



Transformasi Pemuliaan Tanaman Buah: BRIN Dorong Inovasi untuk Hadapi Krisis Pangan dan Iklim
Perubahan iklim yang semakin nyata serta meningkatnya kebutuhan pangan menuntut dunia pertanian untuk bergerak lebih cepat dan adaptif.
Di tengah tantangan ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan pendekatan baru untuk mempercepat pemuliaan tanaman buah agar lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dan memenuhi kebutuhan pasar.
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Hortikultura BRIN, Mia Kosmiatin, menjelaskan bahwa metode speed breeding menjadi salah satu solusi menjanjikan. Melalui pernyataan resminya di Jakarta, Senin, Mia memaparkan bahwa speed breeding adalah teknik mempercepat siklus generatif tanaman dengan memanipulasi lingkungan tumbuh secara terkendali.
“Percepatan pemuliaan tanaman buah sangat krusial, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan peningkatan kebutuhan pangan,” ujarnya.

Dalam praktiknya, pemuliaan konvensional pada tanaman buah, terutama yang berkayu, masih menghadapi banyak kendala. Mia menyoroti sifat biologis tanaman buah yang kompleks, seperti penyerbukan silang, tingkat heterozigositas yang tinggi, serta bentuk reproduksi khusus seperti apomiksis dan poliembrioni.
Selain itu, banyak tanaman buah yang diperbanyak secara klonal, yang pada akhirnya mempersempit keragaman genetik.
“Karena itu teknologi nonkonvensional menjadi sangat penting,” kata Mia menegaskan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, BRIN telah mengembangkan berbagai teknik pemuliaan mutakhir. Di antaranya adalah embriogenesis somatik, embryo rescue, mutagenesis dan seleksi in-vitro, poliploidisasi, fusi protoplas, hingga teknologi pengeditan genom berbasis CRISPR-Cas9.
Pada tanaman jeruk, misalnya, BRIN telah berhasil mengedit gen callose synthase guna meningkatkan ketahanan terhadap penyakit HLB/CVPD. Sementara itu, pada apel, pengeditan ditujukan pada gen Ma1 yang berperan mengatur kadar asam dan rasa buah.
“Embriogenesis somatik juga telah berhasil diterapkan pada berbagai buah tropis seperti mangga, jeruk, kelengkeng, jambu, dan durian. Semua ini menunjukkan bahwa kita telah berada pada jalur transformasi yang tepat,” ungkap Mia.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Mia menekankan pentingnya sinergi antara riset dasar, penerapan teknologi maju, dan pelestarian serta pemanfaatan sumber daya genetik lokal. Kolaborasi ini, menurutnya, menjadi kunci untuk menciptakan varietas buah yang unggul, adaptif, dan mampu bersaing di pasar global.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Puji Lestari, juga menyoroti hal serupa. Ia menyatakan bahwa transformasi pemuliaan tanaman buah harus melibatkan penerapan teknologi nonkonvensional sebagai langkah mendesak.
“Diperlukan solusi terintegrasi dari hulu sampai hilir, mulai dari pemuliaan hingga pascapanen, agar buah Indonesia mampu bersaing di pasar global,” tutur Puji.
Transformasi ini bukan sekadar lompatan teknologi, melainkan upaya bersama untuk menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Sebab di tengah krisis iklim dan tekanan ekonomi, inovasi di sektor pertanian menjadi harapan yang tak boleh ditunda.
Berikut adalah versi penjelasan tanpa emoji, dengan gaya tulisan jurnalistik populer yang informatif, terstruktur, dan rapi:
Mengenal Speed Breeding
Speed breeding, atau pemuliaan tanaman secara dipercepat, merupakan pendekatan inovatif dalam ilmu tanaman untuk menghasilkan varietas unggul dalam waktu yang jauh lebih singkat dibanding metode konvensional. Teknik ini lahir dari kebutuhan ekstrem: menanam tanaman di luar angkasa.
Konsep speed breeding pertama kali dikembangkan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada 1980-an melalui program Controlled Ecological Life Support System (CELSS). Program ini bertujuan menciptakan sistem pertanian yang efisien dan berkelanjutan di luar angkasa, di mana sumber daya sangat terbatas.
Pada 1992, tim peneliti NASA di bawah pimpinan Dr. Gary Stutte berhasil mempercepat pertumbuhan tanaman gandum dengan memperpanjang durasi pencahayaan. Eksperimen ini membuktikan bahwa manipulasi lingkungan tumbuh, khususnya fotoperiode, dapat mempersingkat siklus hidup tanaman.
Penerapan Terestrial dan Tonggak Penting
Setelah keberhasilan di lingkungan antariksa, teknik ini mulai dilirik untuk kebutuhan pertanian di Bumi. Pada akhir 1990-an, para ilmuwan Australia mengadaptasi prinsip-prinsip speed breeding untuk tanaman pangan.
Dr. Lee Hickey dari University of Queensland menjadi salah satu pelopor yang mengembangkan protokol speed breeding di lingkungan laboratorium dan rumah kaca. Pada 2007, hasil penelitiannya menunjukkan keberhasilan signifikan pada tanaman gandum, membuka jalan bagi penerapan lebih luas pada berbagai spesies tanaman.
Speed breeding terus mengalami penyempurnaan. Antara 2010 hingga 2015, para peneliti mengembangkan spektrum dan intensitas cahaya yang disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis berbagai tanaman. Pada 2017, publikasi di jurnal Nature Plants menetapkan protokol standar untuk speed breeding, menjadikannya rujukan internasional.
Sejak 2018, teknik ini semakin terintegrasi dengan inovasi pemuliaan modern lainnya, seperti seleksi berbasis genom dan penyuntingan gen berbasis CRISPR-Cas9. Kolaborasi antar-disiplin ini mempercepat proses pengembangan varietas unggul yang tahan terhadap penyakit, memiliki hasil tinggi, dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Adopsi Global dan Dampaknya
Berbagai lembaga riset dan institusi pertanian di dunia mulai menerapkan speed breeding dalam program pemuliaan mereka. Di Eropa, John Innes Centre di Inggris menjadi pusat utama pengembangan teknik ini. Di Asia, IRRI (International Rice Research Institute) menggunakannya untuk mempercepat pemuliaan padi. Di Afrika, ICRISAT mengadopsi pendekatan ini untuk peningkatan produktivitas kacang-kacangan.
Speed breeding juga mulai diterapkan di Indonesia oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebagai bagian dari strategi memperkuat ketahanan pangan nasional.
Dalam konteks krisis iklim, degradasi lahan, dan peningkatan kebutuhan pangan global, speed breeding menawarkan solusi nyata. Ke depannya, tantangan yang perlu diatasi mencakup efisiensi energi dalam sistem pencahayaan, penurunan biaya operasional, dan pengembangan protokol untuk spesies tanaman tropis.
Selain itu, integrasi kecerdasan buatan dalam proses seleksi dan pengambilan keputusan diharapkan dapat semakin mempercepat dan menyempurnakan proses pemuliaan tanaman.
Perjalanan panjang speed breeding, dari eksperimen ruang angkasa hingga menjadi alat penting dalam pertanian modern, menunjukkan bagaimana inovasi ilmiah dapat menjawab tantangan besar peradaban.
Tag: #transformasi #pemuliaan #tanaman #buah #brin #dorong #inovasi #untuk #hadapi #krisis #pangan #iklim