Negara Polisi
DI TENGAH gelombang kecaman terhadap Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo justru tampil ke publik untuk membenarkan regulasi yang ia terbitkan, tanpa mengakui adanya problem normatif di dalamnya.
Ia menyatakan bahwa Perpol tersebut merupakan bentuk penghormatan dan tindak lanjut atas Putusan MK. Substansi yang dibatalkan MK, menurut dia, telah disesuaikan secara limitatif.
Bahkan, Kapolri menekankan bahwa penerbitan Perpol ini telah melalui konsultasi dengan kementerian dan para pemangku kepentingan.
“Apa yang dilanggar?” ujarnya secara retoris, seraya menambahkan bahwa Perpol ini kelak akan diperkuat melalui revisi Undang-Undang Polri dan peraturan pemerintah.
Kapolri juga membantah bahwa Perpol tersebut bertentangan dengan konstitusi. Ia mengklaim telah melakukan konsultasi dengan kementerian dan para pemangku kepentingan.
Klaim ini kembali dijadikan dasar pembenaran, seolah legitimasi administratif dapat menggantikan legitimasi konstitusional.
Di sinilah letak persoalan mendasarnya, sekaligus alasan mengapa publik merasa dilecehkan secara nalar.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 lahir setelah Mahkamah Konstitusi secara tegas memutuskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil kecuali mengundurkan diri atau pensiun. Putusan tersebut tidak menyisakan ruang tafsir ganda dan bersifat final serta mengikat.
Namun, alih-alih mematuhi substansi putusan itu, Kapolri justru menerbitkan Perpol yang mengatur penugasan terbatas anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga negara, tanpa mencabut secara eksplisit syarat pengunduran diri atau pensiun.
Secara faktual, kebijakan ini tetap membuka ruang bagi aparat aktif untuk menduduki jabatan sipil, meski dibungkus dengan istilah pembatasan administratif.
Jika pernyataan Kapolri diterima begitu saja, publik berisiko disesatkan. Pernyataan tersebut mencari pembenaran dengan menciptakan ilusi kepatuhan terhadap konstitusi.
Secara lahiriah tampak patuh, tetapi secara substansial justru menghindari, bahkan menegasikan, makna utama Putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK tidak mempersoalkan redaksi teknis semata, melainkan menegaskan prinsip fundamental: aparat bersenjata aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil karena hal itu bertentangan dengan supremasi sipil dan desain negara hukum demokratis.
Prinsip inilah yang seharusnya menjadi titik tolak, bukan sekadar batas administratif yang bisa disiasati.
Dengan demikian, klaim bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 merupakan bentuk “tindak lanjut” Putusan MK justru berbanding terbalik dengan substansi putusan itu sendiri.
Apa yang terjadi dalam polemik ini merupakan bentuk legalisme semu, yakni penggunaan prosedur administratif dan bahasa hukum untuk membungkus pelanggaran terhadap norma hukum tertinggi. Secara formal tampak sah, tetapi secara konstitusional cacat.
Karena itu, pembelaan Kapolri terhadap Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tidak bisa dipahami sekadar perbedaan tafsir hukum. Ini sudah terjadi pergeseran yang jauh lebih serius, yakni perubahan cara berpikir dalam mengelola negara.
Ketika putusan Mahkamah Konstitusi dapat “disesuaikan” melalui peraturan internal institusi, konstitusi tidak lagi berfungsi sebagai pembatas kekuasaan, melainkan sekadar rujukan yang bisa dinegosiasikan.
Jika logika ini dibiarkan, yang dipertaruhkan bukan hanya satu peraturan kepolisian, melainkan arah bernegara Indonesia.
Pertanyaannya sederhana: apakah republik ini tetap dikelola sebagai negara hukum demokratis yang menjunjung supremasi sipil, atau justru perlahan berubah menjadi negara polisi, di mana kekuasaan bersenjata masuk ke birokrasi sipil berkedok administratif?
Pelanggaran tata kelola negara
Persoalan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 bukan sekadar soal benar atau salah secara hukum, melainkan soal rusak atau tidaknya tata kelola negara.
Ini bukan perdebatan teknis yuridis, tetapi persoalan mendasar tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dalam negara demokrasi.
Dalam negara demokrasi, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengatur, tetapi sebagai pagar pembatas kekuasaan. Hukum diciptakan agar kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melampaui batas yang telah ditetapkan.
