



Mengembalikan Marwah Keadilan (Bagian II)
DALAM tradisi positivisme hukum, keadilan seringkali diidentifikasi dengan kepastian hukum. Putusan hakim dianggap adil jika ia secara ketat menerapkan norma-norma yang termaktub dalam undang-undang.
Hakim ibarat "corong undang-undang" (la bouche de la loi), tugasnya hanya mendeklamasikan apa yang tertulis.
Namun, realitas lebih kompleks. Putusan yang "legal" di mata positivis seringkali terasa "tidak adil" di mata masyarakat. Di sinilah sosiologi hukum menawarkan lensa yang lebih tajam.
Teori ini menekankan bahwa hukum tidak hidup dalam ruang hampa; ia adalah produk sosial yang merefleksikan nilai-nilai, norma, dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat.
Ketika putusan hakim jauh dari keadilan, sosiologi hukum akan mempertanyakan: apakah ada kesenjangan antara hukum dalam buku (law in books) dan hukum dalam tindakan (law in action)?
Apakah hakim terlalu terpaku pada positivisme kaku, sehingga mengabaikan "living law" atau rasa keadilan yang berdenyut di masyarakat?
Misalnya, Pasal 183 KUHAP secara normatif menuntut dua alat bukti dan keyakinan hakim. Positivisme akan fokus pada terpenuhinya syarat formal alat bukti.
Sebuah putusan yang secara formal memenuhi syarat Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, tetapi secara substansial melukai rasa keadilan masyarakat (misalnya, pelaku kejahatan kerah putih lolos dengan hukuman ringan, padahal merugikan banyak orang), menunjukkan disonansi antara hukum positif dan keadilan sosial.
Di sini, hakim mungkin telah menjadi korban—atau pelaku—dari sistem yang mengedepankan formalitas di atas substansi.
Perspektif teori kritis dan hukum alam
Putusan hakim yang jauh dari keadilan seringkali tidak terlepas dari interaksi kompleks antara kekuasaan dan moralitas. Di sinilah teori hukum kritis (Critical Legal Studies) memberikan analisis yang menusuk.
Teori ini berargumen bahwa hukum tidak netral. Ia seringkali menjadi alat bagi kelompok dominan untuk mempertahankan status quo dan kepentingannya.
Putusan yang tidak adil, menurut perspektif ini, bukanlah anomali, melainkan bisa jadi manifestasi dari struktur kekuasaan yang timpang dalam sistem peradilan itu sendiri.
Misalnya, seorang hakim yang disuap untuk memenangkan perkara tertentu atau dijebak oleh kekuatan politik agar memutus sesuai agenda.
Dalam kasus seperti ini, asas independensi hakim yang diagung-agungkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 UUD 1945) hanya menjadi utopia.
Secara teoritis, independensi hakim adalah benteng keadilan dan prasyarat trias politica. Namun, teori kritis akan mempertanyakan: apakah independensi itu benar-benar ada di tengah cengkeraman oligarki, korupsi, dan intervensi politik?
Bukankah justru seringkali "independensi" itu dipakai sebagai tameng untuk menjustifikasi putusan yang melayani kepentingan segelintir orang?
Bersamaan dengan itu, teori hukum alam mengingatkan kita pada dimensi moralitas dan etika yang lebih tinggi.
Teori ini percaya bahwa ada prinsip-prinsip keadilan universal yang harus dipegang teguh, bahkan di atas hukum positif.
Ketika hakim membuat putusan yang secara terang-terangan melanggar rasa kemanusiaan atau keadilan dasar, mereka melanggar prinsip hukum untuk "menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat" (Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).
Keyakinan hakim, sebagaimana diamanatkan Pasal 183 KUHAP, seharusnya tidak hanya berbasis bukti formal, tetapi juga pada keyakinan moral akan kebenaran dan keadilan substantif.
Bukankah putusan hakim terikat pada frasa Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?
