Menata Ulang Uji Kompetensi Dokter Sesuai UU Kesehatan
Ilustrasi dokter(KOMPAS.COM/Pexels/Anna Tarazevich)
13:26
25 Juni 2025

Menata Ulang Uji Kompetensi Dokter Sesuai UU Kesehatan

SALAH satu pilar penting dalam penataan ulang sistem kesehatan Indonesia pascadisahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah pelaksanaan Uji Kompetensi Nasional (UKOMNAS) secara konstitusional, adil, dan sesuai kerangka akademik.

Namun hingga pertengahan 2025, amanat Pasal 213 UU tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan.

Pasal tersebut secara tegas menyebut bahwa UKOMNAS diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan Kolegium, bukan lembaga eksternal seperti Panitia Nasional yang dibentuk kementerian sebelumnya.

Sayangnya, hingga kini pelaksanaan UKOM masih dijalankan oleh PNUK dan AIPKI di bawah koordinasi Kemendiksaintek, sebagaimana praktik lama saat UU Pendidikan Kedokteran masih berlaku—padahal UU tersebut telah resmi dicabut.

Konsekuensinya sangat nyata. Lebih dari 3.000 calon dokter, yang telah menyelesaikan beban pembelajaran dan memenuhi IPK minimal, tidak kunjung memperoleh ijazah dan sertifikat profesi.

Mereka disebut “retaker”—lulusan yang telah berkali-kali mengikuti ujian nasional, bahkan sampai 20 kali, tapi belum lulus. Padahal, mereka telah diakui secara akademik sebagai peserta uji kompetensi nasional oleh institusi pendidikan tinggi masing-masing.

Situasi ini menimbulkan tekanan psikologis, beban ekonomi, dan ketidakpastian hukum yang nyata.

Sebagian retaker harus membayar biaya per semester hingga puluhan juta rupiah, padahal mereka tidak lagi menjalani aktivitas akademik formal.

Ironisnya, mereka kini juga terancam kehilangan Nomor Ijazah dan Sertifikat Nasional (PIN/NIRL) karena dianggap melebihi batas masa studi lima tahun.

Padahal, keberadaan mereka di pangkalan data pendidikan tinggi (PDDikti) dan pengakuan akademik sebelumnya menunjukkan bahwa studi mereka telah selesai sesuai regulasi.

Ketimpangan ini bertentangan dengan prinsip dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa mahasiswa profesi dinyatakan lulus jika menyelesaikan seluruh beban pembelajaran dengan capaian IPK minimal 3,00.

Seharusnya, setelah lulus akademik, uji kompetensi berfungsi sebagai asesmen profesional, bukan penentu kelulusan akademik seperti pada konsep exit exam yang sudah tidak relevan dalam UU Kesehatan.

Dari sisi regulasi, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 telah memandatkan perlunya Standar Prosedur Operasional (SPO) UKOMNAS untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Kementerian Kesehatan telah menyelesaikan draft SPO sesuai amanat Pasal 591 PP tersebut.

 

Namun hingga kini, kesepakatan final dengan Kemendikbudristek belum tercapai, sehingga UKOMNAS sesuai UU Kesehatan belum juga bisa berjalan.

Penundaan ini menimbulkan kekhawatiran. Jika hingga Agustus 2025—dua tahun sejak UU Kesehatan disahkan—pelaksanaan UKOMNAS belum sesuai amanat undang-undang, maka kredibilitas reformasi sistem kesehatan kita layak dipertanyakan.

Pemerintah tidak boleh membiarkan tarik-ulur administratif menghambat kepastian hukum dan nasib ribuan calon dokter yang telah menyelesaikan hak akademiknya.

Beberapa langkah solutif bisa segera ditempuh:

Pertama, penetapan SPO UKOMNAS secara resmi oleh dua kementerian, sebagai dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi yang sah dan akuntabel.

Kedua, penandatanganan nota kesepahaman antara Kolegium dan semua fakultas kedokteran, agar pelaksanaan UKOM dilakukan bersama sebagaimana amanat UU.

Ketiga, program penguatan kompetensi selama 3 bulan bagi para retaker sebelum mengikuti UKOMNAS kembali, sebagai bentuk jembatan akademik dan perlindungan mutu.

Keempat, pengakuan hak akademik dan pencabutan kebijakan penghapusan nomor ijazah bagi retaker, karena mereka telah menyelesaikan proses pendidikan sesuai standar.

Kelima, penetapan batas retake yang adil dan berbasis remediasi, misalnya maksimal 10 kali dengan syarat mengikuti program penguatan terlebih dahulu.

Uji kompetensi tidak boleh menjadi alat penyaringan administratif yang mengorbankan masa depan generasi dokter Indonesia.

Ia harus menjadi cermin kualitas dan integritas profesi, bukan sekadar ujian penghambat.

Pemerintah perlu hadir, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjamin keadilan akademik dan pembela masa depan anak bangsa.

Menegakkan Pasal 213 UU Kesehatan adalah soal marwah hukum, mutu profesi, dan keadilan antargenerasi. Jangan biarkan 3.000 calon dokter terus berada dalam ketidakpastian akibat tarik-menarik birokrasi yang berkepanjangan.

Tag:  #menata #ulang #kompetensi #dokter #sesuai #kesehatan

KOMENTAR