100 Hari Kerja dan Politik Performatif
Ilustrasi.(KOMPAS/TOTO SIHONO)
06:26
20 Januari 2025

100 Hari Kerja dan Politik Performatif

HANYA menyisakan seminggu lagi, tepatnya 27 Januari 2025 nanti, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming akan memasuki masa seratus hari kerja sejak dilantik 20 Oktober 2024.

Sementara itu, para kepala daerah yang baru saja terpilih akan segera dilantik pada 22 Januari 2025 dan tentunya akan menghadapi “astrologi politik 100 hari”.

Sekalipun belum ditemukan dasar ilmiah yang menjelaskan, angka 100 telah menjadi patokan waktu untuk mengevaluasi pemerintahan di banyak negara, Indonesia di antaranya.

Mungkin saja pilihan angka 100 sekadar bersifat simbolik, tidak ada makna khusus. Walaupun begitu, bisa dicocokologi secara klenik, yaitu ritus 100 hari adalah momen untuk memenuhi kebutuhan emosional masyarakat yang ingin melihat "pertanda" baik atau buruk dari kepemimpinan.

Sudah jadi maklum bahwa keberhasilan kinerja pemerintahan memerlukan waktu lebih dari sekadar seratus hari untuk menunjukkan hasil nyata.

Seratus hari masih belum cukup untuk membangun monumen keberhasilan yang berdampak, apalagi spektakuler.

Membesar-besarkan pencapaian kecil

Tekanan 100 hari sering kali memaksa pemerintahan baru melakukan kejar tayang untuk menunjukkan hasil langsung.

Akibatnya, para penyelenggara pemerintahan sering kali terdorong untuk mengambil langkah-langkah cepat yang bersifat “kosmetik.”

Jarang disadari oleh mereka bahwa publik sebenarnya lebih menghargai kejujuran dan keterbukaan proses daripada narasi besar yang penuh ilusi dan teka-teki.

Seharusnya, 100 hari dijadikan sebagai masa awal pemerintahan yang fokus pada dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.

Di masa 100 hari pemerintah memanfaatkan waktu untuk mendengar, mencatat, dan memahami kebutuhan masyarakat yang mendesak, bukannya mengambil langkah populis yang dipaksakan.

Masa 100 hari lebih cocok digunakan untuk menyusun kebijakan, sosialisasi program, dan membangun komunikasi internal untuk memastikan semua elemen pemerintahan bekerja ke arah yang sama.

Proses ini mungkin tampak lambat, tetapi bisa membentuk kepercayaan publik. Ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka didengar, mereka akan memberikan dukungan terhadap kebijakan, sekalipun hasilnya memerlukan waktu lebih lama untuk terwujud.

Kita paham bahwa pendekatan semacam ini bertabrakan dengan budaya “politik performatif” yang berorientasi pada hasil instan dan mengutamakan simbolisme daripada substansi.

Melalui politik performatif, penyelenggara pemerintahan seringkali mengumumkan kebijakan besar yang terkadang belum matang atau membesar-besarkan pencapaian kecil agar mengesankan publik.

Dalam teori politik performatif, masa awal pemerintahan adalah waktu yang sangat krusial untuk membangun dan memerkuat legitimasi.

Legitimasi pemerintahan baru tidak hanya datang dari hasil pemilu, tetapi juga dari kemampuan para aktor negara untuk melakukan dramatisasi masa-masa awal jabatan. Hal ini penting untuk memertahankan dukungan publik.

Untuk memacu?

Meskipun “astrologi politik 100 hari” sering kali dianggap dangkal dan kurang makna, ia tetap memiliki manfaat sebagai pemicu.

Tekanan publik, terutama media, untuk menunjukkan hasil awal memaksa para aktor pemerintahan untuk segera bergerak, berpikir, dan bertindak.

Meski pontang-panting, dinamika ini dapat menghidupkan semangat kerja yang mungkin lambat muncul dalam kabinet pemerintahan. “Klenik politik” ini berguna untuk mendorong aksi, sekalipun berisiko mengorbankan substansi.

Sekalipun “mitos 100 hari” berguna sebagai untuk hal di atas, para pemimpin tetap harus sadar dan cermat bahwa kecepatan bukanlah pengganti strategi jangka panjang.

Mereka jangan terpancing untuk membangun narasi keberhasilan instan dan menciptakan ekspektasi yang tidak realistis.

Jangan terlalu tergoda untuk membuat kebijakan populis dan instan, yang menarik di permukaan, tetapi rapuh di dalam. Jangan membuat kebijakan “satu rasa untuk semua”.

Cara ini akan gagal menciptakan perubahan struktural yang diperlukan untuk keberlanjutan jangka panjang.

Seratus hari pertama pemerintahan baiknya digunakan untuk mengokohkan kepercayaan daripada memamerkan pencapaian yang “terkadang norak”.

Karena rakyat juga paham bahwa waktu 100 hari tidak akan cukup untuk membuat bandara, menyelesaikan jalan tol puluhan kilometer, atau menghilangkan pengangguran secara total.

Tatantangan serius dalam tradisi politik performatif berbingkai 100 hari kerja adalah keberanian menyampaikan kepada publik bahwa kita sedang membangun negara, bukan sedang membuat mi instan.

Dalam membuat mi instan, hanya perlu waktu tiga menit, sebuah sajian sederhana siap disantap. Adapun mengelola negara adalah cerita panjang dan berbelit yang dipenuhi sejuta rasa.

Negara bukan mi instan yang bisa disulap dengan air panas dan bumbu instan, melainkan sebuah “organisme’ hidup yang penuh dinamika, konflik, dan kerumitan.

Negara adalah kombinasi dari berbagai masalah yang saling terkait dengan cara yang sering kali di luar dugaan.

Khusus untuk para pemimpin daerah yang akan segera dilantik perlu menyadari bahwa masa 100 hari adalah waktu awal untuk konsolidasi internal, dialog dengan masyarakat, dan pengembangan strategi jangka panjang.

Daripada membangun citra semu, lebih baik memanfaatkan 100 hari untuk menanamkan kepercayaan yang tulus.

Sebenarnya, rakyat paham bahwa 100 hari adalah waktu yang sangat pendek dan terbatas untuk capaian besar yang terukur, tapi para aktor politik butuh "panggung citra."

Tag:  #hari #kerja #politik #performatif

KOMENTAR