



Filsafat Moral Pancasila dan Tantangan Penulisan Sejarah Kebangsaan Indonesia
SEJARAH bukan semata-mata catatan masa lalu, melainkan cerminan nilai-nilai moral yang membentuk cara suatu bangsa memahami dirinya.
Dalam hal ini, narasi sejarah kebangsaan Indonesia memegang peranan sentral dalam membentuk identitas nasional, tapi juga rentan terhadap instrumentalisasi oleh kekuasaan.
Oleh karena itu, penulisan sejarah kebangsaan memerlukan fondasi etik yang kuat agar tidak terjebak dalam narasi hegemonik atau propaganda negara.
Filsafat moral Pancasila menawarkan kerangka normatif untuk membangun narasi sejarah yang tidak hanya informatif, tetapi juga memanusiakan—yakni menghargai keberagaman pengalaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia memuat nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran yang relevan sebagai acuan moral dalam praktik historiografi.
Seperti yang dijelaskan oleh Kaelan, Pancasila bukan hanya dasar ideologis negara, tetapi juga dapat berfungsi sebagai kerangka epistemologis dan etis dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di Indonesia, termasuk sejarah (Kaelan: 2010).
Penulisan sejarah yang berdasarkan Pancasila seharusnya menghindari bias kekuasaan dan membuka ruang bagi narasi alternatif dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan, seperti perempuan, masyarakat adat, dan komunitas minoritas.
Namun demikian, tantangan besar muncul dari warisan historiografi masa lalu yang masih berpusat pada elite politik dan militer, serta dari kecenderungan narasi yang sentralistis dan monovokal.
Dalam hal ini, pendekatan sejarah yang memanusiakan, inklusif, dan multivocal yang sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi semakin mendesak.
Di sisi lain, revolusi digital telah mengubah lanskap produksi dan konsumsi sejarah. Akses terbuka terhadap arsip, kemunculan sejarah digital, serta partisipasi masyarakat dalam membentuk narasi sejarah melalui media sosial menuntut pendekatan yang lebih akademis sekaligus reflektif dan etis.
Artikel ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai moral Pancasila dapat menjadi fondasi filosofis dalam penulisan sejarah kebangsaan Indonesia yang lebih demokratis dan memanusiakan.
Dengan menyoroti keterkaitan antara etika historis, narasi inklusif, dan tantangan era digital, tulisan ini hendak mendorong pembaruan historiografi kebangsaan Indonesia yang lebih berpihak pada nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan universal.
Apakah penulisan sejarah bebas nilai?
Banyak berseliweran informasi, baik dalam media massa, apalagi media sosial, bahwa penulisan Sejarah kebangsaan Indonesia harus objektif dan sepenuhnya berbasis data serta bebas segala macam kepentingan apapun.
Padahal, penulisan sejarah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang melingkupinya, karena sejarah bukan sekadar pengumpulan dan penyajian fakta-fakta objektif dari masa lampau.
Sebaliknya, sejarah merupakan hasil konstruksi naratif yang secara inheren dipengaruhi sudut pandang sejarawan, konteks sosial dan politik zamannya, sistem nilai budaya yang dianut, serta kepentingan ideologis tertentu yang hadir secara eksplisit maupun implisit dalam proses penulisannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Hayden White (1987).
Ia juga menunjukkan bahwa struktur naratif dalam tulisan sejarah mengandung unsur ideologis yang tersembunyi.
Ia menyatakan bahwa narasi sejarah adalah bentuk retoris yang dibentuk oleh basis pola budaya dan nilai.
Bahkan secara radikal ia menegaskan: “Historical narratives are verbal fictions, the content of which is as much invented as found (White: 1973).
Hal ini berarti bahwa meskipun berakar pada fakta, bentuk dan makna sejarah yang ditulis sangat tergantung pada cara penyajiannya yang bersifat nilaiwi dan tidak netral.
Hal senada juga disampaikan oleh E.H. Carr bahwa penulisan sejarah selalu melibatkan proses seleksi, interpretasi, dan artikulasi makna, yang menjadikannya tidak sepenuhnya bebas dari bias atau kepentingan.
Dengan kata lain, proses seleksi, penafsiran, dan penyusunan fakta historis tak lepas dari nilai, minat, dan latar belakang sang sejarawan.