Hati nurani filter keadilan substantif
Menentukan kualifikasi perbuatan dan unsur pidana menjadi tugas hakim in concreto, apakah perbuatan yang terbukti merupakan perbuatan menyalagunakan wewenang, memperkaya diri sendiri atau orang lain?
Apakah unsur "niat jahat" (mens rea) benar-benar terbukti pada diri terdakwa?
Keyakinan hakimlah yang akan mengisi ruang-ruang abu-abu ini. Hakim akan menimbang setiap petunjuk, setiap keterangan untuk membentuk keyakinan tentang kualifikasi hukum yang paling tepat untuk perbuatan terdakwa.
Keyakinan hakim berfungsi menghubungkan fakta-fakta yang terbukti dengan unsur-unsur delik yang tercantum dalam undang-undang.
Jika hakim tidak yakin salah satu unsur delik terpenuhi berdasarkan bukti, maka ia tidak dapat mengkualifikasikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana yang didakwakan.
Ada kalanya, bukti dan pasal-pasal hukum secara logis mengarahkan pada kesimpulan, tapi kesimpulan itu terasa "tidak adil" di hati nurani hakim.
Mungkin kasus pencurian kecil oleh orang miskin yang kelaparan, atau pelanggaran hukum yang dilakukan dalam kondisi terpaksa.
Dalam konteks ini, keyakinan hakim yang melibatkan hati nurani (sebagai perwujudan dari "nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat" — Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman) dapat memengaruhi putusan dalam hal pemidanaan (misalnya, menjatuhkan pidana seminimal mungkin) atau bahkan penerapan pasal (memilih pasal yang lebih ringan jika memungkinkan).
Pada Analisis Teoritis hal ini adalah perjumpaan antara positivisme hukum dan hukum alam (natural law).
Meskipun terikat pada hukum positif, hati nurani hakim yang murni akan selalu mencari keadilan yang lebih tinggi. Ini adalah ruang bagi terbentuknya diskresi yudisial yang bertujuan mulia, mencegah putusan yang kaku dan tidak berperikemanusiaan.
Tentu, ini adalah area sensitif yang menuntut integritas tinggi, agar diskresi tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan.
Keyakinan yang adil adalah keyakinan yang seimbang antara lex lata (hukum yang ada) dan lex ferenda (hukum yang seharusnya).
Meskipun fundamental, keyakinan hakim bukanlah pedang bermata satu, pengaruhnya bisa menjadi bumerang jika, pertama, keyakinan terkontaminasi bias. Jika hakim memiliki bias pribadi, prasangka rasial, gender, sosial, atau agama, keyakinannya dapat terdistorsi.
Ia mungkin hanya melihat bukti yang mendukung prasangkanya, mengabaikan yang lain.
Kedua, keyakinan dibentuk oleh tekanan. Intervensi politik, suap, atau ancaman dapat memaksa hakim untuk "membentuk" keyakinan yang tidak otentik, memutarbalikkan fakta demi kepentingan tertentu.
Di sinilah independensi hakim diuji; keyakinan yang tulus hanya bisa ada dalam lingkungan yang bebas tekanan.
Ketiga, keyakinan tanpa dasar rasional. Meskipun ada unsur subjektif, keyakinan hakim haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keyakinan yang muncul dari "bisikan gaib" atau "perasaan" tanpa dukungan bukti yang memadai adalah berbahaya dan mengarah pada putusan yang sewenang-wenang.
Pada akhirnya, bagaimana keyakinan hakim memengaruhi putusan adalah cerminan langsung dari integritas dan kompetensi hakim itu sendiri.
Keyakinan yang bersih, tulus, dan berbasis rasionalitas ilmiah adalah kunci untuk putusan yang adil.
Ia adalah api yang membakar jiwa hakim, menerangi jalan di tengah kegelapan keraguan, dan pada akhirnya, menentukan apakah keadilan akan benar-benar terwujud dalam setiap putusan yang diketuknya.
Mengingat Frasa Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, harus merupakan petujuk spiritual bagi hakim untuk menarik benang merah dari perbuatan pidana, fakta hukum, dan keadilan masyarakat.