Gig Economy dan Keadilan Sosial: Sampai Kapan Pekerja Berjuang Sendirian?
PANDEMI Covid-19 telah mengubah wajah dunia kerja di Indonesia. Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja dan ketidakpastian ekonomi, gig economy muncul sebagai penyelamat bagi banyak orang.
Pertumbuhannya begitu pesat, bagai jamur di musim hujan. Platform-platform digital seperti Gojek, Grab, Shopee, dan berbagai situs freelancing menjadi panggung baru bagi ribuan, bahkan jutaan pekerja.
Mereka adalah para ojek online (ojol) yang meliuk di antara kemacetan kota, kurir yang berlari mengejar waktu, dan freelancer yang bekerja di balik layar laptop.
Gig economy, dengan janji fleksibilitas dan kemandirian, seolah menjadi mercusuar harapan di tengah gelombang krisis.
Namun, di balik kilau kemudahan dan peluang, tersembunyi bayang-bayang ketidakpastian yang mengintai.
Pekerja gig, meski menjadi tulang punggung ekonomi digital, seringkali harus berjuang sendirian menghadapi tantangan yang tak terlihat. Mereka adalah pahlawan tanpa seragam, yang bekerja tanpa jaring pengaman.
Tidak ada jaminan sosial yang menopang mereka saat sakit atau kecelakaan. Tidak ada kepastian pendapatan karena upah mereka bergantung pada algoritma platform dan fluktuasi permintaan pasar.
Setiap hari, mereka berjibaku dengan risiko keselamatan kerja, mulai dari kecelakaan di jalan raya hingga kelelahan fisik dan mental yang tak terelakkan. Tidak ada tunjangan kesehatan, tidak ada cuti berbayar, dan tidak ada pensiun yang menanti di ujung perjalanan.
Gig economy memang membuka pintu peluang, tetapi di balik pintu itu, ada lorong gelap yang harus dilalui oleh para pekerjanya.
Mereka adalah bagian dari mesin ekonomi yang terus berputar, tapi seringkali terlupakan dalam perbincangan tentang keadilan sosial dan perlindungan kerja.
Di tengah gemuruh pertumbuhan ekonomi digital, suara mereka kerap tenggelam, suara tentang hak-hak yang terabaikan, tentang perlindungan yang tak kunjung datang.
Pertanyaannya kini adalah: sampai kapan kita akan membiarkan mereka berjuang sendirian?
Gig economy mungkin adalah masa depan kerja, tetapi masa depan itu harus dibangun di atas fondasi yang adil dan manusiawi. Tanpa itu, kita hanya menciptakan dunia di mana kemajuan teknologi justru mengorbankan hak-hak dasar manusia.
Gig economy di Indonesia tumbuh bak raksasa yang mengais remah-remah harapan. Kompas.com menyebutkan bahwa 60 persen atau sekitar 83 juta pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal dan gig.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebut, lebih dari 4 juta pekerja tercatat sebagai bagian dari ekonomi gig pada 2023, angka yang melesat hampir 300 persen sejak pandemi melanda.
Mereka adalah mesin tak kasatmata yang menggerakkan roda ekonomi: mulai dari ojek online yang mengantar makanan hingga freelancer yang mengetik kode di balik layar.
Kontribusinya terhadap PDB Indonesia diperkirakan mencapai Rp 150 triliun per tahun, setara dengan 1,5 persen total perekonomian nasional.
Namun, di balik angka-angka megah itu, tersimpan kisah pilu tentang ketidakpastian yang menggerogoti hari-hari para pekerjanya.
Bagi pekerja gig, kata "stabilitas" adalah ilusi. Pendapatan mereka ibarat daun dihempas angin, bergantung pada algoritma platform, musim permintaan, dan bahkan cuaca.
Fenomena ini bukan hanya milik ojol. Freelancer di bidang kreatif seperti desain atau penulisan juga kerap terombang-ambing antara proyek yang datang tak menentu.
Platform digital memang menjanjikan fleksibilitas, tetapi mereka juga menciptakan sistem yang memaksa pekerja berlomba merebut "kue" yang tak pernah cukup. Tarif yang ditetapkan algoritma seringkali tak manusiawi.
Jika pekerja formal memiliki BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan sebagai tameng, pekerja gig hanya bisa berharap pada nasib.
Data BPJS menyebut, hanya 12 persen pekerja gig yang terdaftar dalam program jaminan sosial, itu pun seringkali karena membayar iuran secara mandiri.
Selebihnya, mereka hidup dalam bayang-bayang kerentanan. Tak ada pensiun yang menanti di ujung perjalanan. Tak ada cuti sakit yang dibayar.
Yang ada hanyalah tumpukan ketakutan: bagaimana jika suatu hari tubuh tak lagi sanggup bekerja? Bagaimana jika algoritma tiba-tiba mengurangi jatah orderan? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, tak terjawab, di langit-langit kamar kontrakan yang sempit.
Setiap hari, sekitar 3 pekerja gig dilaporkan mengalami kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar Indonesia. Angka itu mungkin hanya puncak gunung es.
Platform seringkali cuci tangan, bersembunyi di balik klausul "mitra kerja" yang tak memiliki tanggung jawab hukum.
Tak hanya risiko fisik, kelelahan mental juga menggerogoti. Jam kerja yang tak teratur, tekanan target, dan ketiadaan waktu istirahat membuat banyak pekerja gig terjebak dalam lingkaran stres.
