Munafik Ekologis
BAIK secara individu maupun institusi, kita semangat berbicara tentang kepedulian pada bumi, tapi tindakan kita justru merusaknya.
Kita ramai-ramai meluncurkan slogan hijau, kampanye ramah lingkungan, dan keberlanjutan, tetapi hanya secara formal.
Berbagai perusahaan menulis “green commitment”, tapi limbahnya tetap mencemari sungai. Birokrat memberi ceramah tentang kelestarian, tetapi tetap saja menandatangani izin eksploitasi yang merusak daerah resapan air.
Dalil “kebersihan bagian dari keimanan” kita baca, tapi tidak merasa dosa besar ketika melemparkan kantong plastik berisi sampah ke sungai.
Kita diberi amanah ekologis oleh Tuhan, tapi kita khianat. Amanah ekologis hadir dalam bentuk hutan yang harus dijaga, pesisir yang harus ditata, udara yang harus dipelihara, dan ruang hidup yang harus dilindungi.
Namun, kita mengubah amanah menjadi komoditas. Kita menukar mata air dengan tambang, mengorbankan hutan demi keuntungan cepat, atau membiarkan tata ruang dilanggar oleh kekuatan modal.
Kita berjanji kepada alam akan merehabilitasinya, tapi selalu ingkar. Rencana pengendalian banjir tidak pernah selesai, janji energi bersih hanya berhenti pada konferensi.
Program rehabilitasi mangrove ditunda. Komitmen ekologis hanya kosmetik, bukan kehendak moral.
Itulah yang saya maksud dengan munafik ekologis, yang diambil dari ajaran spiritual agama yang menunjuk tanda munafik dengan tiga ciri: apabila bicara berdusta, apabila diberi amanah dikhianati, dan apabila berjanji tidak ditepati. Munafik ekologis adalah perilaku aktif merusak alam sambil mengaku melindungi.
Perlu akidah eksploitasi
Tidak ada yang salah dengan pemanfaatan alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Alam memang disediakan Tuhan sebagai sumber kehidupan. Pangan untuk perut, air untuk menjaga tubuh, dan energi untuk menggerakkan peradaban.
Sejak manusia pertama diciptakan, pemanfaatan alam adalah bagian dari takdir dan tugasnya. Namun, kesalahan besar dimulai ketika manusia mereduksi alam hanya sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai amanah Ilahi yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Sehubungan dengan itu, perlu ada teologi eksploitasi alam sebagai pijakan akidah lingkungan. Bahasa teknisnya adalah ekoteologis.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11). Ekoteologis mengajarkan bahwa kita boleh mengambil, tetapi tidak boleh merusak. Boleh memanfaatkan, tetapi wajib menjaga keseimbangan.
Ketika alam dikeruk tanpa batas, tanpa nilai, dan tanpa kesadaran spiritual, kita sesungguhnya sedang menggali liang kuburnya sendiri. Bahkan, eksploitasi alam tanpa moral bukan hanya penghancuran lingkungan, tapi juga bunuh diri peradaban.
Alam yang dijarah akan berhenti memberi. Sungai yang dikotori tidak lagi mengalirkan kehidupan. Tanah yang terus dieksploitasi tanpa pemulihan akan kehilangan daya tumbuh.
Iklim yang dirusak akan mengirimkan badai, kekeringan, banjir, dan bencana yang menghantam balik kita. Terjadilah ironi, kita merusak alam untuk hidup, tetapi malah mati oleh kerusakan yang kita ciptakan.
Ekoteologis menegaskan bahwa hubungan manusia dengan alam bukan relasi predator dan mangsa, tetapi relasi penjaga dan amanah.
Kita diajari agar menahan diri dari kerakusan. Betul, kebutuhan perut harus dipenuhi, tetapi tidak boleh mengorbankan masa depan generasi.
Mengambil tanpa memulihkan adalah bentuk keserakahan yang bertentangan dengan akidah lingkungan (ekoteologis).
Alam bukan hanya sarana hidup, tetapi juga cermin keimanan. Cara kita memperlakukan bumi menunjukkan kualitas iman kita.
Jika kita mengambil manfaat alam dengan penuh kesadaran dan mengembalikan keseimbangannya, kita menegakkan iman tertinggi.
Namun, bila kita merusak alam, malah sambil mengeluh tentang bencana, hakikatnya kita sedang meratap di depan pintu kehancuran yang dirancang oleh tangan sendiri.
Setiap kerusakan ekologis sesungguhnya adalah cerminan keretakan spiritual kita yang sangat parah.
Hutan yang dibakar adalah tanda bahwa iman kita ikut terbakar. Sungai yang dicemari dan menjadi keruh menunjukkan bahwa akidah kita turut keruh. Kita bukan sekadar berkomitmen memulihkan alam, tapi juga jiwa.
Eksploitasi tanpa komitmen akidah lingkungan adalah kepunahan yang dipercepat. Sebaliknya, pemanfaatan yang berlandaskan amanah adalah kemakmuran panjang yang diberkahi.
Kita hanya dapat bertahan jika menjaga “rumah besar” kita bersama. Bumi hanya akan terus memberi jika kita memperlakukannya sebagaimana amanah yang dititipkan Tuhan. Dimakmurkan, dijaga, dan dipulihkan.
Ketika kita mengaku beriman, tetapi membiarkan hutan dibakar adalah kemunafikan ekologis paling nyata. Mengaku mencintai tanah air, tetapi membiarkan banjir menjadi tradisi tahunan adalah kerusakan moral.
Inilah saatnya kita mengambil sikap. Saatnya kita mengangkat suara lebih keras daripada mesin-mesin yang menebang pohon-pohon di hutan.
Saatnya berhenti memuja pertumbuhan ekonomi buta yang hanya menghasilkan puing-puing rumah penduduk yang disapu banjir bandang.
Kita jangan mengambil lebih dari yang bumi dapat pulihkan dan jangan meninggalkan kerusakan lebih besar daripada manfaat yang kita berikan.
Kita berhenti pada retorika. Sebagai masyarakat religius kita harus yakin bahwa menanam sebagai ibadah, melindungi lingkungan sebagai syukur, merusak alam sebagai dosa besar yang tidak mudah ditobati, dan menolak kehancuran sebagai puncak dari tauhid.