



Pilkada ''Sayang Keluarga''
“TAK ada cinta yang lebih kuat dari cinta orangtua kepada anaknya,” demikian mungkin yang ingin dikatakan para kepala daerah yang mencalonkan anak-anak mereka atau bahkan pasangan mereka sebagai pengganti.
Namun di ranah demokrasi elektoral, cinta semacam ini dapat melahirkan ironi: kekuasaan diwariskan, bukan dipilih secara setara.
Pilkada “Sayang Anak” di Mahakam Ulu, Pilkada “Sayang Istri” di Pesawaran (Kompas, 17/6/2025) seolah menyodorkan kembali wajah lama politik lokal di Indonesia: dinasti yang dibungkus kesetiaan keluarga.
Di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, Bupati Bonifasius Belawan Geh mendorong anaknya, Angela Belawan, maju sebagai calon kepala daerah.
Di Pesawaran, Lampung, Bupati Dendi Ramadhona mengusung istrinya, Nanda Indira.
Menariknya, kedua gelaran Pilkada ini merupakan versi Pemungutan Suara Ulang (PSU), yang seharusnya menjadi evaluasi bagi Pilkada reguler di kedua Kabupaten.
Fenomena ini menyesakkan dan memperlihatkan bagaimana demokrasi lokal kian digerogoti ruh deliberatifnya dan mulai menyusut menjadi urusan warisan—layaknya bisnis keluarga.
Politik dinasti dan demokrasi yang rentan
Dalam kajian Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As’ad (2016), praktik dinasti politik didefinisikan sebagai “intergenerational transfer of power via electoral means” atau perpindahan kekuasaan antaranggota keluarga melalui mekanisme pemilu.
Di banyak daerah di Indonesia, ini bukan sekadar terjadi—tetapi sudah membentuk semacam sistem tersendiri.
Bahkan, di beberapa tempat, rakyat tak lagi heran. Pertanyaan yang muncul tak lagi siapa calon pemimpin terbaik, tetapi siapa “anak siapa” atau “istri siapa”. Pilu dan memalukan.
Mengapa dinasti politik tumbuh subur di daerah? Aspinall & As’ad (2016) dalam ulasan lain mencoba mengetengahkan bahwa lemahnya struktur partai politik, biaya politik yang tinggi, dan besarnya insentif kekuasaan di level lokal menjadi kombinasi nyaris sempurna bagi praktik pewarisan kekuasaan.
Pada situasi demikian, kepala daerah petahana punya keunggulan yang nyaris absolut: akses ke sumber daya, pengaruh terhadap birokrasi, serta kontrol terhadap elite lokal.
Manakala keluarga dijadikan perpanjangan tangan kekuasaan, maka demokrasi dipaksa menjelma menjadi sistem patronase tertutup.
Secara normatif, Konstitusi, UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah memuat prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).
Namun yang terjadi sebaliknya: politik dinasti kerap mampu mengakali hukum, terutama melalui penggunaan birokrasi dan ASN sebagai perkakas pemenangan.
Di Mahakam Ulu, fenomena yang terjadi menunjukkan adanya pengorganisasian ASN dalam tim sukses anak bupati.
Bahkan, pengawasan dilakukan melalui grup WhatsApp dan perangkat desa diminta menyusun rencana kemenangan. Jika terbukti, maka ini jelas melanggar prinsip netralitas ASN.
Yang lebih mengkhawatirkan, bagaimana negara—melalui lembaga-lembaga pengawas seperti Bawaslu—masih kesulitan menghadapi praktik semacam ini.
Lembaga pengawas diharuskan memiliki bukti kuat dan pemohon perselisihan hasil Pilkada harus mampu menyodorkan dalil terjadinya kecurangan dengan sifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Masalahnya, praktik manipulasi dinasti kerap halus dan terorganisir, menjadikannya acap sulit disentuh hukum yang hanya melihat dan mungkin disengaja untuk melihat pada aras permukaan.
Menghunus demokrasi elektoral
Kita perlu mengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal prosedur pemilu, tetapi substansi pilihan.
Jika seluruh jalur pencalonan dikunci oleh keluarga petahana, lalu di mana ruang untuk regenerasi? Jika pemilih dihadapkan pada calon tunggal dari klan penguasa, di mana ruang deliberasi?
Dalam banyak kasus, dinasti politik juga beriringan dengan rendahnya akuntabilitas. Tanpa persaingan politik yang sehat, tak ada insentif bagi pemimpin daerah untuk bekerja lebih baik.
Mereka tidak lagi merasa perlu membangun legitimasi, sebab “keluarga” telah cukup sebagai modal elektoral.
Saatnya kita berhenti menganggap ini sebagai “hal yang lumrah”. Normalisasi politik dinasti adalah bentuk (upaya) pembusukan demokrasi, kendati pelan-pelan. Ia menjadikan hajatan elektoral sebagai seremoni dan kekuasaan sebagai harta pribadi belaka.
Secara hukum, perlu ada penguatan pembatasan pencalonan anggota keluarga petahana, setidaknya di daerah yang sama.
Mahkamah Konstitusi pernah membuka jalan melalui beberapa putusannya, yang sudah sepatutnya memerlukan langkah tindak lanjut semua pihak menghentikan upaya menghunus demokrasi elektoral. Utamanya, bagi KPU, Bawaslu dan bahkan DKPP.
Sudah waktunya memperketat seleksi internal partai politik agar tidak sekadar menjadi alat legalisasi ambisi keluarga elite.
KPU dan Bawaslu harus diberikan kewenangan memadai untuk mengusut penyalahgunaan kekuasaan dalam pencalonan kepala daerah.
Demokrasi adalah soal pilihan, bukan pewarisan. Ketika kekuasaan diwariskan dari ayah ke anak, dari suami ke istri, maka ia bukan lagi cerminan kehendak rakyat, tetapi hanya perpanjangan kekuasaan.
Menolak dinasti bukan berarti membenci keluarga pejabat. Menolak dinasti berarti menjaga demokrasi tetap berpihak pada rakyat, bukan pada silsilah keluarga.