Survei oleh Lembaga Kajian Ekonomi Digital menemukan bahwa 65 persen pekerja ojol mengalami gejala kecemasan kronis.
Hubungan antara pekerja gig dan platform ibarat tarian antara David dan Goliath, satu pihak terlalu kecil untuk melawan.
Kontrak kerja yang timpang kerap memaksa pekerja menerima syarat sepihak: dari potongan komisi hingga sanksi denda yang tak masuk akal. Lebih parah lagi, hampir tidak ada ruang untuk negosiasi.
Algoritma juga kerap menjadi algojo tak kasatmata. Banyak driver ojol di-PHK "diam-diam" karena rating turun, tanpa proses klarifikasi.
Perlu langkah konkret: regulasi pemerintah yang memaksa platform menyediakan jaminan sosial, kebijakan upah minimum yang manusiawi, dan ruang dialog untuk mendengar jeritan para pekerja.
Sebab, di balik angka statistik dan pertumbuhan ekonomi, ada jutaan manusia yang layak diperlakukan sebagai manusia.
Regulasi saat ini ibarat payung berlubang, tak mampu melindungi pekerja gig dari hujan ketidakpastian.
Pemerintah harus merajut payung baru yang lebih kuat. Pertama, memperkuat payung hukum dengan undang-undang khusus yang mengakui status pekerja gig sebagai pekerja, bukan sekadar "mitra".
Status ini akan memaksa platform untuk memberikan hak dasar: upah layak, jam kerja manusiawi, dan akses jaminan sosial.
Kedua, memperluas cakupan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan secara universal. Skema pembayaran bisa disesuaikan, misalnya dengan iuran progresif berdasarkan pendapatan.
Pemerintah bisa mencontoh Brasil, di mana pekerja platform diwajibkan membayar iuran sosial dengan kontribusi dari perusahaan dan negara.
Ketiga, membentuk lembaga mediator independen yang menjadi jembatan antara pekerja dan platform. Lembaga ini akan mengawasi praktik unfair seperti pemutusan akun sepihak atau potongan komisi tak wajar.
Di Spanyol, langkah serupa berhasil memaksa perusahaan ride-hailing untuk mengakui driver sebagai karyawan tetap.
Bagi platform pekerja gig, saatnya beralih dari profit-driven menjadi people-driven. Pertama, menerapkan upah minimum sektoral.
Tarif pengantaran makanan atau tarif proyek freelancer harus mempertimbangkan biaya hidup, risiko kerja, dan waktu yang dihabiskan.
Gojek di Thailand, misalnya, sudah menggaji driver dengan sistem harian plus tunjangan bahan bakar.
Kedua, menyediakan asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja sebagai bagian tak terpisahkan dari kontrak.
Perusahaan bisa berkolaborasi dengan penyedia asuransi swasta untuk paket terjangkau. Shopee Express, contohnya, mulai memberikan perlindungan kecelakaan senilai Rp 10 juta untuk kurirnya sejak 2022.
Ketiga, transparansi algoritma. Selama ini, algoritma adalah "diktator tak terlihat" yang menentukan hidup-mati pekerja.
Platform wajib membuka cara kerja algoritma dalam menentukan distribusi order, rating, dan sanksi.
Di California, UU Transparency in Algorithmic Systems mewajibkan perusahaan tech mengungkap parameter utama algoritma mereka.
Pada sisi masyarakat, berhenti memandang pekerja gig sebagai "layanan instan", tapi sebagai manusia dengan mimpi dan kerentanan.
Pertama, mulai dengan hal kecil: memberi tip, tidak membatalkan order sepihak, atau sekadar mengucapkan terima kasih.
Di Jepang, budaya menghargai kurir telah mendorong perusahaan menyediakan fasilitas istirahat dan minum gratis.
Kedua, menjadi suara bagi yang tak bersuara. Gunakan media sosial untuk mengampanyekan isu ini, atau dukung petisi yang mendorong reformasi kebijakan.
Pada 2021, gerakan #JusticeForGigWorkers di Twitter berhasil mendesak sebuah platform freelance untuk menghapus sistem komisi 40 persen.
Ketiga, membangun komunitas solidaritas. Di Bandung, sekelompok seniman membuat co-working space gratis untuk freelancer yang tak mampu menyewa ruang kerja.
Di Surabaya, komunitas ojol menyelenggarakan posko kesehatan darurat dengan bantuan dokter sukarelawan.
Dengan pemerintah sebagai penjaga hukum, platform sebagai pelaku bisnis beretika, dan masyarakat sebagai penggerak empati, kita bisa menciptakan ekosistem di mana fleksibilitas tidak berarti pengorbanan hak-hak dasar.
Seperti kata penyair Goenawan Mohamad: "Keadilan adalah bahasa yang tak boleh berhenti diterjemahkan."
Saatnya kita menerjemahkan keadilan itu dalam aksi nyata—untuk driver ojol yang bersimbah peluh, untuk freelancer yang matanya lelah menatap layar, untuk kurir yang berlari mengalahkan waktu.
Mereka bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan manusia yang berhak berdiri setara di bawah langit yang sama.
Tag: #economy #keadilan #sosial #sampai #kapan #pekerja #berjuang #sendirian