Carr juga menambahkan bahwa: “History means interpretation” (Carr: 1987). Dengan demikian, meskipun sejarawan mampu menarik kesimpulan mengenai sejumlah fakta dari bukti-bukti yang tersedia, proses pemberian makna atas fakta-fakta tersebut, terutama dalam hal merangkai keterkaitan antarfakta, merupakan hasil dari imajinasi kreatif mereka sendiri.
Proses ini tidak sepenuhnya tunduk pada batasan-batasan kognitif yang ketat atau objektif tertentu (C. Behan McCullagh: 2000).
Sebelum gagasan E.H. Carr dan Hayden White tentang keberpihakan sejarawan dalam membentuk narasi sejarah mencuat, filsuf idealis asal Italia, Benedetto Croce (1866–1952), pada pergantian abad ke-20 telah terlebih dahulu menyoroti adanya bias dan pengaruh perspektif kekinian dalam penulisan sejarah.
Ia mengkritik secara tajam ambisi untuk mencapai objektivitas absolut terhadap masa lampau, suatu pendekatan yang sebelumnya dijunjung oleh sejarawan positivis seperti Leopold von Ranke (1795–1886), yang dikenal dengan semboyannya menulis sejarah "sebagaimana sesungguhnya terjadi" (wie es eigentlich gewesen) (Raymond Aron dalam Hans Meyerhoff: 1959).
Sejarawan tidak pernah benar-benar dapat melepaskan diri dari kepentingan zamannya sebab mereka tidak bekerja dalam ruang hampa.
Menurut Croce, sekadar menyusun deretan fakta masa lalu secara deskriptif tidak dapat dianggap sebagai penulisan sejarah yang sejati, melainkan hanya sebagai kronik.
Ia menyamakan kronik dengan “mayat” sejarah, sebuah bentuk tanpa ruh, karena tidak melibatkan proses interpretatif dan refleksi batiniah.
Sejarah yang sejati, menurut Croce, adalah hasil dari an act of spirit, yakni tindakan intelektual dan spiritual dari subjek yang hidup di masa kini.
Dari sinilah muncul pernyataannya yang terkenal bahwa "every true history is contemporary history".
Dengan demikian, setiap generasi akan menulis ulang sejarah sesuai dengan kebutuhan, orientasi nilai, dan kepentingan kolektif yang hidup dalam konteks sosial-kultural masa kini mereka (Benedetto Croce dalam Hans Meyerhoff: 1959).
Sementara itu, kronik tidak lagi hidup dalam kesadaran atau pengalaman batin seorang sejarawan.
Dalam upayanya memahami masa lalu, sejarawan melakukan proses internalisasi dengan menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa lampau dalam benaknya, yang kemudian diartikulasikan dalam bentuk narasi tertulis (Taufik Abdullah & Abdurrachman Surjomihardjo: 1985).
Dengan demikian, historiografi sesungguhnya merupakan hasil dari konstruksi yang dilandasi oleh kebutuhan dan orientasi kekinian.
Narasi sejarah merupakan pemikiran kekinian mengenai masa lampau, sebab masa lampau sendiri telah mati.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Wilhelm Dilthey, yang menyatakan bahwa sejarah tidak hanya berfungsi untuk merekam masa lalu, tetapi juga menjadi medium untuk memahami makna dan struktur pengalaman manusia di masa kini.
Bagi Dilthey, sejarah memungkinkan manusia menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensinya sendiri dalam dunia kontemporer.
Ia menulis bahwa kita memahami kehidupan hanya dari kehidupan itu sendiri, dan pemahaman itu tercermin dalam Sejarah (Tom Rockmore: 2003).
Meski tidak bisa bebas nilai, bukan berarti sejarah menjadi semata-mata subjektif atau fiksi. Di sinilah pentingnya membedakan antara “ketidakbebasan dari nilai” dengan “ketiadaan objektivitas”.
Objektivitas dalam sejarah bersifat prosedural dan intersubjektif, bukan absolut. Salah satu dilema epistemologis paling mendasar dalam historiografi adalah ketegangan antara kenyataan bahwa penulisan sejarah tidak pernah benar-benar bebas dari nilai-nilai subjektif, dengan tuntutan akademis terhadap objektivitas.
