Putusan MK yang Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Dinilai Paradoks
Ilustrasi pelaksanaan Pilkada 2024.(SHUTTERSTOCK/DEDE SUDIANA)
17:06
27 Juni 2025

Putusan MK yang Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Dinilai Paradoks

- Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dengan daerah.

Putusan tersebut dinilai paradoks, karena MK sebelumnya telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020 yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu.

"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu, tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks," ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).

Dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK mengusulkan enam opsi model keserentakan pemilu. Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/walikota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/walikota.

Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/walikota.

Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/walikota.

Terakhir, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.

Khozin menegaskan, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," tegas Khozin.

Dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

"Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.

Tag:  #putusan #yang #pisahkan #pemilu #nasional #daerah #dinilai #paradoks

KOMENTAR