Gus Dur yang Tak Pernah Menangis
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga Ketua Umum Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa menjawab pertanyaan di Kantor PBNU, Jakarta, Jumat (29/7/2005). Gus Dur bersama sejumlah tokoh lintas agama membentuk Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, ia meminta Mahkamah Agung segera menggelar sidang mengenai Ahmadiyah. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
06:02
7 Desember 2025

Gus Dur yang Tak Pernah Menangis

SEBAGAI jurnalis televisi yang bertugas meliput Istana saat KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berkuasa, saya tidak akan pernah melupakan momen-momen Presiden ke-4 negeri ini dipaksa mengakhiri kekuasaannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

“Dengan ini kami nyatakan bahwa jabatan Presiden Republik Indonesia kosong,” kata Ketua MPR saat itu, Amien Rais, dilanjutkan pengambilan sumpah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI, menggantikan Gus Dur.

Saat petinggi militer menemui Gus Dur menyampaikan pesan dari TNI bahwa demi keamanan Gus Dur dimohon meninggalkan Istana hari itu juga, Gus Dur menjawab tenang, tetapi tegas, “Saya tidak akan keluar dari Istana sebelum saya sendiri yang memutuskan. Saya Presiden yang sah sampai akhir masa jabatan saya.”

Namun, pada akhirnya Gus Dur menyerah pada realitas. Ia meminta semua staf dan keluarga berkumpul di ruang tengah Istana.

Dengan suara sedikit bergetar, tetapi tetap tersenyum, keluarlah kalimat yang akan dikenang abadi, “Saya tidak akan keluar lewat pintu belakang seperti maling. Saya akan keluar lewat pintu depan, dengan kepala tegak!”

Gus Dur kemudian memeluk satu per satu stafnya, lalu berjalan perlahan menuju pintu utama Istana, diikuti Ibu Shinta Nuriyah, istrinya, dan keempat putrinya.

Di depan gerbang Istana, ribuan pendukungnya menangis histeris sambil meneriakkan, “Gus Dur… Gus Dur…”. Gus Dur sendiri hanya mengacungkan dua jempol sambil tersenyum lebar, tanpa air mata.

Seperempat abad kemudian, saya kembali teringat sosok Gus Dur yang tidak pernah menangis saat organisasi kemasyarakatan yang pernah dipimpinnya, Nahdlatul Ulama (NU), menghadapi turbulensi luar biasa yang mengarah pada perpecahan.

NU yang pernah disegani dan dihormati justru saat Gus Dur bertahan dari terpaan angin kekuasaan Presiden Soeharto.

“The Smiling General” ini memang berniat mengerdilkan, bahkan menihilkan Gus Dur dengan berusaha menggulingkannya. Namun, Gus Dur tetap bertahan dan NU justru semakin disegani.

Sebagai jurnalis yang meliput gerak-gerak oposisi di era Orde Baru, saya sering menyelinap ke kediaman Gus Dur di Ciganjur atau ke kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, untuk bertemu tokoh-tokoh strategis.

Di antara para tokoh itu Gus Dur selalu menjadi magnet. Bukan karena kharismanya yang flamboyan, tetapi ketegarannya yang tenang, seperti pohon beringin yang tak goyah meski diterpa angin kencang dan badai sekalipun.

Gus Dur, saat menjabat Ketua Umum PBNU, pernah dijadikan "dissident" oleh rezim Soeharto. Ia dikategorikan sebagai ancaman negara, diawasi ketat, bahkan pernah mengalami percobaan pembunuhan.

Namun, Gus Dur tak pernah menangis cengeng. Bahkan saat dikerdilkan oleh penguasa, ia tetap berdiri tegak, dengan senyum khas yang menyiratkan, "Ini bukan akhir, ini baru permulaan."

Hari-hari ini, 25 tahun kemudian, saya kembali mengenang Gus Dur bukan karena nostalgia semata, tetapi karena NU, organisasi yang ia cintai dan pimpin dengan “tangan besi” berbalut humor segar tak terduga, sedang bergulat dengan perpecahan internal yang mengkhawatirkan.

Sebagai pengagum pemikirannya, saya prihatin melihat NU yang dulu menjadi penyeimbang kekuasaan di era Gus Dur, kini terperangkap dalam pusaran pragmatisme politik dan ekonomi.

Bagi saya, ini bukan sekadar konflik elite, ini ancaman terhadap marwah NU sebagai Jam'iyah Ahlussunnah wal Jama'ah yang inklusif.

Berdasarkan pengalaman saya meliput Gus Dur, termasuk saat ia berkeliling dunia sebagai Presiden RI membangun jembatan dialog antaragama, saya ingin berbagi pandangan bahwa NU harus kembali ke khittah era Gus Dur, sebelum perpecahan ini merenggut peran historisnya sebagai penjaga moderasi bangsa.

Saya agak malas menelaah perpecahan di tubuh PBNU saat ini yang konon bukanlah ledakan mendadak, melainkan akumulasi ketegangan yang telah membara sejak Muktamar ke-34 pada Desember 2021.

Saat itu, Yahya Cholil Staquf, biasa dipanggil Gus Yahya, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, mengalahkan dua periode pendahulunya, Said Aqil Siradj.

Kemenangan Gus Yahya, yang didukung 27 Pengurus Wilayah NU (PWNU) dan Rais Aam KH Miftachul Akhyar, menandai transisi dari kepemimpinan Said Aqil yang dinilai lebih vokal dalam isu-isu global seperti anti-radikalisme, menuju era "reorientasi" yang lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan warga Nahdliyin.