Di satu sisi, sejarah merupakan hasil konstruksi naratif yang dipengaruhi oleh perspektif, nilai, dan konteks sosial-kultural sejarawan yang bersifat kekinian.
Di sisi lain, sejarah dituntut untuk menyampaikan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak semata-mata bersifat opini atau ideologis.
Fakta-fakta sejarah tidak berbicara dengan sendirinya; mereka dipilih, diinterpretasikan, dan disusun oleh sejarawan dalam kerangka nilai dan kepentingan zamannya.
Para sejarawan tidak dapat menghindari hubungan tertentu dengan pokok bahasan mereka, dan hubungan tersebut tidak sepenuhnya objektif. Artinya, nilai tidak bisa dihilangkan dari proses penulisan sejarah.
Sejarah selalu ditulis dari sudut pandang masa kini, dengan membawa nilai dan kepentingan zaman penulisnya.
Bahkan Hayden White menekankan bahwa struktur naratif sejarah seperti alur, karakter, dan emplotment yang merupakan hasil imajinasi retoris dan estetika sejarawan, bukan sekadar refleksi obyektif dari kenyataan sejarah.
Pengakuan terhadap keberadaan nilai tidak berarti bahwa sejarah harus menyerah pada relativisme penuh.
Objektivitas dalam sejarah tidak harus dipahami sebagai ketidakterlibatan nilai secara mutlak, tetapi sebagai komitmen terhadap metode ilmiah, keterbukaan terhadap kritik, dan kemampuan untuk mendukung interpretasi dengan bukti yang sah.
Dalam kerangka ini, objektivitas adalah suatu ideal regulatif, bukan kondisi absolut. Sebagaimana diungkapkan oleh Peter Novick, objektivitas dalam sejarah adalah "a noble dream", suatu cita-cita yang tidak pernah sepenuhnya tercapai, tetapi tetap penting sebagai standar etis dan metodologis agar sejarawan tidak terjerumus pada manipulasi ideologis atau fiksi belaka (Thomas L. Haskell: 1990).
Bahkan Carr secara tegas menolak objektivitas absolut dalam sejarah. Ia mengatakan bahwa fakta-fakta sejarah itu seperti ikan di atas lapak penjualan ikan. Sejarawan memilihnya, membawanya pulang, dan memasaknya sesuai seleranya”.
Dengan demikian, dilema antara sejarah yang tidak bebas nilai dan objektivitas tidak dapat diselesaikan dengan pengingkaran salah satu pihak, tetapi harus diatasi dengan pendekatan kritis dan reflektif.
Sejarawan perlu menyadari posisi dan keterbatasannya, tetapi tetap menjaga integritas akademis melalui metode yang transparan, penggunaan sumber yang dapat diverifikasi, dan keterbukaan dasar filsafat moral yang diikutinya serta keterbukaan terhadap dialog interpretatif.
Dalam konteks ini penting bagi sejarawan untuk transparan terhadap posisi ideologis dan konteks mereka, mengedepankan metode yang ketat dalam verifikasi sumber, terbuka terhadap dialog dan kritik ilmiah, dan mengakui pluralitas perspektif terutama dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia.
Dalam konteks sejarah kebangsaan, misalnya, narasi sejarah yang hanya mengagungkan satu kelompok tertentu dapat memarginalkan pengalaman kelompok lain.
Oleh karena itu, keterlibatan nilai harus diimbangi dengan kesadaran reflektif dan komitmen terhadap pluralisme epistemologis.
Apa landasan nilai moral untuk penulisan sejarah kebangsaan?
Penulisan sejarah kebangsaan Indonesia bukan semata proyek akademik, melainkan juga tanggung jawab etis dalam membentuk kesadaran kolektif, reinventing dan memperkuat identitas nasional, serta menjembatani keberagaman dalam kerangka negara kesatuan.
Dalam konteks ini, filsafat moral berperan penting sebagai landasan normatif dan epistemologis historiografi.
Namun, di tengah dinamika global, muncul pertanyaan mendasar mengenai landasan moral dan etika apa yang seharusnya membimbing praktik historiografi Sejarah Kebangsaan Indonesia ini?
