Saatnya Taubat Ekologis
BANJIR dan longsor yang meluluhlantakkan Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025, telah menjadi alarm keras yang tidak boleh lagi diabaikan.
Ratusan warga wafat, ratusan masih hilang, dan jutaan lainnya hidup dalam keterputusan total—tanpa listrik, tanpa akses jalan, dan tanpa kepastian waktu bantuan tiba.
Peristiwa sebesar ini tidak dapat dipandang sebagai musibah alam semata; tragedi tersebut memperlihatkan kegagalan negara dalam memastikan pelindungan hak hidup warganya ketika ancaman sudah meningkat menjadi krisis kemanusiaan.
Siklon Senyar memang menjadi pemicu hujan ekstrem yang jarang terjadi di wilayah khatulistiwa.
Namun, para peneliti menegaskan bahwa kerusakan ekologis yang berlangsung lama telah membuka jalan bagi bencana sebesar ini.
Hutan digunduli, sungai dangkal karena sedimentasi, izin konsesi industri ekstraktif diberikan nyaris tanpa batas, dan kawasan resapan berubah menjadi lokasi tambang serta perkebunan skala besar.
Ketika curah hujan meningkat, tidak ada lagi ruang bagi air untuk meresap. Yang tersisa hanyalah aliran deras yang menghancurkan rumah, fasilitas umum, dan kehidupan masyarakat.
Tragedi di Sumatera menunjukkan bahwa fenomena ekstrem hanyalah satu bagian dari persoalan; akar kerusakan lebih dalam terletak pada hubungan manusia–alam yang terdistorsi oleh kebijakan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologis.
Maka, momentum ini menuntut hadirnya taubat ekologis—sebuah kesadaran moral dan politik untuk mengakui kesalahan dalam pengelolaan lingkungan dan memperbaiki arah pembangunan berbasis keadilan ekologis.
Tanpa perubahan paradigma ini, bencana serupa hanya akan berulang, meninggalkan deretan korban baru dari waktu ke waktu.
Pentingnya taubat ekologis
Taubat ekologis sejatinya merupakan gagasan yang memperoleh perhatian global setelah Paus Fransiskus menegaskannya dalam Laudato Si’ (2015), dokumen moral yang memotret krisis lingkungan sebagai hasil dari pola hidup dan kebijakan yang merusak keseimbangan bumi.
Kendati demikian, nilai dasar konsep ini telah hadir jauh sebelum Laudato Si’ melalui tradisi keagamaan, kearifan lokal, dan filsafat lingkungan yang menempatkan alam sebagai ruang hidup yang harus dijaga bersama.
Taubat ekologis mengandung makna pengakuan atas dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan manusia—baik secara personal maupun struktural—serta komitmen untuk mengubah cara pandang dan arah pembangunan demi memulihkan relasi harmonis antara manusia dan alam.
Pentingnya taubat ekologis menjadi semakin jelas ketika melihat pola bencana di Indonesia yang berulang dari tahun ke tahun.
Setiap musim hujan, wilayah yang sama kembali diterjang banjir, longsor, dan krisis ekologis lainnya. Bukan karena alam berubah lebih ganas semata, tetapi karena daya dukung lingkungan telah dilemahkan oleh deforestasi, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang tidak berpihak pada keselamatan warga.
Taubat ekologis tentu menuntut pengakuan bahwa akar dari banyak bencana bukan pada iklim ekstrem saja, melainkan pada kesalahan kolektif dalam mengelola dan memutus fungsi-fungsi ekologis yang seharusnya melindungi kehidupan.
Tanpa kesadaran ini, respons pemerintah akan terus bersifat reaktif dan berskala jangka pendek, sementara kerusakan terus menggunung.
Taubat ekologis diperlukan karena kebijakan publik tidak dapat lagi berdiri di atas logika pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan lingkungan.
Kerangka ini mendorong negara untuk menilai ulang setiap izin konsesi, proyek industri ekstraktif, dan pembangunan skala besar yang berdampak pada resapan air, hutan lindung, serta ruang hidup masyarakat.
Prinsip ini menempatkan keadilan ekologis sebagai dasar pengambilan keputusan—bukan sebagai pelengkap atau catatan kaki.