Namun, transisi ini tidaklah mulus. Sejak awal, ada gesekan antara kubu reformis Gus Yahya dengan faksi tradisionalis yang merasa NU mulai "terlalu pragmatis", meninggalkan akar tradisionalnya sebagai ormas ulama yang mandiri dari kekuasaan.

Puncak konflik meletus pada November 2025, ketika Syuriyah PBNU, yakni badan ulama tertinggi, mengeluarkan risalah rapat harian yang meminta Gus Yahya mundur dari jabatannya.

Alasan utamanya disebut-sebut undangan Peter Berkowitz, seorang akademisi Amerika yang dianggap pro-Israel, sebagai narasumber di Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU) tiga bulan sebelumnya.

Syuriyah menilai hal ini bertentangan dengan muqaddimah Qanun Asasi NU dan nilai Ahlussunnah wal Jama'ah di tengah genosida Gaza.

Rais Aam KH Miftachul Akhyar bahkan mengeluarkan ultimatum, memicu gelombang kritik dari Katib Syuriyah KH Nurul Yakin Ishaq yang menyebutnya "tidak prosedural."

Namun, benang merah yang saya lihat lebih dalam adalah pragmatisme ekonomi yang kian parah.

Konflik ini, menurut Ketua PBNU Ulil Absar Abdalla, berakar pada perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) soal pengelolaan konsesi tambang yang diberikan pemerintah era Jokowi kepada NU.

Di era Gus Dur, NU adalah penyeimbang, kritis terhadap Soeharto tanpa bergantung pada tahta kekuasaan.

Sejak Said Aqil, karakter kepemimpinan bergeser ke pragmatisme, yaitu dari tradisional (dakwah, pendidikan, sosial) ke politik-ekonomi yang "berada di bawah bayang-bayang kekuasaan."

Mungkin bukan hanya soal tambang atau undangan kontroversial, melainkan soal hilangnya ruh NU sebagai "organisasi penyeimbang", yang dulu membuatnya kebal dari intrik elite kekuasaan.

Saya membayangkan jika Gus Dur masih hidup hari ini, menyaksikan perpecahan ini dari kursi rodanya, saya yakin ia tidak akan menangis seperti yang sering digambarkan musuh-musuhnya dulu.

Gus Dur, yang tunanetra sejak 1990-an, tidak pernah goyah menghadapi tekanan Soeharto sekalipun, bahkan saat dikerdilkan sebagai "ancaman negara."

Saya masih ingat peristiwa sekitar tahun 1992 kala Gus Dur membentuk Forum Demokrasi yang mengkritik pemilu curang Orde Baru, dan Soeharto membubarkan pertemuannya secara paksa.

Gus Dur tidak ragu menyebut Soeharto "bodoh" dalam surat terbuka soal proyek nasional, memicu amarah Cendana.

Namun itu tadi, Gus Dur tidak meratap, ia malah datang ke Istana, meminta maaf dengan gaya khasnya, humoris tetapi tegas, sambil tetap mendukung aktivis. Lebaran pun menjadi momen maaf-memaafkan.

Meski berseberangan, Gus Dur tetap bersilaturahmi ke Cendana, membuktikan pluralisme NU.

Andai Gus Dur hidup kini, ia pasti akan menangani perpecahan di tubuh NU ini dengan cara serupa: tegar, tanpa air mata.

"NU bukan milik satu orang," katanya dulu saat menghadapi krisis internal 1984, di mana ia memimpin islah tanpa kompromi pada prinsip.

Ia akan memanggil para kiai, bukan untuk rotasi jabatan, tetapi untuk dialog terbuka soal tambang.

"Jika NU jadi antek pengusaha dan penguasa, kita hilang marwah," demikian kira-kira pernyataan Gus Dur yang saya bayangkan kini.

Dalam pandangan saya, Gus Dur tidak akan membiarkan pragmatisme merusak khittah 1926, yakni dakwah, pendidikan, sosial, karena ia pernah mengatakan bahwa NU adalah penjaga Republik, bukan pelayan tahta.

Dalam bayangan saya, Gus Dur akan mengkritik undangan Berkowitz dengan sindiran kira-kira begini, "Dialog iya, tetapi bokya jangan sampai NU dicap pro-genosida."

Tegar seperti saat beberapa kali lolos dari percobaan pembunuhan, Gus Dur akan menyatukan NU dengan humor khasnya: "Kalau tambang bikin pecah, mending kita cari tali rafia untuk menyatukan nurani dulu."

Sebagai orang yang bukan NU dan sekadar terkait dengan Gus Dur karena tugas jurnalistik, saya yang “orang luar” tidak ikhlas jika NU yang dulu saya liput sebagai benteng moderasi, menjadi ormas pragmatis yang kehilangan peran penyeimbangnya.

Seperti Gus Dur yang berkeliling dunia membangun Islam rahmatan lil alamin, NU harus kembali ke era itu, yakni mandiri, inklusif, dan anti-korupsi.

Forum Masyayikh adalah langkah baik, tetapi butuh muktamar luar biasa untuk mereformasi AD/ART.

Seperti Gus Dur yang tegar menghadapi tekanan Soeharto, NU harus bangkit dari perpecahan ini. Bukan dengan air mata, tetapi dengan aksi. Karena, seperti kata Gus Dur sendiri, "NU adalah Indonesia, dan Indonesia tidak boleh pecah."

Barangkali NU memang cuma butuh tali rafia untuk menyatukan perbedaan sikap yang mengarah perpecahan ini, bukan tambang.

Tag:  #yang #pernah #menangis

KOMENTAR