Dalam hal ini sangat beralasan untuk berargumen bahwa landasan yang paling relevan adalah Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa, Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip integratif, serta nilai-nilai kemanusiaan universal yang berkembang dalam etika global.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia menyediakan kerangka normatif mendalam yang dapat dimanfaatkan untuk membangun etika penulisan sejarah.
Setiap sila memuat prinsip moral yang dapat dijadikan pedoman bagi historiografi yang jujur, adil, dan humanistik.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut agar penulisan sejarah dilakukan dengan integritas moral dan kejujuran intelektual, menjunjung tinggi kebenaran sebagai nilai transenden.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, menghendaki agar sejarah tidak ditulis secara bias, diskriminatif, atau dehumanistik, melainkan menghormati martabat semua individu dan kelompok.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menggarisbawahi pentingnya sejarah sebagai sarana untuk memperkuat integrasi nasional, tanpa menghapus keberagaman dan identitas lokal.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mendorong pelibatan berbagai perspektif dalam penulisan sejarah serta penghargaan terhadap narasi-narasi kolektif sebagai wujud dari semangat berdemokrasi.
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan perlunya pengakuan yang adil terhadap kontribusi seluruh lapisan masyarakat dalam sejarah nasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Kaelan (2013), Pancasila bukan hanya menjadi landasan normatif, tetapi juga kerangka epistemologis dalam mengembangkan ilmu sosial yang bercirikan keindonesiaan, termasuk dalam bidang historiografi.
Sementara itu, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengandung prinsip moral yang dapat digunakan sebagai prinsip nilai bahwa sejarah kebangsaan Indonesia tidak boleh eksklusif atau tersentralisasi hanya pada narasi-narasi elite politik atau pusat kekuasaan.
Sejarah yang hanya menyoroti aktor dominan atau bersifat Jakarta-sentris akan mengalienasi pengalaman komunitas lokal dan kelompok marginal.
Oleh karena itu, penulisan sejarah harus pluralistik, multivokal, dan membuka ruang bagi berbagai perspektif, termasuk dari perempuan, masyarakat adat, kelompok minoritas, dan komunitas terpinggirkan.
Prinsip ini dapat digunakan sebagai kritik terhadap historiografi Orde Baru yang bersifat hegemonik dan menutup ruang perbedaan.
Narasi sejarah yang inklusif tidak hanya mencerminkan keadilan representasional, tetapi juga memperkaya pemahaman kita terhadap kompleksitas masa lalu bangsa.
Demikian juga, penulisan sejarah kebangsaan Indonesia juga harus disejajarkan dengan nilai-nilai universal dan standar etika historis global, seperti kejujuran ilmiah, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta kritik terhadap kekuasaan yang opresif.
Sejarawan Hayden White menegaskan bahwa narasi sejarah bukan semata produk data empiris, melainkan konstruksi retoris dan ideologis yang membentuk kesadaran kolektif.
Dengan demikian, tanggung jawab moral seorang sejarawan sangatlah besar dalam menjaga integritas historiografi.
Objektivitas sejarah bukanlah keniscayaan metodologis, melainkan cita-cita etis yang terus diperjuangkan.
Objektivitas dalam sejarah hanya dapat dicapai melalui disiplin diri, verifikasi bukti, dan keterbukaan terhadap kritik. Etika, dengan demikian, menjadi unsur esensial dalam praksis keilmuan sejarah.
Dengan demikian, landasan filsafat moral dan etika dalam penulisan sejarah kebangsaan Indonesia sangat penting untuk memastikan historiografi nasional yang relevan, berintegritas, dan berkelanjutan.
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, serta nilai-nilai etika universal bukan hanya menjadi fondasi normatif, tetapi juga memberikan arah transformasi menuju historiografi yang lebih demokratis, inklusif, dan reflektif.
Dalam menghadapi krisis identitas, politik memori, dan disinformasi sejarah, fondasi moral ini menjadi penopang utama dalam membangun narasi sejarah kebangsaan Indonesia yang mencerdaskan, adil, dan memanusiakan.
Memang rasanya kita sedang berhalusinasi, namun idealitas perlu perlu diperjuangkan sekuat tenaga, lapas dari kekurangan kita.
Tag: #filsafat #moral #pancasila #tantangan #penulisan #sejarah #kebangsaan #indonesia