



Menaikkan Gaji Yang Mulia?
DI TENGAH badai korupsi yang semakin menggila—bahkan di tubuh peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan—Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen.
Pengumuman itu disampaikan secara resmi dalam acara Pengukuhan Hakim Mahkamah Agung pada 12 Juni 2025.
Menurut Presiden Prabowo, kenaikan ini untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, terutama bagi golongan junior, sebagai upaya memperkuat fondasi integritas peradilan nasional.
Dalam sudut pandang kebijakan publik, kebijakan ini memang bisa dilihat sebagai langkah strategis dan progresif.
Dengan menaikkan gaji hakim, negara mencoba mengatasi salah satu penyebab korupsi sebagaimana dijelaskan dalam "GONE Theory" oleh Jack Bologne.
Dalam bukunya “The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime,” dijelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan korupsi meliputi: Greeds (Keserakahan), Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan), dan Exposures (Pengungkapan).
Dalam kerangka ini, kenaikan gaji berupaya menghapus faktor “kebutuhan” dari daftar penyebab korupsi.
Pertanyaannya kini, jika setelah gaji para hakim naik signifikan, tapi praktik korupsi di tubuh peradilan tetap menjamur, apakah solusinya menaikkan gaji mereka sekali lagi?
Lalu, bagaimana jika TNI, Polri, dan ASN juga masih terus terjerat korupsi meski remunerasi mereka meningkat—apakah kita akan terus-menerus menyuap integritas dengan anggaran negara?
Tentu tidak masuk akal. Sejatinya, pencegahan korupsi bukan soal besaran gaji semata, melainkan soal sistem yang transparan, akuntabel, dan antikorupsi—yang benar-benar steril dari intervensi politik serta bebas dari kompromi kekuasaan.
Tanpa pembenahan sistemik, kenaikan gaji hanyalah tambal sulam yang mempercantik luka tanpa menyembuhkannya.
Bukan sekadar gaji
Namun, tentu saja, gaji bukan satu-satunya persoalan. Kasus demi kasus menunjukkan bahwa bukan kebutuhan yang selalu melatarbelakangi korupsi para “Yang Mulia”. Justru keserakahan dan kesempatan yang terbuka lebar menjadi penyebab utama.
Contoh nyata kasus suap Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua PN Jakarta Selatan. Ia diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar demi vonis bebas terhadap tiga perusahaan raksasa dalam kasus ekspor CPO.
Dana tersebut tidak hanya dinikmati sendiri, tapi juga dibagi ke tiga hakim lain, termasuk Djuyamto, yang dikenal sebagai akademisi progresif.
Nama Djuyamto sebelumnya harum sebagai pemikir hukum responsif. Dalam disertasinya di Universitas Sebelas Maret (UNS), ia mengangkat topik pemberantasan korupsi melalui model pengaturan penetapan tersangka oleh hakim.
Namun siapa sangka, intelektual yang menjanjikan ini justru tenggelam dalam kubangan korupsi yang coba ia kritik. Tak tanggung-tanggung, Rp 18 miliar disebut mengalir ke rekeningnya.
Kisah tragis ini membuka tabir luka lebih dalam: gelar akademik hari ini tidak lagi menjamin integritas.
Di tubuh aparatur negara, gelar “doktor” sering kali hanya menjadi ornamen kosmetik birokrasi, sekadar pelengkap nama di kop surat, kartu identitas, bahkan “alat legitimasi semu”, demi kepentingan kenaikan jabatan, tunjangan, atau pangkat, bukan representasi moralitas atau kapasitas intelektual.
Akademisi sejati semakin langka; digantikan para "doktor administratif" yang lihai beretorika, tapi rapuh di ujian etik.
Situasi ini menandai krisis dualitas dalam birokrasi dan lembaga peradilan kita. Di satu sisi, mereka bersolek dengan jargon antikorupsi dan penguatan integritas.
Namun di sisi lain, banyak dari mereka menjadi orkestrator korupsi yang begitu rapi dan terselubung, hingga sulit dijangkau oleh aparat penegak hukum (APH).
Dengan demikian, publik berhak curiga: benarkah semua pelaku korupsi sudah terungkap? Bagaimana dengan mereka yang pandai bermain dalam bayang-bayang sistem?
Mafia peradilan
Kasus lain yang menghantam akal sehat adalah korupsi mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang diduga menerima suap senilai Rp 915 miliar dan logam mulia 51 kg. Jumlah ini bahkan melebihi pendapatan tahunan sebagian besar kementerian.
Lebih dari itu, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 menunjukkan bahwa setidaknya 26 hakim menjadi pelaku korupsi. Ini bukan angka yang bisa dikecilkan.
