Retret dan Batas Kewenangan
Kepala daerah peserta retret berbaris menuju area IPDN Kampus Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (22/6/2025).(Kompas.com/Faqih Rohman Syafei)
10:38
23 Juni 2025

Retret dan Batas Kewenangan

RETRET kepala daerah Jilid II yang digelar di IPDN Jatinangor pada 22–26 Juni 2025, kembali menguji cara negara membina relasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Menghadirkan 84 kepala daerah dari berbagai wilayah, forum ini diklaim sebagai bagian dari pembinaan, penyamaan visi, dan penguatan kapasitas dalam mendukung program nasional.

Namun, di tengah semangat otonomi daerah yang telah menjadi pilar utama reformasi sejak 1999, kegiatan retret ini layak ditelaah secara kritis.

Tidak hanya dalam hal bentuk dan substansi, tetapi juga dari sisi batas kewenangan pusat dalam membina pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Konstitusi dan relasi pusat–daerah

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara dibagi atas daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah.

Dalam ayat (4) dinyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kedudukan kepala daerah bukanlah perpanjangan tangan pemerintah pusat, melainkan pemegang mandat rakyat dalam sistem pemerintahan yang desentralistik.

Namun, konstitusi juga mengatur bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Norma ini menjadi dasar bagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 218 hingga 222, yang mengatur bentuk pembinaan, metode pengawasan, serta peran menteri dalam menjaga sinergi antarlevel pemerintahan.

Dua norma ini—otonomi daerah dan pembinaan oleh pusat—harus dijalankan secara seimbang. Keduanya tidak bertentangan, tetapi bila pembinaan melampaui proporsinya, maka relasi setara antara pusat dan daerah dapat berubah menjadi relasi subordinatif.

Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dalam hal ini, tanggung jawab utama mereka bukan kepada pemerintah pusat, melainkan kepada konstituen yang memilih. Relasi mereka dengan pemerintah pusat bersifat koordinatif, bukan hirarkis.

Ketika kepala daerah dikumpulkan dalam forum retret yang disusun secara terpusat, dengan format satu arah, jadwal ketat, dan simbolisme tinggi (termasuk seragam, protokol disiplin, dan materi tunggal), maka relasi tersebut dapat menyimpang dari prinsip otonomi.

Dalam banyak hal, forum retret menyerupai upaya konsolidasi vertikal. Di balik narasi pembinaan, terselip logika penyeragaman.

Ketika kepala daerah diarahkan untuk menyelaraskan narasi pembangunan dengan program pusat tanpa ruang reflektif, maka pembinaan berubah wajah menjadi pengarahan.

UU No. 23 Tahun 2014 memang memberikan ruang pembinaan kepada pemerintah pusat. Pasal 219 secara eksplisit menyebut bahwa pembinaan dilakukan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi.

Namun, dalam praktik pemerintahan modern, semua pembinaan harus memenuhi asas legalitas dan proporsionalitas.

Asas legalitas mengharuskan setiap tindakan pemerintahan memiliki dasar hukum yang jelas. Sementara asas proporsionalitas menuntut agar tindakan pemerintah tidak melebihi kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.

Ketika pembinaan dilakukan dalam bentuk forum tertutup, tanpa indikator terukur, serta beraroma instruksi politik, maka kita perlu bertanya: apakah bentuk itu masih dalam batas?

Pertanyaan ini penting diajukan untuk mencegah pembinaan berubah menjadi penyeragaman sikap. Kepala daerah bukan aparat birokrasi, melainkan aktor politik yang harus tetap independen dalam menjalankan mandatnya.

Demokrasi lokal dibangun dari hubungan langsung antara rakyat dan kepala daerah. Ketika kepala daerah merasa lebih bertanggung jawab kepada pemerintah pusat karena pembinaan, penghargaan, atau rotasi program pusat, maka hubungan dengan rakyat menjadi rapuh.

Retret yang terlalu sentralistik dapat menggerus demokrasi lokal. Kepala daerah akan cenderung bersikap loyal kepada pusat, bukan kepada warga.

