Masyarakat Sipil Ramai-ramai Kritik Kejaksaan, Sebut Hak Leniensi Tak Jelas
Para pembicara dalam Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat di Hotel Horison, Kamis (23/1). (Agus Dwi Prasetyo/Jawa Pos)
10:40
24 Januari 2025

Masyarakat Sipil Ramai-ramai Kritik Kejaksaan, Sebut Hak Leniensi Tak Jelas

 
      Kewenangan jaksa yang berlebih dalam UU Nomor 7/2021 tentang Kejaksaan terus mendapat sorotan masyarakat sipil. Selain hak imunitas, masyarakat sipil juga menyoroti perihal hak leniensi kejaksaan.   

  Hak leniensi ini umumnya digunakan jaksa untuk menuntut ringan pelaku tindak pidana. Mantan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyebut limitasi penggunaan hak tersebut tidak jelas.    "Dan (hak leniensi) menjadi rentan penyelewengan,’’ ucap Edwin dalam acara Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat di Hotel Horison, Kamis (23/1).    Edwin mencontohkan kasus Pinangki Sirna Malasari, pegawai Kejaksaan Agung yang sempat viral karena menemui buron kakap kasus perbankan, Djoko Tjandra.    ’’Jabatannya cuma Kasubag Pemantauan dan Evaluasi, loh. Di bawah Kepala Biro. Pertemuan itu sulit dielakkan ada restu pimpinan, setidaknya atas sepengetahuan. Kita tidak tahu, kan,’’ ucapnya. Namun, dalam kasus ini Kejaksaan hanya menuntut Pinangki empat tahun dan denda Rp 500 juta.    Edwin juga menyebut kasus Pinangki tersebut menunjukkan lemahnya komitmen di tubuh kejaksaan terhadap praktek korupsi di internalnya sendiri.    Selain itu, Edwin juga mengatakan contoh kasus lainnya. Yakni kasus Valencia alias Nensyl yang diproses hukum karena memarahi suaminya yang mabuk. "Kejaksaan sempat menuntutnya (Valencia) satu tahun, tapi karena viral, kemudian tuntutannya menjadi bebas,’’ terangnya.    Di forum yang sama, pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menyebut pada prinsipnya jaksa memang bisa menggunakan hukum hati nurani. "Tapi, jika parameternya tidak jelas, berpotensi untuk disalahgunakan,’’ terangnya.    Akademisi yang akrab dipanggil Uceng itu juga mencontohkan kasus jaksa Pinangki. "Bagaimana bisa pertimbangannya itu karena dia seorang ibu bla bla dan sebagainya, masih punya anak kecil, lalu kemudian dituntut dengan hukuman yang sederhana. Padahal, di tempat (kasus) lain, disparitas (pertimbangannya) jauh,’’ terangnya.    Menurutnya, spirit dan pertimbangan yang tidak tepat inilah yang kemudian menjawab fenomena kenapa setelah viral baru bergerak. ’’Parameter dan pertimbangannya harus benar-benar pas dan bisa diterapkan kepada siapa pun,’’ katanya.    ’’Nah, saya bayangkan harus ada parameter yang jelas supaya orang tidak menduga macam-macam. Jangan-jangan karena ini jaksa dengan jaksa, lalu ada pertimbangan yang njelimet-njelimet seperti seakan-akan menggali betul, ini (Pinangki) adalah ibu. Tapi, di kasus lain, pertimbangannya menjadi sangat berbeda,’’ terangnya. (*)      

Editor: Dinarsa Kurniawan

Tag:  #masyarakat #sipil #ramai #ramai #kritik #kejaksaan #sebut #leniensi #jelas

KOMENTAR