



Hadapi Tantangan Digital, Edge AI Diklaim Bisa jadi Pilar Kedaulatan Data dan Efisiensi Nasional
- Transformasi digital kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Seiring meningkatnya adopsi teknologi berbasis cloud, tantangan baru pun muncul: skalabilitas infrastruktur lama, biaya tinggi platform virtualisasi, dan yang paling krusial dan isu kedaulatan data.
Menurut laporan IDC Indonesia (2024), nilai pasar cloud publik Indonesia diproyeksikan mencapai USD 1,38 miliar (Rp 22,48 triliun) pada 2025, tumbuh 20,5 persen dari tahun sebelumnya. Di saat yang sama, penetrasi komputasi awan pun diperkirakan naik hingga 75 persen.
Namun, lonjakan adopsi ini dibayangi sejumlah tantangan: infrastruktur lama yang menghambat inovasi, mahalnya platform virtualisasi tradisional seperti VMware dan RedHat, serta kebutuhan mendesak akan infrastruktur terdistribusi dan resilien yang mampu menjalankan workload modern seperti AI, IoT, dan aplikasi berbasis edge.
Dalam diskusi terkait di Jakarta, Rabu (4/6), Edge AI diyakini menjadi kunci dalam menjawab tantangan ini. Berbeda dengan AI tradisional yang mengandalkan pusat data besar (cloud), Edge AI memproses data langsung di lokasi (edge), seperti di pabrik, toko retail, atau rumah sakit.
Hasilnya, respons lebih cepat, konsumsi bandwidth lebih rendah, dan yang tak kalah penting, kontrol penuh atas data lokal. "Kami percaya kemitraan dengan Rakuten akan mempercepat adopsi cloud-native dan edge AI secara lebih luas,” ujar Teguh Prasetya, Presiden Direktur Alita dan Ketua ASIOTI.
Teguh menambahkan, Alita kini fokus pada solusi edge dan IoT untuk sektor pemerintah, manufaktur, dan layanan publik. Hal ini selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan sistem yang efisien, adaptif, dan aman, sekaligus menjaga kedaulatan data nasional.
Dalam diskusi panel, Dirjen Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Edwin Hidayat Abdullah mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi digital harus berasaskan keadilan dan keberlanjutan. "Jangan sampai hanya teknologi baru yang tumbuh, sementara insentif untuk membangun infrastruktur lokal tertinggal," tegasnya.
Selain itu, isu kedaulatan data tak hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut kontrol nasional, keamanan informasi, dan kemandirian ekonomi digital. Hammam Riza, Ketua KORIKA, menyampaikan pentingnya membangun edge-native cloud lokal.
"Kita harus memastikan AI dan data digital melayani kepentingan bangsa, bukan sekadar menjadi pasar bagi solusi luar negeri," ungkap Hammam Riza.
Edge AI sendiri kini mulai diterapkan secara luas. Misalnya, di sektor retail, teknologi ini digunakan untuk mengoptimalkan rantai pasok dan perilaku konsumen secara real-time. Sementara di manufaktur, Edge AI mendukung otomatisasi pabrik dan pemanfaatan robot untuk efisiensi produksi.
Dan di sektor kesehatan, teknologi ini membantu diagnosis penyakit lebih cepat dan akurat di lokasi pasien. Global Head of Sales Rakuten Symphony, Udai Kanukolanu, menegaskan bahwa kolaborasi antara inovator global dan pemain lokal adalah kunci.
"Dengan keahlian Alita dan platform AI-ready dari Rakuten Symphony, kami siap mendorong digitalisasi nasional yang efisien dan aman," ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa Rakuten telah membuktikan efektivitas platformnya di lebih dari 40.000 lokasi retail, layanan kesehatan, dan jaringan open RAN 5G secara global, dan kini saatnya Indonesia mengikuti langkah serupa. Pertemuan tersebut diyakini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat ekosistem digitalnya melalui infrastruktur edge computing dan AI lokal, yang tidak hanya tangguh secara teknologi, tetapi juga berpihak pada kedaulatan dan keadilan digital.
Dengan kolaborasi lintas sektor dan adopsi teknologi yang strategis, Indonesia diharapkan mampu menghadirkan transformasi digital yang tidak hanya cepat, tapi juga inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Tag: #hadapi #tantangan #digital #edge #diklaim #bisa #jadi #pilar #kedaulatan #data #efisiensi #nasional