 

Kritik terhadap kebijakan nasional bisa diredam karena khawatir berdampak pada relasi politik dan administrasi.

Dalam jangka panjang, hal ini mengancam prinsip checks and balances antara pusat dan daerah. Pembinaan yang tidak memahami batas justru menghasilkan kepala daerah yang teknokratis secara administratif, tetapi lemah secara representatif.

Gejala sentralisasi baru

Desentralisasi Indonesia yang dibangun pascareformasi mulai menunjukkan gejala kontradiktif. Di satu sisi, kewenangan daerah tetap dijamin. Namun di sisi lain, intervensi pusat dalam bentuk regulasi, anggaran, hingga pembinaan semakin meningkat.

Retret adalah contoh konkret. Ia mungkin sah secara hukum administratif, tetapi jika dilihat dalam konteks politik dan demokrasi, kegiatan semacam ini mengarah pada pembentukan barisan kekuasaan yang merentang dari pusat ke daerah.

Di situlah muncul tanda-tanda sentralisasi baru yang dilakukan secara simbolik dan bertahap.

Perlu diingat, reformasi justru dilahirkan dari keinginan untuk mengakhiri model sentralistik yang menutup ruang perbedaan dan inisiatif lokal.

Pembinaan terhadap kepala daerah tetap menjadi kebutuhan dalam sistem ketatanegaraan kita. Namun, pendekatan yang digunakan perlu diperbarui agar sejalan dengan prinsip otonomi, demokrasi lokal, dan keragaman konteks daerah.

Format retret yang tertutup, seragam, dan berorientasi satu arah tidak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas tantangan pemerintahan daerah saat ini.

Alternatif pembinaan dapat diarahkan ke format yang lebih terbuka dan dialogis. Pemerintah pusat sebaiknya mengundang kepala daerah dalam forum koordinasi yang mengedepankan pertukaran gagasan dan praktik baik, bukan hanya pengulangan materi dari atas ke bawah.

Dalam forum seperti ini, kepala daerah bisa saling belajar, saling memberi masukan, dan menyampaikan hambatan riil yang mereka hadapi dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kurikulum pembinaan juga perlu dirancang berdasarkan tipologi daerah. Wilayah kepulauan tentu berbeda kebutuhan pembinaannya dengan daerah metropolitan atau perbatasan.

Jika materi disamaratakan, maka yang terjadi bukan peningkatan kapasitas, melainkan pengulangan retorika yang menjauh dari kebutuhan di lapangan.

Selain itu, pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh dapat menjadi pelengkap yang efektif. Kepala daerah bisa mengakses materi secara fleksibel, kapan pun dibutuhkan, dengan penyesuaian terhadap agenda dan dinamika lokal yang mereka hadapi.

Dengan model pembinaan seperti ini, semangat koordinasi tetap terjaga, tetapi tidak mengorbankan prinsip desentralisasi dan peran substantif kepala daerah sebagai pemegang mandat rakyat.

Pemerintah pusat tetap menjalankan fungsi konstitusionalnya dalam membina dan mengawasi, tapi tidak dengan cara menundukkan, melainkan dengan memberdayakan.

Retret kepala daerah seharusnya tidak dimaknai semata sebagai kegiatan seremonial pembinaan. Ia adalah cermin dari cara negara memandang kepala daerah: sebagai mitra strategis yang setara, atau sekadar pelaksana kebijakan pusat.

Dalam negara demokrasi desentralistik, relasi tersebut harus dijaga. Pemerintah pusat memiliki fungsi pembinaan, tetapi kepala daerah tetap pemegang mandat rakyat.

Maka, pembinaan tidak boleh melewati batas. Karena jika itu terjadi, yang dikorbankan bukan hanya otonomi, tapi juga legitimasi demokrasi di tingkat lokal.

Batas itu perlu disadari, dihormati, dan dijaga—agar retret tidak menjadi alat kendali, tetapi ruang tumbuh bersama dalam semangat konstitusi.

Tag:  #retret #batas #kewenangan

KOMENTAR