Ketika pagar ini digeser, dinegosiasikan, atau disiasati, negara mulai bergerak ke arah yang berbahaya. Kekuasaan melaju lebih cepat daripada hukum yang seharusnya membatasinya, dan pada titik itu hukum berhenti menjadi pelindung rakyat, berubah menjadi pembenaran kekuasaan.
A.V. Dicey, perumus konsep rule of law klasik, menegaskan bahwa hukum harus membatasi negara, bukan tunduk pada kehendak penguasa.
Hukum tidak boleh dibentuk ulang untuk membenarkan tindakan kekuasaan. Ketika hukum justru dinegosiasikan atau disiasati oleh penguasa, yang runtuh bukan sekadar aturan, melainkan fondasi negara hukum itu sendiri.
Dalam tata kelola negara yang sehat atau good governance, negara dijalankan dengan aturan, bukan dengan kehendak penguasa.
Presiden, menteri, Kapolri, atau pejabat mana pun tidak dibenarkan membuat kebijakan berdasarkan kemauan pribadi atau kepentingan institusionalnya sendiri.
Seluruh penyelenggara negara wajib tunduk pada aturan yang lebih tinggi, terutama konstitusi, karena di sanalah batas kekuasaan diletakkan secara tegas.
Jika hierarki hukum tidak dihormati, aturan menjadi tidak pasti, keadilan dapat dipermainkan, dan kekuasaan kehilangan batas.
Negara kemudian tidak lagi bekerja berdasarkan sistem hukum yang tertib, melainkan berdasarkan logika administratif: siapa yang memiliki kewenangan paling kuat, dialah yang menentukan arah kebijakan.
Konstitusi ditempatkan sebagai aturan tertinggi justru untuk mencegah situasi tersebut. Undang-Undang Dasar 1945 mengikat seluruh penyelenggara negara tanpa kecuali, termasuk kepolisian.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat karena berfungsi sebagai penjaga makna konstitusi, agar konstitusi tidak ditafsirkan sesuka penguasa atau dikompromikan demi kepentingan kekuasaan jangka pendek.
Di bawah konstitusi, undang-undang menjadi instrumen kebijakan publik yang disepakati secara demokratis dan wajib tunduk pada konstitusi serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Peraturan Kepolisian merupakan aturan internal yang ruang berlakunya terbatas pada organisasi kepolisian itu sendiri.
Dari perspektif tata kelola, Perpol tidak memiliki mandat lintas kementerian dan lembaga, serta tidak dirancang untuk menghasilkan dampak konstitusional.
Ketika aturan internal digunakan untuk mengatur jabatan sipil atau memodifikasi makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang terjadi bukan penataan hukum, melainkan pelanggaran prinsip tata kelola negara.
Negara tidak lagi dijalankan berdasarkan sistem hukum yang berjenjang dan tertib, melainkan berdasarkan logika administratif kekuasaan.
Fenomena ini bertentangan dengan praktik demokrasi mapan di berbagai negara. Di Inggris, Kanada, dan Australia, aparat kepolisian aktif dilarang menduduki jabatan sipil strategis tanpa terlebih dahulu melepaskan status keaktifannya.
Prinsipnya jelas: aparat penegak hukum harus netral dan terpisah dari pengambilan keputusan administratif.
Di Jerman dan negara-negara Uni Eropa, pemisahan antara fungsi keamanan dan fungsi administrasi sipil bahkan dijaga secara ketat melalui undang-undang dan tradisi ketatanegaraan.
OECD, dalam Principles of Public Governance, menegaskan bahwa tata kelola yang baik mensyaratkan kejelasan kewenangan, akuntabilitas yang tegas, dan pemisahan fungsi yang mencegah konflik kepentingan.
World Bank juga secara konsisten menempatkan supremasi hukum dan kontrol terhadap aparat keamanan sebagai indikator utama kualitas tata kelola negara.
Negara yang membiarkan aparat keamanan aktif masuk ke ruang sipil cenderung mengalami penurunan kualitas demokrasi dan meningkatnya risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk menilai lebih jauh apakah kekuasaan dijalankan dengan benar, pendekatan Good Public Governance (GPG) menjadi relevan. Pendekatan ini tidak berhenti pada pertanyaan apakah suatu kebijakan sah secara formal, tetapi melangkah lebih jauh: apakah kebijakan tersebut dijalankan secara benar, adil, dan bertanggung jawab dalam praktik pemerintahan sehari-hari.
