



Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, antara Menjawab Kerumitan dan Paradoks MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisah jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional dan daerah mulai 2029 mendapatkan sambutan beragam.
Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Putusan MK ini mengubah sistem keserentakan pemilu yang sudah berlangsung sejak tahun 2019 di mana pemilih mencoblos calon presiden, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam satu hari.
MK mengusulkan agar Pilkada dan Pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
Menjawab kerumitan
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai penggugat uji materi UU Pemilu tersebut menyambut baik putusan MK yang dinilai menjawab masalah fundamental penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia.
"Bagi kami, ini adalah putusan yang sangat penting untuk menjawab masalah fundamental kerumitan dari penyelenggaraan pemilu kita," kata Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil, dalam Diskusi Perludem Putusan MK Pemilu 2029 yang digelar secara daring, Jumat (27/6/2025).
Fadli menyebut beban kerja yang lebih tinggi menyebabkan ratusan petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan akibat pemilu serentak pada 2019 dan 2024.
"Di pemilu 2019, misalnya, itu ada 800 lebih KPPS yang meninggal dunia, dan peristiwa yang sama juga berulang di 2024, meskipun dengan jumlah yang tidak terlalu banyak," ujar Fadli.
Menurutnya, manajemen penyelenggaraan pemilu, apalagi yang berhimpitan dengan tahapan Pilkada, membuat beban semakin tidak rasional.
Karena itu, Fadli berharap pemisahan pelaksanaan pemilu nasional-lokal dapat menjaga kualitas kedaulatan rakyat serta merasionalisasi beban kerja dan manajemen penyelenggara pemilu.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin mengamini bahwa putusan MK itu bakal meringankan beban KPU. Afifuddin beralasan, desain pemilu nasional dan daerah yang sebelumnya beririsan bahkan bersamaan membuat KPU harus bekerja sangat keras.
"Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra," kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025), dikutip dari Antara.
Paradoks
Sementara KPU dan Perludem menyambut baik putusan MK, suara miring justru datang dari Senayan, tempat DPR berkantor.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Muhammad Khozin, menilai putusan MK kali ini bersifat paradoks.
Sebab, MK sebelumnya telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020 yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu.
"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu, tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks," ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
Khozin menegaskan, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," kata Khozin.
Menurut dia, pertimbangan hukum putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.
Senada, anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Ahmad Irawan menilai putusan MK itu terlalu jauh memasuki ranah kewenangan legislatif.
Menurut Irawan, keputusan MK tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk menentukan tindak lanjut yang tepat, apakah cukup dengan merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, atau bahkan perlu mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945.
"Secara highlight saya baca putusan tersebut, MK jauh memasuki ranah legislatif. Sehingga masih perlu kami pelajari apakah tindak lanjut dari putusan MK tersebut cukup dengan dilakukan revisi undang-undang atau lebih jauh dari itu harus dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945," ujar Irawan saat dihubungi, Jumat (27/6/2025).
"Jalan untuk melakukan penataan secara komprehensif dan konstitusional. Berbeda dengan yang dilakukan oleh MK selama ini yang sifatnya kasuistik dan parsial. Apalagi pendapat MK sendiri juga sering berubah-ubah," kata Irawan.
Dia mengingatkan bahwa sistem pemilu dan pemerintahan sebaiknya tidak dibangun dengan pendekatan “tambal sulam” aturan, karena semuanya saling berkaitan satu sama lain.
Oleh sebab itu, ia berpandangan, amendemen bisa menjadi langkah untuk menata ulang sistem pemerintahan secara menyeluruh dan sesuai konstitusi, berbeda dengan pendekatan MK yang selama ini dinilai bersifat parsial.
Kualitas meningkat
Kepala Badan Riset dan Inovasi Strategis (BRAINS) DPP Partai Demokrat, Ahmad Khoirul Umam, menilai putusan MK ini akan meningkatkan kualitas kontestasi di tingkat lokal.
Menurutnya, fokus pemilih, partai politik, dan kontestan tidak terpecah oleh pemilu nasional, terutama pilpres.
"Masyarakat bisa lebih fokus mengevaluasi dan memilih kepala daerah dan wakil rakyat di daerahnya, berdasarkan kebutuhan lokal, bukan sekadar ikut arus nasional. Karena itu, ini menuntut inovasi kelembagaan partai dan pendekatan yang lebih adaptif terhadap aspirasi masyarakat akar rumput di berbagai daerah," ujar Umam lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
Umam juga menambahkan bahwa pisahnya pemilu nasional dan daerah dapat mengurangi kompleksitas pencoblosan lima surat suara.
Sebab, dalam Pemilu 2019 dan 2024, pemilih harus mencoblos lima surat suara dalam satu waktu, yakni untuk presiden/wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Ia juga menilai, dipisahnya pemilu nasional dan daerah juga memungkinkan kaderisasi partai yang lebih terstruktur.
"Partai bisa mengembangkan strategi berbeda untuk kandidat nasional dan lokal, dan memaksimalkan kaderisasi yang lebih spesifik dan berbasis kebutuhan daerah," ujar Umam.
Tag: #pemilu #nasional #daerah #dipisah #antara #menjawab #kerumitan #paradoks