realitas yang lebih pahit terjadi diam-diam di berbagai penjuru negeri, dari Sabang sampai Merauke: rakyat berbondong-bondong mengantre sejak fajar, berebut peluang kerja yang semakin langka, menyesaki kantor pos, job fair, dan instansi pemerintahan demi secercah harapan penghidupan.
Apakah gelombang rakyat yang membludak mencari kerja belum cukup membuka mata para elite negeri ini? Apakah kenyataan semacam ini masih dianggap sebagai dongeng atau serangan politik?
Pernyataan Menteri ESDM lebih dari sekadar tidak etis, pernyataan ini justru mengandung bahaya serius. Ia menyiratkan dua hal mendasar, pertama, kebutaan elite terhadap kenyataan pahit yang sehari-hari dihadapi rakyat.
Seorang menteri semestinya menjadi teladan dalam berpikir jernih dan bersikap rendah hati. Ketika rakyat berteriak soal susahnya cari kerja, pejabat negara seharusnya merespons dengan empati dan solusi, bukan dengan sindiran dan arogansi.
Kedua, bentuk pelecehan terhadap penderitaan sosial yang nyata dan terus berlangsung. Alih-alih meredakan kegelisahan publik, pernyataan seperti ini justru memperlebar jurang psikologis antara penguasa dan yang dikuasai—antara realitas rakyat dan ilusi kekuasaan.
Seorang pejabat publik seharusnya berdiri sebagai penyambung lidah rakyat, bukan melemparkan tuduhan moralistik terhadap mereka yang terdesak oleh ketidakadilan struktural.
Di era ketika rakyat kesulitan mencari pekerjaan layak, melontarkan istilah “kufur nikmat” adalah bentuk kesombongan kekuasaan yang merendahkan akal sehat.
Membedah data Bahlil
Indonesia tengah menghadapi krisis ketenagakerjaan yang bersifat struktural dan sistemik. Menurut perhitungan Migrant Watch, Indonesia memerlukan setidaknya 3,6 juta lapangan kerja baru setiap tahun hanya untuk mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru.
Artinya, dalam periode 2024–2030, Indonesia membutuhkan lebih dari 21 juta lapangan kerja baru.
Namun, realitas ketenagakerjaan Indonesia jauh dari memadai. Data Dana Moneter Internasional (IMF) per April 2025, menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi untuk tingkat pengangguran di antara negara berkembang Asia Pasifik, dengan proyeksi mencapai 5 persen.
Angka ini naik dari 4,9 persen pada tahun 2024, mencerminkan tren yang memburuk, bukan membaik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sedikit menurun ke angka 5,1 persen.
Namun, angka tersebut menyimpan banyak realitas tersembunyi: setengah pengangguran dan pengangguran terselubung masih sangat tinggi.
Sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia—sekitar 33 juta orang—berada di sektor informal. Mereka bekerja dalam kondisi berpenghasilan rendah, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian kerja.
Jika kelompok ini dimasukkan ke dalam kategori pekerja rentan atau setengah pengangguran, maka masalah ketenagakerjaan di Indonesia jauh lebih kompleks dan kronis daripada yang tergambar hanya dari angka TPT.
Tingkat pengangguran pada pekerja muda mencapai 16,5 persen yang menunjukkan Level ancaman serius.
Berdasarkan data terbaru, sekitar 10 juta orang Gen Z di Indonesia mengalami kondisi NEET (Not in Employment, Education, or Training), menambah tantangan besar dalam sektor ketenagakerjaan nasional.
Kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki masih signifikan dan termasuk kategori ancaman. Produktivitas kerja juga masih relatif rendah, disertai dengan tingkat kepuasan kerja yang tergolong kurang.
Semua indikator tersebut menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan di Indonesia sedang dalam kondisi darurat. Perlindungan bagi pekerja Indonesia pun sangat lemah. Secara keseluruhan, dunia ketenagakerjaan Indonesia sangat keropos dan tidak baik-baik saja.
Dalam konteks ini, pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, bahwa sektor energi akan menciptakan 6,2 juta lapangan kerja hingga 2030, harus dilihat secara proporsional.
Bahkan jika angka tersebut sepenuhnya terealisasi, kontribusinya hanya sekitar 29 persen dari total kebutuhan nasional. Perlu diingat pula, angka tersebut masih berupa proyeksi, bukan realisasi nyata.
Di sisi lain, fakta di lapangan berbicara lebih keras daripada retorika politik. Sepanjang awal tahun 2025, berbagai serikat buruh melaporkan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak kawasan industri.
Ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan akibat relokasi, efisiensi, dan otomatisasi.
Ironi paling mencolok terlihat di kawasan industri besar seperti IMIP di Morowali, IWIP di Halmahera, dan Smelter Freeport di Gresik.
Ketiganya selama ini diklaim sebagai pusat penciptaan kerja, tapi justru gagal menjadi solusi bagi pengangguran lokal. Yang terjadi justru dominasi pekerja asing, sistem kontrak kerja eksploitatif, serta konflik sosial yang makin meruncing.
