Diplomasi Upaya Memanfaatkan Nilai Ekonomi Laut Natuna Utara
KRI Usman Harun melintasi Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (15/1/2020). Kapal milik TNI Angkata Laut itu merupakan salah satu armada yang melakukan patroli untuk menjamin keamanan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.(KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR (SAN))
13:48
31 Januari 2025

Diplomasi Upaya Memanfaatkan Nilai Ekonomi Laut Natuna Utara

KAWASAN Laut Natuna Utara (LNU) memiliki kedudukan yang sangat penting bagi Indonesia. Bukan hanya karena strategis secara geopolitik, tetapi juga menyimpan cadangan energi fosil yang besar, memiliki sumber daya alam (perikanan), serta potensi pariwisata luar biasa.

Berdasarkan hitungan dari Kementerian ESDM pada 2011, Blok Natuna D-Alpha menyimpan cadangan gas terbesar di Asia Pasifik, bahkan di dunia dengan volume 222 triliun Kaki Kubik, tidak akan habis dipakai hingga 30 tahun ke depan.

Dalam kalkulasi sederhana, jika diuangkan, maka kekayaan gas Natuna bisa mencapai Rp 6.000 triliun. Selain itu, LNU juga memiliki cadangan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 14.386.470 barel.

Berdasarkan kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen KP) pada 2017, diketahui potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI nomor 711 (WPP-RI 711) yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan mencapai 767.126 ton.

Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 185.855 ton, ikan pelagis kecil 330.284 ton, ikan demersal 131.070 ton, ikan karang konsumsi 20.625 ton, udang penaeid 62.342 ton, dan lobster 1.421 ton.

Klaim tupang tindih dan maraknya ilegal fishing

Potensi ekonomi yang tinggi membuat LNU menjadi ajang persaingan antarnegara tetangga. Akibatnya muncul klaim kepemilikan secara tumpang tindih dan praktik penangkapan ikan secara ilegal (ilegal fishing).

Pada 2009, China secara sepihak mengklaim hak berdaulat atas 90 persen Laut China Selatan (LCS) mencakup LNU, dengan membuat sembilan garis putus-putus atau nine dash line (NDL) pada peta yang dibuat sendiri, dideklarasikan sendiri, dan diakui sendiri.

Padahal, wilayah yang dilintasi oleh NDL itu berada di kawasan yurisdiksi atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang diukur sejauh 200 mil dari garis pantai terluar, sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982.

Tak hanya mengklaim secara membabi buta, pada akhir Agustus 2021, China juga melakukan provokasi dengan melakukan riset ilmiah di LNU.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), mendeteksi kapal survei China melakukan aktivitas penelitian ilmiah di ZEE-I dengan kawalan kapal Coast Guard China.

Kemudian, pada Mei 2023, IOJI kembali mendeteksi dua kapal riset China, Nan Feng dan Jia Geng berada di LNU.

Selain China, Vietnam juga mengklaim memiliki laut ZEE yang beririsan dengan batas ZEE Indonesia di LNU.

Upaya penyelesaian sengketa mengenai batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam telah dilakukan melalui meja perundingan sebanyak 12 kali, tetapi hingga kini belum menghasilkan keputusan mengikat.

Selain klaim wilayah yang tumpang tindih, LNU juga telah menjadi ‘kolam’ bagi para nelayan ilegal, baik kapal ikan asing (KIA) maupun kapal ikan Indonesia (KII).

Selama 2017, armada Kapal Pengawas Perikanan (KKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, berhasil menangkap 107 kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di LNU. Dari jumlah tersebut, 68 kapal merupakan KIA milik Vietnam.

Pada 2018, KKP menangkap 13 KIA, delapan di antaranya merupakan kapal berbendera Vietnam.

Kemudian selama 2019, KKP berhasil menangkap 191 kapal penangkap ikal ilegal, terdiri dari 125 KII, dan 66 KIA (14 asal Malaysia, 29 asal Vietnam, dan 23 asal Filipina).

