Hak Angket Tanpa Dasar Yang Kuat Bisa Picu Kerusuhan di Tengah Masyarakat
- Wacana hak angket sebagai respons adanya dugaan pelanggaran dalam Pemilu 2024 terus bergulir. Pihak-pihak yang berniat melakukan hak angket diminta hati-hati. Pasalnya, tanpa dasar atau kerangka representasi yang kuat, hak angket berpotensi memicu kerusuhan di masyarakat.
Founder Haidar Alwi Institute (HAI) R. Haidar Alwi menilai, hak angket terkait dugaan kecurangan pemilu dapat memicu kerusuhan besar, jika mengabaikan kerangka representasi rakyat. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPP (MD3).
"Sekiranya hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, dikhawatirkan akan timbul gelombang keributan yang lebih besar dari kalangan rakyat," kata Haidar Alwi di Jakarta pada Senin (26/2).
Haidar Alwi menegaskan, upaya politik hak angket jangan sampai mengorbankan rakyat. Apalagi demi hasrat elite politik yang haus kekuasaan semata.
Dia juga menyinggung hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merepresentasikan 83,6 persen responden puas terhadap penyelenggaran Pemilu 2024. Serta sebanyak 76,4 persen responden menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil. Artinya, kalangan rakyat yang dapat dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. "Meskipun partai-partai pengusul hak angket jumlah kursinya di DPR besar," ujar Haidar.
Hak angket sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres tanpa menyertakan Pileg. "Bilamana hak angket dilakukan secara parsial, Pilpres saja misalnya, maka motifnya patut dipertanyakan," kata dia. Karena Pilpres dan Pileg adalah sepaket dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya.
Menurutnya Pileg memiliki potensi kecurangan yang lebih besar ketimbang Pilpres. Sebab, proses penghitungan suara Pileg biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari setelah proses penghitungan suara Pilpres. Hal ini sesuai dengan Pasal 52 Ayat 2 PKPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara Pilpres berlangsung, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi. Termasuk menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan.
"Namun pada malam hingga dini hari saat penghitungan suara Pileg dilakukan, TPS makin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan," jelasnya.
Akibatnya dapat membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu. Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi.
Dia mengungkapkan salah satu bentuk kecurangan Pileg yang sering terjadi adalah pencurian atau jual beli suara. Baik antar-caleg maupun antar-partai. Tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara. Sedangkan di sisi lain ada caleg kaya raya atau caleg anak pejabat yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.
"Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," kata Haidar.
Oleh karena itu, jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Karena dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.
Tag: #angket #tanpa #dasar #yang #kuat #bisa #picu #kerusuhan #tengah #masyarakat