Di sektor ketenagalistrikan, pemerintah juga mengklaim akan menyerap 1,7 juta tenaga kerja hingga 2030.
Namun menurut catatan Migrant Watch, realisasi saat ini baru sekitar 340.000 per tahun, dengan kualitas pekerjaan rendah dan distribusi yang tidak merata. Kelompok paling rentan — seperti lulusan SMK, perempuan kepala keluarga, dan warga desa — tetap menjadi pihak yang paling sulit mengakses pekerjaan yang layak.
"Omon-omon" Vs Realitas
Pernyataan Bahlil menjadi semakin ironis bila dibandingkan dengan janji politik pada masa kampanye.
Salah satu janji utama Presiden Prabowo adalah menciptakan lapangan kerja yang layak, memperluas pelatihan vokasi, dan memberdayakan tenaga kerja lokal dalam proyek-proyek strategis nasional.
Namun apa yang terjadi di lapangan menunjukkan disonansi antara narasi dan implementasi.
Program hilirisasi yang selama ini diagung-agungkan pemerintah ternyata belum menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan.
Investasi asing yang masuk masih lebih dominan berorientasi pada ekstraksi dan ekspor bahan mentah, bukan pada pengembangan manufaktur padat karya atau peningkatan keterampilan tenaga kerja lokal.
Akibatnya, ketimpangan penguasaan lapangan kerja tetap terjadi: posisi teknis strategis banyak diisi oleh tenaga kerja asing, sementara warga lokal tersisih menjadi buruh kasar dengan sistem kontrak harian yang rawan eksploitasi.
Apa yang dilihat rakyat di lapangan sangat berbeda dari klaim kekuasaan. Di berbagai kota dan kabupaten, antrean ribuan orang dalam proses perekrutan kerja menjadi pemandangan harian.
Tak jarang terjadi insiden kericuhan, desak-desakan, hingga orang pingsan karena berjam-jam berdiri hanya untuk mengantre formulir lamaran kerja. Ini adalah potret keterdesakan struktural, bukan karena rakyat malas, apalagi tidak bersyukur.
Fakta bahwa rakyat masih berharap kepada negara untuk membuka akses terhadap pekerjaan adalah bukti bahwa kepercayaan publik belum sepenuhnya hilang.
Namun sayangnya, harapan ini kerap dijawab dengan stigma, tudingan negatif, dan pernyataan yang menyudutkan dari para pejabat.
Ini bukan soal rakyat yang “kufur nikmat”, melainkan soal negara yang abai dan lalai menunaikan tanggung jawab sosialnya.
Penyediaan lapangan kerja adalah amanat konstitusi. Itu adalah bagian dari janji sosial negara kepada rakyat.
Pemerintah tidak cukup hanya membuat proyeksi di atas kertas atau menyampaikan target-target ambisius dalam presentasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengeksekusi kebijakan secara adil, merata, dan berpihak pada rakyat kebanyakan.
Ketika pemerintah yang sedang berkuasa gagal menjalankan tugas ini, yang dipertaruhkan bukan sekadar angka-angka ekonomi, tetapi stabilitas sosial dan politik nasional.
Pengangguran massal, frustrasi sosial, dan ketimpangan ekonomi adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika tidak ditangani secara serius, sistemik, dan berpihak pada keadilan.
Seorang menteri semestinya menjadi teladan dalam kejernihan berpikir dan kerendahan hati dalam bertindak.
Ketika rakyat menyuarakan kegelisahan atas sulitnya mencari pekerjaan, pejabat publik seharusnya merespons dengan empati dan solusi, bukan dengan sindiran, apalagi arogansi.
Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang menceramahi dengan tudingan “kufur nikmat”. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang membuka mata terhadap realita, turun ke tengah rakyat, mendengar keluhan, dan bekerja sungguh-sungguh untuk mengatasi persoalan.
Menyebut rakyat "kufur nikmat" bukan sekadar kekeliruan kata. Sesungguhnya, elite pemerintah sedang menunjukkan sikap kufur terhadap realitas: ketika pemerintah menyangkal krisis lapangan kerja yang nyata, meluas, dan dirasakan jutaan orang.
Pernyataan Bahlil bukan hanya layak dikecam, tetapi juga harus menjadi peringatan serius. Ketika seorang pejabat publik kehilangan sensitivitas terhadap realitas sosial, ia sejatinya telah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara atas nama rakyat.
Presiden harus mengambil sikap tegas—bukan hanya untuk menjaga integritas kabinet, tetapi untuk merawat kepercayaan publik yang semakin rapuh.
Rakyat tidak sedang “kufur nikmat”. Mereka sedang berteriak karena negara belum benar-benar hadir. Dan itu seharusnya membuat penguasa merasa malu.
Tag: #kufur #nikmat #pencari #kerja #hilangnya #sensivitas #pejabat #atas #realitas #sosial