Dalam kerangka Good Public Governance, terdapat lima prinsip utama sebagai alat uji, yakni TARIF: Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility atau tanggung jawab negara, Independensi, dan Fairness atau keadilan.
Kelima prinsip ini berfungsi untuk mengukur kualitas penyelenggaraan kekuasaan, bukan sekadar membenarkan keabsahan administratif suatu kebijakan.
Dari sisi transparansi, kebijakan yang berdampak lintas sektor semestinya disusun secara terbuka dan dapat diuji publik.
Ketika dasar hukum, analisis kebutuhan, dan konsekuensi kebijakan tidak dijelaskan secara terang, legitimasi publik melemah. OECD menyebut transparansi sebagai prasyarat utama kepercayaan publik terhadap negara.
Dari aspek akuntabilitas, penempatan aparat aktif di jabatan sipil menciptakan situasi dual loyalitas yang membingungkan.
Aparat tersebut tunduk secara struktural pada institusi kepolisian, tetapi menjalankan fungsi administratif di kementerian atau lembaga lain. Kondisi ini mengaburkan siapa bertanggung jawab kepada siapa, dan melemahkan mekanisme pengawasan.
Dari perspektif tanggung jawab negara, kebijakan ini mencerminkan kegagalan membangun birokrasi sipil yang profesional dan mandiri.
Alih-alih memperkuat aparatur sipil negara melalui sistem merit dan pengembangan kapasitas, negara memilih jalan pintas dengan memperluas peran aparat keamanan.
World Bank secara konsisten mengingatkan bahwa ketergantungan pada aparat keamanan dalam administrasi sipil adalah indikator lemahnya kapasitas institusi negara.
Pada prinsip independensi, pelanggaran hierarki hukum merusak pemisahan fungsi negara. Samuel P. Huntington, dalam The Soldier and the State, menegaskan bahwa profesionalisme aparat bersenjata justru terjaga ketika perannya dibatasi secara ketat dari ranah politik dan administrasi sipil.
Ketika batas ini dilanggar, konflik kepentingan menjadi struktural dan kepercayaan publik menurun.
Aspek fairness atau keadilan juga tercederai. Aparatur sipil negara harus melalui proses seleksi, promosi, dan evaluasi berbasis merit yang ketat dan kompetitif.
Sebaliknya, aparat kepolisian memperoleh jalur khusus melalui penugasan administratif. Ketimpangan ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang menjadi pilar tata kelola modern di negara-negara demokrasi.
Karena itu, persoalan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tidak boleh dipersempit sebagai perdebatan hukum teknis. Ini adalah ujian serius bagi tata kelola negara Indonesia.
Jika hierarki hukum terus diabaikan, prinsip good governance hanya akan menjadi slogan, sementara praktik pemerintahan bergerak ke arah yang berlawanan.
Negara berisiko dikelola bukan oleh konstitusi, melainkan oleh kekuasaan administratif yang semakin sulit dikendalikan. Dalam negara hukum, konstitusi mengatur kekuasaan, bukan kekuasaan yang menyesuaikan konstitusi.
Menjaga tata kelola negara bukan tindakan melawan negara, melainkan upaya menyelamatkan negara dari penyimpangan kekuasaan.
Menjaga negara dari negara polisi
Kritik terhadap Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 bukanlah sikap anti-kepolisian. Justru sebaliknya, kritik ini lahir dari kepedulian untuk menjaga profesionalisme Polri agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan prinsip negara hukum demokratis.
Kepolisian yang profesional bukanlah kepolisian yang meluas ke segala ruang kekuasaan, melainkan institusi penegak hukum yang kuat justru karena perannya dibatasi secara jelas oleh hukum.
Penting ditegaskan, Reformasi 1998 memisahkan Kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan untuk memperluas kekuasaan kepolisian, melainkan untuk membatasi peran seluruh aparat bersenjata dalam kehidupan sipil.
Pemisahan Polri dari TNI adalah koreksi historis atas dwifungsi militer, sekaligus upaya menempatkan semua institusi bersenjata—baik militer maupun kepolisian—di bawah supremasi sipil dan kendali hukum.
Karena itu, Reformasi tidak pernah dimaksudkan agar kepolisian menggantikan posisi TNI dalam mengambil ruang-ruang publik dan jabatan sipil.
Reformasi justru ingin memastikan bahwa tidak ada satu pun institusi bersenjata yang berubah menjadi kekuatan dominan dalam administrasi negara.