Tanpa perubahan paradigma tersebut, kerusakan lingkungan akan terus melahirkan ketidakadilan baru, memperbesar risiko bencana, dan menempatkan warga dalam ancaman yang seharusnya dapat dicegah.
Taubat ekologis, dengan demikian, bukan pilihan moral semata, melainkan kebutuhan mendesak bagi keberlanjutan kehidupan.
Krisis ekologis sebagai krisis HAM
Bencana besar di Sumatera menunjukkan bahwa krisis ekologis sesungguhnya merupakan krisis hak asasi manusia.
Hak hidup, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas perumahan yang layak, hak atas air bersih, hingga hak atas informasi darurat merupakan hak fundamental yang wajib dijamin oleh negara dalam keadaan apa pun.
Ketika banjir dan longsor memakan korban jutaan warga, memutus akses bantuan, serta menjerumuskan masyarakat ke dalam kondisi tanpa listrik, tanpa pangan, dan tanpa komunikasi, yang terjadi bukan hanya kegagalan ekologis, tetapi juga kegagalan negara memenuhi kewajiban hukumnya untuk melindungi hak-hak tersebut secara efektif.
Kerentanan warga dalam bencana ini tidak lahir secara tiba-tiba. Deforestasi, hilangnya kawasan resapan, aktivitas industri ekstraktif yang merusak, serta tata ruang yang abai pada risiko sesungguhnya telah menciptakan kondisi yang mengancam nyawa sejak jauh hari.
Ketika negara membiarkan praktik-praktik tersebut berlangsung tanpa evaluasi ketat, negara secara tidak langsung turut membentuk struktur risiko yang kemudian jatuh menghantam masyarakat.
Dalam perspektif HAM, pembiaran terhadap kerusakan ekologis yang berujung pada hilangnya nyawa merupakan bentuk pelanggaran karena negara gagal mencegah, mengawasi, dan mengendalikan faktor-faktor risiko yang dapat diprediksi.
Hak atas pemulihan yang cepat dan layak pun menjadi sorotan. Akses terputus, bantuan yang terlambat, serta lambatnya penetapan status darurat memperburuk penderitaan warga dan menambah jumlah korban.
Standar internasional menegaskan bahwa negara wajib memastikan penanggulangan bencana berbasis due diligence, yakni tindakan cepat, tepat, dan proporsional terhadap skala ancaman.
Seruan untuk melakukan moratorium atas seluruh izin konsesi di kawasan hutan semakin tidak dapat ditunda.
Banjir dan longsor yang berulang di Sumatera sejatinya merupakan bukti bahwa izin-izin yang diberikan tanpa kajian ekologis yang memadai telah menciptakan risiko struktural yang langsung mengancam hak hidup warga.
Ketika hutan hilang, tanah kehilangan kemampuan menyerap air, dan sungai kehilangan daya tampung, setiap curah hujan ekstrem berubah menjadi ancaman fatal.
Moratorium diperlukan sebagai langkah pertama untuk menghentikan kerusakan yang sedang berlangsung sekaligus memberi ruang bagi evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola sumber daya alam yang telah terbukti gagal melindungi keselamatan publik.
Keputusan moratorium tidak hanya berkaitan dengan kebijakan lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk pemenuhan kewajiban HAM oleh negara (selaku duty bearer dalam HAM).
Setiap izin baru yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial berarti negara secara sadar menambah potensi ancaman terhadap warga.
Evaluasi atas semua izin—baik di sektor tambang, perkebunan, maupun energi—harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang ketat, transparansi, dan pelibatan masyarakat terdampak.
Tanpa proses ini, negara hanya akan mengulang pola pembangunan yang menempatkan warga sebagai korban ketika bencana datang.
Moratorium konsesi merupakan syarat awal menuju taubat ekologis yang sesungguhnya. Taubat ekologis tidak akan bermakna jika kerusakan terus diproduksi melalui ekspansi industri ekstraktif.
Pemulihan ekosistem, rehabilitasi hutan, serta penguatan wilayah resapan hanya mungkin terjadi apabila laju kerusakan dihentikan terlebih dahulu.
Maka, moratorium bukan sekadar kebijakan darurat, tetapi langkah struktural untuk memutus siklus bencana dan memastikan bahwa hak hidup generasi sekarang maupun generasi mendatang tidak terus dikorbankan oleh kebijakan yang berpihak pada eksploitasi tanpa batas.