



Membenahi Hakim dan Lembaga Peradilan
“Keadilan hanya bisa ditegakkan oleh mereka yang memegang palu dengan nurani, bukan dengan harga.”
SETIAP kali seorang hakim tertangkap tangan menerima suap, kepercayaan publik kepada lembaga peradilan retak.
Palu yang semestinya mengetuk nurani, justru berubah menjadi alat transaksi. Dalam diam yang menyayat, rakyat kembali bertanya: kepada siapa mereka harus percaya?
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2010 hingga 2022, terdapat sedikitnya 21 hakim yang dijerat kasus korupsi.
Angka ini melonjak jika merujuk pada data Indonesia Corruption Watch (ICW), yang mencatat 29 hakim terlibat praktik korupsi sepanjang 2011–2024, dengan total nilai suap mencapai Rp 107,9 miliar.
Jumlah itu bertambah menjadi 39 hakim jika digabung dengan penindakan oleh Kejaksaan Agung hingga April 2025. Di antara mereka ada yang menjabat di Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, hingga pengadilan negeri.
Statistik ini bukan sekadar angka, melainkan refleksi dari institusi yang mengalami kegagalan dalam menjaga marwah keadilan.
Ketika hakim tak lagi menegakkan hukum, melainkan memperdagangkannya, maka seluruh bangunan negara hukum itu sendiri terguncang.
Seorang hakim adalah suara negara. Jika suaranya bisa dibeli, maka diam rakyat adalah bentuk perlawanan.
Struktur yang membiarkan
Korupsi kehakiman bukanlah soal oknum semata. Ia tumbuh dalam ekosistem yang membiarkan.
Sistem pengawasan yang longgar, mutasi yang tak transparan, serta loyalitas yang lebih berpihak pada struktur ketimbang pada hukum—semua menjadi ladang subur bagi praktik menyimpang.
Mahkamah Agung (MA), sebagai lembaga tertinggi, masih memegang kendali penuh dalam promosi dan rotasi hakim.
Komisi Yudisial (KY), yang semestinya menjadi pengawas etik, hanya bisa memberikan rekomendasi. Lebih dari 40 persen rekomendasi KY selama beberapa tahun terakhir, tidak ditindaklanjuti MA. Ironi dalam negara hukum yang menempatkan etika sebagai fondasi.
Dalam struktur seperti ini, keadilan menjadi formalitas. Kasus pembebasan korporasi sawit dari jerat pidana lingkungan, misalnya, menimbulkan pertanyaan tajam.
Ketika tiga korporasi—Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas—diputus lepas oleh pengadilan, padahal bukti keterlibatan mereka terungkap dalam proses penyidikan, publik kembali dibenturkan pada dilema: apakah putusan hukum memang mencerminkan kebenaran, atau sekadar hasil kompromi?
Gaji dan godaan
Bukan hal baru jika gaji kerap disebut sebagai akar korupsi. Sebelum reformasi remunerasi, banyak hakim negeri bergaji pas-pasan, bekerja dalam tekanan, dan rawan intervensi.
Namun kini, setelah kenaikan penghasilan yang signifikan—di mana hakim agung misalnya, menerima total pendapatan lebih dari Rp 100 juta per bulan—praktik korupsi belum juga surut.
Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi tidak selalu tumbuh dari kekurangan, melainkan dari kerakusan. Gaji besar tak otomatis membuat integritas ikut membesar. Sebaliknya, bagi sebagian pihak, justru menjadikan “harga putusan” kian mahal.
Maka menjadi jelas: memperbaiki kesejahteraan penting, tetapi tidak cukup. Tanpa reformasi pengawasan, transparansi kekayaan, dan mekanisme evaluasi integritas yang konsisten, penghasilan tinggi hanya akan mempertebal rasa kebal terhadap hukum.
Tak semua putusan janggal berarti pesanan. Namun, dalam sejumlah perkara yang mencolok, publik merasakan aroma intervensi yang tak kasat mata.
Vonis ringan terhadap pelaku korupsi besar, atau pembebasan terdakwa kekerasan seksual yang memiliki akses kekuasaan, kerap menimbulkan kegelisahan kolektif.
Masyarakat tak lagi menilai dari pertimbangan hukum semata, tapi dari proses dan aktor yang bermain di belakang layar.