Menggeser dominasi dari militer ke kepolisian tanpa pembatasan yang tegas bukanlah kelanjutan Reformasi, melainkan pengulangan logika lama dengan aktor berbeda.
Dalam konteks kekinian, kekhawatiran publik semakin kuat karena institusi kepolisian selama bertahun-tahun dinilai terlalu dimanjakan oleh kekuasaan politik.
Dukungan politik yang berlebihan, kewenangan yang terus meluas, serta minimnya koreksi serius telah membentuk persepsi bahwa kepolisian berkembang menjadi super body—sebuah institusi dengan kekuasaan besar, tetapi pengawasan yang lemah.
Dalam kondisi ini, kepolisian berubah menjalani fungsi ganda secara de facto, menyerupai logika dwifungsi yang pada era Orde Baru melekat pada ABRI yang justru ditentang keras oleh gerakan Reformasi 1998.
Situasi ini berbahaya bagi tata kelola negara. Ketika satu institusi penegak hukum sekaligus memiliki kekuatan operasional, kewenangan administratif, dan kedekatan dengan kekuasaan politik, maka risiko penyalahgunaan kewenangan tidak lagi bersifat individual, melainkan struktural.
Dalam konfigurasi seperti ini, kepolisian tidak lagi semata dipandang sebagai penegak hukum yang netral, tetapi berpotensi dipersepsikan sebagai bagian dari mesin kekuasaan politik.
Fenomena yang dikenal di ruang publik sebagai isu “partai coklat” (parcok) tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari akumulasi praktik dan pengalaman publik, di mana aparat kepolisian kerap dipersepsikan terlibat, dimobilisasi, atau setidaknya dimanfaatkan dalam dinamika politik elektoral dan kontestasi kekuasaan.
Terlepas dari benar atau tidaknya setiap tudingan, persepsi semacam ini merupakan indikator serius merosotnya kepercayaan publik. Dalam teori tata kelola negara, erosi kepercayaan publik adalah alarm bahaya bagi keberlangsungan negara hukum dan demokrasi.
Dalam negara demokrasi, aparat penegak hukum harus berdiri di atas semua kepentingan politik. Ketika polisi dipersepsikan berpihak, atau digunakan sebagai instrumen kekuasaan, maka keadilan kehilangan makna netralitasnya.
Hukum tidak lagi dipandang sebagai penjaga keadilan, tetapi sebagai alat yang bisa diarahkan sesuai kepentingan politik yang berkuasa.
Sejarah demokrasi menunjukkan bahwa kemunduran negara hukum jarang dimulai dengan langkah ekstrem. Ia sering berlangsung secara perlahan, melalui normalisasi praktik-praktik yang tampak administratif dan legalistik, tetapi secara substansial menggeser batas antara ranah sipil dan ranah aparat.
Ketika perluasan peran aparat dibenarkan atas nama efisiensi, kebutuhan negara, atau stabilitas politik, demokrasi sesungguhnya sedang mundur selangkah demi selangkah.
Dalam konteks inilah, kritik terhadap Perpol Nomor 10 Tahun 2025 harus dipahami sebagai peringatan dini. Jika aparat penegak hukum diberi ruang untuk mengatur, menafsirkan, dan memperluas sendiri batas kewenangannya, maka prinsip pembatasan kekuasaan kehilangan makna.
Negara hukum berisiko berubah menjadi negara aparat, di mana hukum tidak lagi berfungsi sebagai pagar kekuasaan, melainkan sebagai alat pembenaran kekuasaan.
Karena itu, koreksi konstitusional dan tekanan publik yang sah bukanlah ancaman terhadap negara, melainkan bagian dari mekanisme penyelamatan negara itu sendiri.
Dalam demokrasi, warga negara bukan sekadar objek kekuasaan, tetapi subjek yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa konstitusi tetap menjadi rujukan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Mencegah negara berubah menjadi negara polisi bukan sikap melawan kepolisian, melainkan kewajiban konstitusional. Negara tidak boleh tunduk pada logika kepolisian; kepolisianlah yang wajib tunduk pada konstitusi.
Reformasi 1998 secara tegas memutus praktik kekuasaan bersenjata di ruang sipil. Tidak boleh ada institusi bersenjata—dalam bentuk apa pun—yang dijadikan alat politik atau kekuatan dominan dalam pemerintahan.
Ketika prinsip ini dilanggar, demokrasi runtuh dan negara hukum tinggal slogan.