Politik Adiluhung
Ilutrasi.(PIXABAY/ MIKE RAMIREZ)
07:02
17 Juni 2025

Politik Adiluhung

DI KAMPUNG tua Jawa, politik dulu tidak disebut sebagai “kuasa”. Ia disebut sebagai pangreh—pemangku, pengayom. Bukan penguasa.

Di sana, kekuasaan tidak berdiri di atas takut, tapi pada kesanggupan untuk halus, menimbang, dan mendengarkan.

Dan dari sinilah mungkin kita bisa memulainya lagi: bahwa politik, dalam jati dirinya yang terdalam, pernah—dan seharusnya masih—adiluhung.

Tidak kasar. Tidak memaksa. Tidak menyumpal mulut atau menutup pintu.

Adiluhung bukan sekadar luhur. Ia juga halus. Ia punya tata, punya rasa, punya jeda. Dalam adiluhung, kuasa bukan tentang menang, tetapi tentang menahan. Dalam adiluhung, negara bukan semata mesin, tapi tubuh yang bernapas.

Kita lupa bahwa politik, sejatinya, adalah cara paling manusiawi untuk mengelola perbedaan. Ia bukan perang. Bukan transaksi. Bukan seni tipu. Ia adalah seni kesepakatan: ruang tempat kehendak kolektif disampaikan dengan keluhuran, bukan kelicikan.

Di dunia adiluhung, kekuasaan bukan sekadar kedudukan. Ia adalah laku. Sebuah cara berjalan. Cara bertindak. Bahkan cara diam.

Seorang pemimpin tak cukup hanya membuat keputusan. Ia mesti mengukur getar tanah tempat ia berpijak. Ia tidak bertanya “apa yang mungkin?” tapi “apa yang pantas?”

Di negeri yang sibuk dengan prosedur, kita lupa dengan rasa. Hukum bisa benar, tapi tidak bijak. Keputusan bisa legal, tapi tak berpihak. Aturan bisa ditegakkan, tapi melukai.

Adiluhung mengajarkan bahwa politik bukan hanya tentang hasil, tapi juga tentang cara. Bukan hanya soal yang dikatakan, tapi juga cara mengatakan. Bukan hanya mengurus negara, tapi juga merawat manusia.

Kita sering menyamakan wibawa dengan kekuasaan. Padahal dalam kebudayaan adiluhung, wibawa bukan dari volume suara. Ia dari kedalaman. Seorang raja besar bisa duduk diam, dan itu cukup untuk menggerakkan orang.

Kini kita melihat kebalikannya. Politik menjadi panggung pencitraan. Suara harus keras. Gaya harus meledak. Pidato harus panjang. Keberpihakan harus diumumkan, bahkan dengan ancaman.

Namun sesungguhnya, yang adiluhung tidak perlu dipamerkan.

Ada pemimpin yang cukup berjalan perlahan, dan rakyat mengikutinya. Ada tokoh yang cukup berkata sedikit, tapi kita semua tersentuh olehnya. Bukan karena ia memaksa, tapi karena ia hadir dari kedalaman.

Adiluhung tidak gaduh. Justru karena itu, ia memikat.

Adiluhung juga mengajarkan kita tentang sesuatu yang kini makin langka: kepantasan. Bahwa ada hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Meski bisa, meski punya kuasa, meski diperbolehkan, tapi tidak pantas.

Politik hari ini terlalu sering kehilangan rasa malu. Jabatan diraih tanpa pantas. Kekuasaan dibangun dengan kedekatan, bukan kepercayaan. Kita melihat orang-orang yang mengatur hidup orang lain, padahal tak sanggup mengatur nafsunya sendiri.

Di masa adiluhung, malu adalah pagar. Dalam tata krama kekuasaan lama, bahkan bernafas terlalu keras di hadapan rakyat dianggap tidak pantas.

Kini, yang dianggap pantas adalah yang bisa menang. Tidak peduli caranya. Padahal politik bukan hanya soal menang. Politik adalah panggung etik, bukan hanya strategi.

Dunia modern memuja data. Adiluhung tidak bicara statistik. Ia bicara rasa.

Ketika seorang pemimpin menolak bantuan karena “tidak etis”, itu bukan karena ia takut melanggar hukum. Karena ia tahu, rasa lebih dulu tahu mana yang boleh dan mana yang tidak.

Rasa adalah sensor halus yang tak bisa digantikan regulasi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal bisa diukur angka. Ada luka yang tak bisa dilihat. Ada harapan yang tak bisa dipetakan grafik. Ada harga diri rakyat yang tak bisa dibayar bansos.

Dan justru di situlah seni politik menemukan bentuk terbaiknya: saat ia tidak hanya menghitung, tapi juga merasakan.

Adiluhung juga adalah soal ingatan. Kita tidak membangun negeri ini dari kekosongan. Kita mewarisi banyak hal: nilai, tata, kebiasaan, bahkan cara bicara.

Namun kini, banyak politisi bersikap seolah mereka penemu segalanya. Mereka berdiri tanpa akar, berbicara tanpa sejarah. Mereka bicara pembangunan tanpa tahu tanah siapa yang sedang mereka gusur.

Politik adiluhung mengingatkan kita untuk tidak menyakiti masa lalu. Untuk tidak merendahkan tradisi hanya karena ia tidak cocok dengan logika pasar.

Sebab bangsa yang kehilangan adab pada sejarahnya, hanya akan mengulang luka. Dan politik yang kehilangan akar, hanya akan tumbuh menjadi mesin kekuasaan tanpa arah.

Dalam dunia yang penuh dendam dan caci, adiluhung memberi tawaran yang sederhana dan dalam: pemaafan.

Politik seharusnya bukan tempat mengumpat, tapi tempat bertemu dan memaafkan. Tempat berbeda, tapi tidak bermusuhan. Tempat kalah, tapi tidak dihina. Tempat menang, tapi tidak pongah.

Namun hari ini, debat publik sering jadi ladang kebencian. Kekalahan jadi bahan olok-olok. Kemenangan jadi panggung balas dendam.

Kita lupa bahwa demokrasi bukan tentang siapa lawan, tapi siapa kawan sebangsa.

Dalam dunia adiluhung, pemaafan bukan kelemahan. Ia keberanian tertinggi. Ia bentuk tertinggi dari kekuasaan yang sudah tidak lagi butuh pengakuan.

Politik bisa menjadi kotor, tapi ia tak harus begitu. Ia bisa adiluhung—jika kita memilihnya demikian.

Jika kita memilih kehalusan, bukan hanya kekuatan. Jika kita memilih tata, bukan hanya target. Jika kita memilih kepantasan, bukan hanya keuntungan.

Politik adiluhung tidak datang dari sistem, tapi dari manusia. Dari cara kita melihat kekuasaan bukan sebagai milik, tapi sebagai amanat. Dari cara kita berbicara, berjalan, dan diam di ruang publik.

Dan dari cara kita mengakui: bahwa dalam hidup bersama, yang paling sulit bukan membuat aturan, tapi menjaga rasa.

Jika hari ini kita haus akan keteladanan, mungkin yang kita rindukan bukan sekadar pemimpin, tapi pamomong—mereka yang memimpin dengan hati, bukan hanya tangan.

Sebab politik, dalam bentuk terbaiknya, bukan sekadar menang atau kalah. Tapi tentang apakah kita masih bisa hidup bersama, tanpa kehilangan kemanusiaan kita.

Itulah adiluhung. Dan itulah politik yang seharusnya.

Tag:  #politik #adiluhung

KOMENTAR