Ketika transparansi lenyap dan putusan tak mampu menjelaskan dirinya sendiri kepada publik, maka wajar bila kepercayaan berguguran satu demi satu.
Komisi Yudisial sejatinya lahir sebagai jawaban atas lemahnya pengawasan internal di lembaga peradilan. Namun sejak awal, lembaga ini dibelenggu oleh keterbatasan kewenangan.
Rekomendasi etiknya tak mengikat. Penindakannya bisa diabaikan. Dan sumber daya yang dimilikinya masih jauh dari memadai.
Dalam beberapa kasus strategis, suara KY bahkan nyaris tak terdengar. Padahal lembaga ini menyimpan potensi besar sebagai pagar etik dalam tubuh peradilan.
Untuk itu, penguatan KY bukan sekadar opsi, tetapi keniscayaan. KY perlu diberi peran lebih luas dan suara lebih keras. Rekomendasinya tak boleh hanya jadi catatan kaki dalam rapat internal MA.
Ada yang lebih menyedihkan daripada vonis yang menyimpang: diamnya masyarakat hukum. Dalam banyak kasus, publik lebih dahulu bersuara sebelum para akademisi hukum angkat bicara.
Kampus-kampus hukum, organisasi profesi, bahkan lembaga etik internal, sering kali absen dalam pertarungan narasi soal keadilan.
Ini bukan sekadar kelalaian, tapi pengingkaran terhadap tanggung jawab keilmuan. Kampus hukum tak boleh sekadar menjadi menara gading yang sibuk mencetak gelar, tapi miskin keberanian moral.
Mahasiswa hukum harus dididik untuk mengerti bahwa pasal bukan segalanya. Ada akal sehat. Ada rasa keadilan. Ada keberpihakan kepada yang tertindas.
Jalan pembenahan
Pembenahan peradilan tidak cukup dengan menunggu kesadaran. Ia harus dipaksakan oleh sistem. Mulai dari Mahkamah Agung, tata kelola promosi dan rotasi hakim mesti dibersihkan dari patronase.
Integritas harus menjadi satu-satunya syarat naik jabatan. Kekayaan para hakim harus diaudit secara berkala dan diumumkan terbuka. Tak bisa lagi kita hidup dalam bayang-bayang hakim yang “rahasia”.
Komisi Yudisial perlu diangkat derajatnya. Rekomendasi etik harus diberi kekuatan mengikat, terutama dalam kasus-kasus berat.
KY harus dilindungi dari politisasi dan dilibatkan dalam pengawasan menyeluruh terhadap perilaku hakim, tanpa kecuali.
Pendidikan hukum pun harus berubah. Etika harus ditanamkan sejak dini. Tidak cukup mengajar teori peradilan, tetapi juga mengasah keberanian moral.
Bangsa ini tidak kekurangan sarjana hukum, tetapi kekurangan hakim yang bersedia berdiri sendirian melawan arus ketika nuraninya berkata “tidak”.
Publik juga perlu diberikan ruang. Ruang aman untuk melaporkan pelanggaran etik, ruang informasi yang memungkinkan masyarakat memantau jalannya persidangan, dan ruang keterlibatan untuk ikut menjaga marwah lembaga peradilan.
Semua pembenahan ini menuntut keberanian. Namun, keberanian menegakkan hukum hanya lahir dari keyakinan bahwa keadilan bukan milik negara, melainkan hak warga.
Kita sering mengutip adagium bahwa hukum adalah panglima. Tapi itu hanya benar jika palu dipegang oleh tangan yang bersih, dan suara putusan berasal dari nurani yang jernih. Jika tidak, maka hukum akan berubah menjadi alat, bukan jalan.
Kini saatnya negara menaruh perhatian serius pada pembenahan lembaga peradilan. Bukan lewat retorika, melainkan lewat kebijakan yang menyentuh akar masalah.
Karena jika keadilan bisa dibeli, maka yang hancur bukan hanya pengadilan, tetapi fondasi republik ini sendiri.
Dan mungkin, dalam kesunyian ruang sidang, ada satu suara yang masih bisa kita dengar: suara rakyat yang tak ingin kalah di depan hukum. Jangan biarkan suara itu menghilang.