Yang lebih mengerikan dari kuantitas adalah kualitas vonis. ICW mencatat, dari 1.718 terdakwa kasus korupsi yang diputus sepanjang 2023, mayoritas dijatuhi hukuman ringan.
Putusan-putusan itu tak lagi berfungsi sebagai palu keadilan, melainkan sekadar "tepukan halus" di punggung para pelaku kejahatan kerah putih dan mafia peradilan. Seolah-olah pasal dalam UU Tipikor hanyalah komoditas negosiasi, bukan aturan pemidanaan.
Bayangkan, dalam dua dekade terakhir, nilai kerugian negara akibat korupsi kerap kali mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Namun, yang ditangkap dan diseret ke meja hijau seringkali aktor pinggiran atau operator teknis belaka.
Kalau kita mau jujur dan membaca logika kekuasaan secara rasional, angka korupsi sebesar itu tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan mereka yang memegang jabatan strategis.
Semestinya, semakin besar nilai korupsi, semakin tinggi pula posisi jabatan pelakunya. Karena di negara yang sehat, besar kecilnya kerugian negara lazimnya berkorelasi langsung dengan luasnya kewenangan yang disalahgunakan.
Maka pertanyaannya: mengapa para pengendali kekuasaan itu tak juga tersentuh?
Kondisi ini bukan sekadar kegagalan teknis. Ini adalah krisis sistemik, krisis etika, krisis gelar akademik, dan krisis moral penegakan hukum.
Ketika rakyat kecil yang mencuri makanan karena lapar dihukum berat, sedangkan koruptor bernilai triliunan rupiah hidup nyaman dan dijatuhi vonis ringan, maka makna keadilan menjadi semu.
Tidak hanya gagal menegakkan hukum secara substantif, tapi juga ikut melanggengkan ketimpangan sosial.
Di sinilah letak paradoks yang menyayat. Di tengah ledakan skandal korupsi, pemerintah justru menaikkan gaji hakim.
Dari perspektif manajemen SDM dan tata kelola lembaga, langkah ini bisa dibenarkan. Namun, ketika hakim tetap korup setelah kesejahteraan mereka dijamin, kita harus bertanya lebih dalam: Apakah akar masalahnya besaran gaji, ataukah pada mentalitas, sistem rekrutmen, lemahnya pengawasan, dan rusaknya ekosistem peradilan, atau bahkan intervensi politik yang akhirnya membuat hukum menjadi “instrumen transaksional”?
Bandingkan dengan vonis tegas kepada pencuri tanaman di hutan lindung, pencuri singkong, atau pelanggaran kecil lainnya, yang sering kali dihukum lebih berat dari para koruptor yang hidup mewah di balik meja kekuasaan.
Jerome Frank, seorang pemikir realisme hukum pernah berkata: “Justice is what the judge had for breakfast.” Kutipan ini mungkin sinis, tapi menggambarkan dengan tepat betapa putusan hakim seringkali dipengaruhi suasana hati, bukan prinsip keadilan.
Jika hakim lapar pada kekuasaan dan kekayaan, maka hukum tak lagi dijalankan berdasarkan etika, melainkan nafsu duniawi.
Akhirnya, kita harus kembali bertanya: Kalau sudah begini, siapa yang menghakimi hakim? Jika para hakim—yang dijuluki wakil Tuhan—ikut menjual putusan, maka runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.
Reformasi peradilan harus menjadi harga mati. Tidak cukup dengan menaikkan gaji, kita perlu membenahi sistem dari hulu ke hilir: seleksi hakim berintegritas, pendidikan hukum yang menjunjung etika, pengawasan internal yang aktif, serta keteladanan moral dari para pemimpin lembaga yudikatif.
Karena dalam negara hukum, keadilan bukan hanya soal putusan, tapi juga soal keteladanan, keberanian, dan tanggung jawab moral mereka yang menyandang gelar: “Yang Mulia.”
Dalam kerangka Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo, poin ketujuh menegaskan pentingnya memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta pemberantasan korupsi secara menyeluruh.
Janji ini seharusnya menjadi kompas moral dan arah kebijakan konkret, termasuk dalam pembenahan sektor peradilan.
Reformasi hukum tak akan berarti bila hanya menyentuh aspek administratif atau hanya sekadar kebijakan populis semata, tanpa menggugah ulang nilai-nilai integritas, transparansi, dan pertanggungjawaban moral para penegak hukum.
Bila persoalan ini terus terjadi, maka upaya pemberantasan korupsi di sektor lain pun akan sia-sia, sebab bagaimana mungkin hukum bisa menjadi alat bersih, jika tangan yang mengadilinya sendiri kotor.
Tag: #menaikkan #gaji #yang #mulia