Pada 2020, KKP menangkap 126 kapal ilegal fishing, terdiri atas 58 KII dan 68 KIA meliputi 11 kapal berberbendera Malaysia, 23 Vietnam, 16 Filipina, dan 1 Taiwan.

Selanjutnya, pada 2021, KKP menangkap 167 kapal ilegal fishing, terdiri dari 114 KII dan 53 KIA, yaitu 18 asal Malaysia, 29 Vietnam, 5 Filipina, dan 1 Taiwan.

Tahun 2022, KKP kembali menangkap 97 kapal ilegal fishing terdiri 79 KII dan 18 KIA, yaitu 4 kapal Malysia, 9 Vietnam, dan 5 Filipina.

Lalu pada 2023, KKP menangkap 269 kapal ilegal fishing meliputi 252 KII dan 17 KIA terdiri dari 5 kapal berbendera Malaysia, 7 Vietnam, 4 Filipina, dan 1 Taiwan.

Terakhir, dari Januari sampai Oktber 2024, KKP berhasil mengamankan 116 kapal ilegal fishing, terdiri dari 100 KII dan dan 16 KIA.

Diplomasi

Tentu saja, sebagai bagian dari wilayah kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita berwajib melindungi kawasan LNU dengan seluruh potensi ekonomi yang terdapat di dalamnya.

Ada dua strategi yang perlu terus dikembangkan oleh Indonesia untuk melindungi LNU, yaitu strategi soft power dan strategi hard power.

Strategi soft power dijalankan melalui diplomasi atau kebijakan nonfisik melibatkan pendekatan pertahanan nonmiliter.

Diplomasi ini dijalankan dengan menempatkan ASEAN sebagai mediator nentral, menjembatani Indonesia dengan sesama negara ASEAN yang berkepentingan di LNU.

Diplomasi pertahanan juga difasilitasi melalui ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM Plus) dengan mengikutsertakan China telah mengangkat isu LNU ke permukaan.

Sejumlah pertemuan ADMM Plus yang melibatkan China telah mencapai beberapa komitmen. Di antaranya DoC, perjanjian tidak mengikat, yang akan ditindaklanjuti dengan finalisasi CoC, perjanjian yang mengikat.

Meskipun kemajuan dalam finalisasi CoC berjalan lambat karena berbagai alasan, Indonesia harus terus mendorong ADMM untuk terus berupaya mencapai finalisasi CoC.

Selain itu, pemerintah Indonesia mengembangkan strategi hard power. Terkait strategi ini, pada tahap awal pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Undang-undang tersebut mengatur pembentukan badan keamanan laut (Bakamla) yang diberi kewenangan untuk melaksanan penegakan hukum di laut.

Selain pembentukan Bakamala, UU tersebut juga mengatur pembelian kapal beserta perlengkapan senjata, jika memang dibutuhkannya.

Kemudian, pada 2015, pemeritah, khususnya Kemenhan menerbitkan Keputusan Menteri Pertahanan RI Nomor: KEP/1255/M/2015 tentang Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2016.

Keputusan tersebut menandaskan bahwa Perairan Natuna menjadi prioritas dalam pembangunan sarana dan prasarana untuk pengamanan pulau-pulau terkecil terluar dan terdepan.

Meskipun kemungkinan terjadinya konflik terbuka di LNU rendah, Indonesia harus siap menghadapi kemungkinan terjadinya perang.

Untuk mengantisipasi skenario tersebut, Indonesia fokus pada penguatan perbatasannya untuk mencegah laut Indonesia digunakan sebagai medan pertempuran, terutama jika kedaulatan Indonesia terancam.

Seiring dengan diterbitkannya KEP/1255/M/2015, berkembang wacana yang mendorong pemerintah untuk mewujudkan pembangunan pangkalan militer di Natuna.

Hingga kini, rencana tersebut memang belum diwujudkan. Namun, Indonesia setidaknya harus tetap memiliki kebijakan inti untuk meningkatkan sistem pertahanan di wilayah Natuna, untuk melindungi LNU dari ancaman asing.

