Korupsi dan Integritas ''Tusuk Sate''
Terdakwa kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, Zarof Ricar (kedua kiri) berjalan keluar usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/5/2025). Jaksa Penuntut Umum menuntut mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dengan pidana penjara 20 tahun dan membayar denda sebesar Rp1 miliar, Ibunda Gregorius Ronald Tannur Meirizka Widjaja pidana penjara empat tahun dan membayar denda Rp750 juta, dan pengacara Gregorius Ronald Tannur Lisa Rachm
08:18
30 Juni 2025

Korupsi dan Integritas ''Tusuk Sate''

KORUPSI adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena kekuatan merusak secara luas terhadap kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan hukum.

Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melahirkan ketidakadilan, melemahkan institusi pemerintahan, dan menghambat pembangunan.

Karenanya, korupsi diletakkan sebagai musuh bersama yang harus ditumpas secara extra ordinary.

Upaya memberantas korupsi membutuhkan institusi peradilan formal dan penegak hukum yang berwibawa dan berintegritas.

Sayangnya, di tengah barisan penegak hukum, masih terdapat oknum penegak hukum dan keadilan yang menjeratkan diri dalam tindakan penyuapan dan korupsi.

 

Tindakan yang mencoreng wajah aparat juga melemahkan kredibilitas lembaga peradilan sebagai penangkal korupsi. Ironi itu kemudian dikait-kaitkan dengan kecilnya gaji aparatur penegak hukum.

Korupsi dan gaji

Situasi tersebut memunculkan janji kenaikan gaji hakim hingga 280 persen. Kenaikan angka yang fantastis dan patut didambakan semua orang.

Tersebar luas alasan yang mendasari angka kenaikan gaji hingga 280 persen. Angka tersebut merepresentasikan pandangan bahwa praktik korupsi yang dilakukan aparat terjadi karena gaji yang kecil.

Janji kebijakan kenaikan gaji diletakkan sebagai jalan cepat mencegah korupsi para oknum hakim dan aparat penegak hukum lainnya. Dalam logika sederhana terlihat bahwa kebijakan itu realistis dan masuk akal.

Namun, tindakan korupsi bukan sekadar perkara gaji kecil sehingga pelaku tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Tindakan korupsi disebabkan berbagai faktor jamak, yaitu keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan korupsi (exposures) (Bologna et al, 1993).

Keserakahan mendorong pelaku berhasrat mengambil sebanyak-banyaknya, bahkan mengambil semua yang bukan haknya. Kesempatan bisa berhubungan dengan kewenangan, peluang akses, dan mekanisme kontrol yang lemah.

Tindakan korupsi juga bisa dipicu oleh tekanan kebutuhan. Namun, banyak kasus memperlihatkan bahwa korupsi bukan semata karena tekanan kebutuhan yang melilit pelaku.

Kebutuhan hanya menjadi kedok yang telah bertali-temali dengan sikap mental tidak pernah merasa cukup dan tidak pernah puas.

Cara-cara pengungkapan korupsi dan hukuman yang rendah kepada pelaku korupsi turut memicu tindakan korupsi.

Hukuman yang ringan dan sikap permisif masyarakat terhadap pelaku korupsi tidak memberi efek jera terhadap pelaku korupsi.

Gambaran di atas memberi rasionalitas atas janji kebijakan kenaikan gaji demi memenuhi kebutuhan (needs).

Namun beberapa pandangan melihat upaya menaikkan gaji sulit mengatasi masalah korupsi di kalangan aparat.

Dalam perspektik politik ekologi, misalnya, tindakan menumpuk kekayaan dan mengambil sumber daya secara berlebihan bukan karena jerat kemiskinan dan kebutuhan yang mendesak.

Orang menjadi rakus dan bernapsu mengambil sebanyak-banyaknya terutama karena keleluasaan peluang mengakses sumber daya, ketimpangan kebijakan, dan ketidakadilan pengelolaan sumber daya.

