Amnesty Soroti Kelalaian Polsek Cinangka Tolak Pendampingan Korban Penembakan: Harus Disanksi Pidana
Adapun, Kapolsek Cinangka, AKP Asep Iwan Kurniawan saat itu disebutkan menolak permintaan korban dan tim rental mobil dalam mengejar mobil mereka yang saat itu berada di tangan sejumlah oknum TNI AL yang mencoba menggelapkan mobil itu.
Karena hal tersebut lah, Usman pun meminta agar Polri mengusutnya.
Menurut Usman, aparat keamanan dan aparat penegak hukum yang lalai hingga menewaskan masyarakat sipil itu harus disanksi pidana, bukan hanya etik saja.
“Kelalaian Polri dalam mencegah terjadinya penembakan pada 2 Januari 2025 tersebut juga harus menjadi perhatian serius dari institusi kepolisian,” ujar Usman dalam keterangannya, Selasa (7/1/2024), dilansir Kompas.com.
“Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik,” katanya.
Atas terjadinya kasus ini dan sejumlah kejadian pembunuhan di luar hukum yang masih marak terjadi, Amnesty kemudian mendesak pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997.
“Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan."
"Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997,” ujar Usman.
Usman juga menekankan, revisi terhadap UU ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
Menurutnya, hanya dengan langkah ini, korban bisa mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.
“Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut,” jelasnya.
Alasan Kapolsek Cinangka Tolak Pendampingan
Sebelumnya, penolakan permintaan pendampingan itu disampaikan oleh anak korban, yakni Agam Muhammad.
Agam mengaku, saat melapor ke Polsek Cianangka, pihaknya sudah membawa dan menunjukkan surat-surat lengkap kendaraan sewaan yang diduga akan digelapkan oleh pelaku, agar polisi mau membantunya.
Namun, kata Agam, pihak kepolisian tidak mengacuhkan surat-surat kendaraan yang sudah ditunjukkan itu.
Mengenai hal tersebut, Kapolsek Cinangka pun membantah tudingan penolakan itu.
Dia menjelaskan, pihaknya hanya tidak ingin gegabah memberikan pendampingan karena menyangkut keselamatan semua pihak.
"Itu narasi bahwa menolak pendampingan tidak benar. Kami hanya memastikan kondisi aman sebelum bertindak," jelas Asep melalui telepon, Kamis (2/1/2025), dilansir Kompas.com.
Berbeda keterangan dengan Agam, Asep menceritakan bahwa kala itu ada tiga orang datang ke Polsek Cinangka sekitar pukul 01.00 dini hari dan mengaku sebagai leasing yang hendak mengejar mobil.
Petugas lantas meminta dokumen kendaraan yang akan dikejar, tapi mereka tidak bisa menunjukkan.
"Karena mengaku dari leasing, kami meminta dokumen. Kami tidak mau sembarangan bertindak tanpa dasar yang jelas," jelas Asep.
Petugas yang sedang piket kemudian menyarankan agar korban membuat laporan resmi terlebih dahulu.
Setelah itu, mereka kemudian pergi dengan alasan mengambil dokumen.
Namun, kata Asep, orang yang sebelumnya datang itu tidak kembali lagi ke Polsek Cinangka.
Baru setelahnya, Polsek Cinangka menerima informasi mengenai penembakan di rest area Km 45 Tol Tangerang-Merak yang sekarang ini ditangani Polresta Tangerang.
"Saya turut prihatin atas peristiwa ini," ujar Asep.
Eks Kabareskrim Setuju dengan Kapolsek Cinangka
Berbeda dari Direktur Amnesty, Eks Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Ito Sumardi justru sependapat dengan pernyataan Kapolsek Cinangka yang membantah menolak pendampingan tersebut.
Menurut Ito, hal tersebut benar adanya karena pendampingan oleh kepolisian harus dilakukan secara jelas untuk keperluan apa.
"Kita harus bedakan pertama ya, tadi Pak Kapolsek sudah mengatakan bahwa ini bukan penolakan (pendampingan)," ucapnya dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Sabtu (4/1/202).
"Memang menurut saya, kalau ada permintaan pendampingan tentunya harus jelas dulu untuk apa dan kira-kira dokumen kendaraan apa yang harus diberitahukan pada petugas," tambahnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, nantinya petugas kepolisian akan menyiapkan surat perintah atau meminta izin pada pimpinan karena akan ada upaya paksa.
"Nanti petugas akan menyiapkan surat perintah ataupun meminta izin pada kapolsek, karena ini kan akan ada upaya paksa."
"Kecuali, apabila kasus ini sudah dilaporkan dan sudah dalam bentuk laporan polisi, maka anggota polisi yang menangani itu wajib untuk mendampingi daripada keluarga," tambahnya.
Menurut Ito, jika personel kepolisian melakukan upaya paksa tanpa ada surat perintah, hal itu termasuk pelanggaran kode etik dan standar operasional prosedur (SOP).
"Kalau misalnya anggota melakukan upaya paksa tanpa surat perintah, itu ada konsekuensinya bahwa yang bersangkutan adalah melanggar kode etik dan SOP," ungkapnya.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, total ada empat tersangka sipil diantaranya AS, IS, IH (DPO), dan RH (DPO).
Para tersangka disangkakan tindak pidana Penipuan dan atau Penggelapan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 378 KUHP dan atau 372 KUHP.
Kasus penggelapan kendaraan berdasarkan LP/B/1/2024/SPKT./POLSEK RAJEG/ POLRES KOTA TANGERANG.
Laporan tersebut dilayangkan Agam Muhammad, warga Taman Raya Rajeg, Desa Mekarsari, Kabupaten Tangerang, terkait dugaan penggelapan mobil Honda Brio warna oranye bernomor polisi B 2694 KZO yang terjadi di tempat rental CV Makmur Raya pada 2 Januari 2025, pukul 00.15 Wib.
(Tribunnews.com/Rifqah) (Kompas.com)
Tag: #amnesty #soroti #kelalaian #polsek #cinangka #tolak #pendampingan #korban #penembakan #harus #disanksi #pidana