Manfaatkan ekonomi

Langkah strategis lain yang perlu dikembangkan oleh pemerintah terkait potensi ekonomi yang luar biasa di LNU adalah memanfatkan seluruh potensi ekonomi di LNU secara optimal.

Terkait migas Indonesia harus mengeskplorasi cadangan migas di LNU. Langkah ini mendesak untuk memenuhi kebutuhan gas alam Indonesia, baik untuk konsumsi domestik maupun untuk meningkat ekspor.

Pada Juli 2024, tumbuh 3,81 persen secara bulanan, mencapai 1,42 miliar dollar AS. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan nilai ekspor gas alam.

BPS menyebutkan volume konsumsi LPG di Indonesia pada 2023 mencapai 8,7 juta ton, sedangkan volume produksi LPG di Indonesia pada 2023 sebesar 1,97 juta ton, turun dari 2,01 juta ton pada 2013.

Pada Januari 2024, Kementerian ESDM menyebutkan, realisasi penyaluran gas bumi domestik tahun 2023 sebesar 3.745 billion british thermal unit per day (BBTUD) atau 68,2 persen dari total pemanfaatan gas bumi sebesar 5.494 BBTUD. Sisanya, 1.749 BBTUD atau 31,8 persen dialokasikan untuk ekspor.

Kementerian ESDM memperkirakan produksi gas bumi pada 2024 mencapai 6.635 Juta Kaki Kubik Standar per hari.

Situs ceicdata.com menyebutkan pada tahun 2023, angka konsumsi gas alam Indonesia adalah 4.397 4.397 miliar kaki kubik per hari, meningkat dari 4.262 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2022.

Sementara itu, cadangan gas alam Indonesia disebutkan mencapai 54,83 Triliun Standard Cubic Feet (TSCF) atau sekitar 1,7 persen dari total cadangan gas dunia.

Perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gas bumi Indonesia dapat diekstraksi selama 29 tahun.

Selain itu, Indonesia juga perlu segera memanfaatkan potensi kelautan di LNU untuk menutup kesenjangan tingkat konsumsi dan produksi ikan nasional.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat angka konsumsi ikan nasional pada 2024 mencapai 17,65 juta ton atau rata-rata sebanyak 62,5 kg ikan setiap individu per tahun, sementara volume produksi perikanan per November 2024 hanya mencapai 10,25 juta ton.

Berdasarkan data tersebut, pemerintah cukup beralasan untuk menjadikan kawasan LNU sebagai prioritas pembangunan nasional.

Kita bersukur bahwa pada awal Oktober 2024 lalu, tim dari Kemeterian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melakukan kegiatan pemetaan lapangan sebagai persiapan untuk menjadikan Natuna sebagai prioritas pembangunan nasional.

Selain memetakan potensi minyak dan gas bumi, tim Bapenas juga mengunjungi beberapa tempat potensial sepeti Geosite Batu Kasah dan Pulau Akar, Pelabuhan SKPT Selat Lampa, Pelabuhan Utama Selat Lampa, Industri Perikanan di Kota Apung Sedanau, Embung Sedanau, dan Kampung Nelayan Maju Sedanau.

Dikabarkan bahwa hasil pemetahan itu akan dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029,

Tentu saja, salah satu hal yang penting dalam tahap pelaksanaan RPJPN dan RPJMN nanti adalah melakukan kerja sama teknologi dan pendanaan dengan investor yang punya pengalaman luas dalam proyek migas lepas pantai.

Namun, perlu dicatat, kegiatan pemanfaatan sumber daya migas, pemanfaatan sumber daya alam (perikanan) dan pengembangan pariwisata di LNU harus dilakukan secara hati-hati agar tidak memicu kemarahan negara tetangga yang mengklaim berhak atasnya.

Tag:  #diplomasi #upaya #memanfaatkan #nilai #ekonomi #laut #natuna #utara

KOMENTAR