 

Dengan demikian, logika kenaikan gaji untuk mencegah tidakan korupsi para hakim memang masuk akal pada tataran permukaan, tapi tidak menyentuh persoalan mendasar.

Korupsi dan integritas

Banyak kasus hukum korupsi justru menunjukkan bahwa tindakan korupsi kerap bukan akibat kekurangan, melainkan akibat kerakusan, lemahnya sistem pengawasan, dan rapuhnya integritas pelaku.

Kasus pejabat (cq. hakim) yang terjerat korupsi justru ketika mereka berada pada puncak karier dan penghasilan serta memiliki kewenangan yang luas.

Pelaku pencaplok sumber daya justru terjadi ketika mereka memiliki kemudahan akses terhadap kebijakan dan berada pada kemampuan tertinggi untuk membeli apa saja yang mereka inginkan.

Dengan demikian, patut dikawal jangan sampai kenaikan gaji ke angka 280 persen justru meninggikan gaya hidup dan melipatgandakan kebutuhan membiayai gaya hidup baru.

Situasi yang bisa terus membuka ruang korupsi dan mendongkrak daya tawar transaksi korupsi yang makin tinggi dan menggila.

Kita patut mengapresiasi kebijakan kenaikan gaji aparat penegak hukum sebagai bentuk apresiasi pemenuhan hak aparatur.

Namun kebijakan kenaikan gaji harus berjalan simultan dengan penguatan integritas aparat penegak hukum.

 

Integritas tidak bisa digadaikan dengan slip gaji yang besar. Ia lahir dari proses pembentukan karakter yang konsisten.

Membangun integritas berkarakter tidak cukup ditempuh melalui mekanisme formalitas untuk sekadar meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan beracara yang berujung pada lembaran pakta integritas.

Kita membutuhkan proses konstruksi intergritas berbasis karakter berisi nilai kejujuran, sikap dan rasa bersyukur, tanggung jawab, nilai kesederhanaan, dan tanggung jawab diri kepada Sang Maha Pencipta.

Nilai-nilai itu harus terus bekerja dan menuntun para hakim menghalau ketamakan, godaan gaya hidup, dan kesempatan yang menjerumuskan.

Diperlukan proses kualitatif yang panjang dan konsisten dari dalam diri, lingkungan keluarga inti/luas, dan komunitas pada lapis terdekat, untuk memupuk dan merawat nilai keutamaan.

Diperlukan mekanisme otentik melalui pergumulan, doa, refleksi, dan sikap bersyukur, hingga melahirkan penegak hukum berintegritas.

Gambaran betapa besar tanggung jawab para hakim dalam menjalankan peradilan kasus hukum korupsi mengingatkan analogi “integritas tusuk sate” yang disetir Stephen Covey terkait ikhtiar membangun kebiasaan baik berbasis etika karakter (Covey, 2004).

Analogi sate selalu melukiskan potongan daging terpilih yang tetap konsisten berbaris tegak lurus ditusuk bilah bambu. Ia bergeming meski diletakkan di atas bara api. Ia baru mulai dilepaskan ketika naik ke meja perjamuan.

Secara simbolik, bilah bambu adalah prinsip dan basis nilai karakter yang dijadikan acuan/pegangan.

Potongan daging terpilih yang tetap tegak lurus pada bilah bambu adalah gambaran sosok yang tidak tergiur godaan melepaskan diri demi kepuasan dirinya. Ia tetap konsisten tegak lurus meski dihadang godaan dan tekanan.

Akhirnya, nikmat sate di meja hidangan adalah gambaran keadilan penegakan kasus hukum korupsi dan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang hanya bisa lahir dari hakim/aparatur yang berintegritas.

Hakim/aparatur yang memiliki prinsip yang kuat dan konsisten antara pikiran dan perkataan yang dibuktikan dalam tindakan.

Tag:  #korupsi #integritas #tusuk #sate

KOMENTAR